Senin, 07 Juli 2014

KISAH HAJI LELAKI SABUNG AYAM


Bagaimanakah jika seorang tukang sabung ayam naik haji? Seperti nasib sang ayam yang suka diadunya, dia kerapkali marah-marah di tanah suci pada teman sendiri. Bahkan, saat tertidur ia sering kali mengigau dengan menirukan kokok ayam. 

      Sebut saja namanya Pak Sakir. Usianya sekitar 55 tahun. Rambutnya gondrong hingga melewati punduk dan selalu dikuncir pada bagian pangkal kepalanya. Meski usianya sudah sepuh, tetapi kebiasaan buruknya belum hilang, yaitu menjadi sabung ayam. Kebiasaan lama saat ia dewasa tidak bisa hilang, meski ia telah menikah dan punya beberapa orang anak.
      Pak Sakir memiliki ayam jago yang sangat diandalkan. Namanya “Gatot Kaca”. Kedengarannya agak aneh memang, seperti nama pewayangan yang terkenal itu. Sosok yang kerapkali disimbolkan dengan otot kawat dan tulang besi. Tapi, ayam Pak Sakir dinamakan demikian memang tidak sembarangan. Karena sering kali ia menang saat diadu dengan ayam-ayam lainnya, baik dari kampungnya sendiri maupun dari kampung lain. Tubuhnya yang tinggi dan besar serta memiliki cakar yang panjang dan tajam, membuat ia ditakuti oleh ayam-ayam yang lain.
      Bagi Pak Sakir, sabung ayam sebenarnya bukanlah profesi utamanya. Ini hanyalah iseng untuk mengisi kekosongannya di rumah sebagai bos dari sebuah usaha bajaj di Jakarta. Ya, sebagai lelaki, Pak Sakir sebenarnya terbilang cukup sukses dalam usahanya. Dia memiliki beberapa puluh bajaj di Jakarta yang disewakan kepada orang. Dia punya anak buah yang diandalkan untuk mengontrol segala operasional bajaj dan sekaligus memperbaiki apabila ada kerusakan. Sebagai bos, Pak Sakir hanya nunggu di kampungnya. Dia tahunya beres dan uang itu datang kepadanya setiap bulan.
      Untuk mengisi kekosongan waktu di rumah itulah, ia seringkali mengadu ayam. Ayam Gatot Kaca Pak Sakir diasuhnya sejak kecil dan diberi pakan yang bergizi. Sehingga pantas saja jika ia tumbuh besar dan kuat seperti namanya Gatot Kaca.
      Namun, tentu saja, tulisan ini tidak sedang membicarakan kiprah Gatot Kaca dalam segala aksi-aksinya. Tulisan ini tetap membidik sosok sang pemiliknya, yaitu Pak Sakir. Suatu kali ia berniat naik haji. Saat itu usianya 50 tahun, berarti kejadian ini lima tahun yang lalu. Ia berhasil mengumpulkan uang puluhan juta rupiah selama mengoperasikan usaha sewa bajaj-nya. Setelah didesak oleh sang istri, akhirnya ia pun berangkat ibadah haji.
      Sebenarnya, Pak Sakir tidak terlalu taat dalam beribadah. Ibadah shalat lima waktu kerapkali ia tinggalkan. Karena itu, ia gemar menyabung ayam. Bahkan, shalat Jum'at yang hanya dikerjakan seminggu sekali pun, jarang ia kerjakan -kalau bisa dikatakan hampir tidak pernah. Mungkin hanya shalat dua hari raya saja yang ia lakukan, itu pun karena saat itu tetangga kanan-kirinya pada pergi shalat, sehingga ia pun ikut-ikutan.
      Ya, sebagai hamba Allah Pak Sakir sebenarnya termasuk kurang bersyukur atas segala rejeki yang ia terima selama ini. Ia tidak sadar bahwa kesuksesannya menjadi pengusaha bajaj di Jakarta tidak saja karena kerja kerasnya, tetapi juga karena pemberian dari Allah. Karena itu, ia semestinya banyak bersyukur dengan melakukan ibadah sebaik mungkin kepada-Nya. Namun, kenyataannya, ia malah kerapkali meninggalkan shalat lima waktu yang justru diwajibkan kepada setiap hamba-hamba Allah yang mengaku Muslim.
      Karena itu, banyak yang terkejut ketika Pak Sakir memutuskan diri untuk berangkat ibadah haji. Namun begitu, tetap saja tetangga kanan kiri rumahnya berharap agar ibadah haji yang akan ia tunaikan nanti menjadi titik balik dari perjalanan spiritualnya selama menjadi hamba Allah di muka bumi ini. Semoga sekembalinya dari tanah suci, Pak Sakir berubah menjadi Muslim yang kaffah (total), yang melaksakan segala wajib dan sunnah dalam Islam.
      Maka, ketika Pak Sakir berangkat ke tanah suci, tidak sedikit yang mengiringi kepergiannya dan turut mendoakannya agar ia bisa menjadi haji yang mabrur. Sebuah doa yang wajar dipanjatkan oleh setiap sanak keluarga dan orang-orang yang mencintainya, meski terkadang kedengarannya aneh mengingat latar belakang dirinya yang seorang penyabung ayam.
      Singkat cerita, Pak Sakir pun sudah nyampai di tanah suci. Pesawat yang ditumpanginya telah mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Makkah al-Mukarramah. Seperti jamaah haji lainnya, ia pun mulai melakukan ritual-ritual ibadah haji yang dianjurkan, mulai dari rukun, wajib dan sunnahnya. Meski kata salah seorang saksi yang tidak lain temannya, Tarjo, Pak Sakir tampak bermalas-malasan menjalankannya karena ibadah haji dirasakannya seperti sedang melakukan perjalanan yang sangat jauh di sebuah padang pasir: panas dan melelahkan. Bagi Pak Sakir, yang tidak pernah shalat, hal ini tentu saja menjadi sangat berat, seperti memikul beban beberapa puluh kilo gram.
      Tetapi, tentu saja, tulisan ini tidak akan menyoroti bagaimana ritual ibadah haji yang dijalankannya: apakah sukses ataukah tidak? Apakah ia terkena dam (sanksi) atau tidak? Namun, lebih akan menyoroti pada pola dan tingkah lakunya yang aneh selama berada di tanah suci.
      Menurut Tarjo, selama beribadah haji Pak Sakir kerapkali marah-marah dengan orang lain tanpa alasan yang jelas. Termasuk dengan dirinya, ia pun pernah sekali terjadi. Saat itu, Pak Sakir tiba-tiba membentak dirinya. Tarjo pun terkejut, apa yang terjadi dengan dirinya dan terutama Pak Sakir sendiri. Ternyata, hanya karena persoalan sepele. Yaitu, duitnya hilang dan menyangka Tarjo yang menilep atau mengambilnya. Merasa tidak melakukannya, Tarjo pun membantahnya hingga Pak Sakir kemudian membentaknya.
      Ulah Pak Sakir ini berkali-kali diingatkan oleh ketua rombongan agar jangan lagi melakukan kejadian serupa. Namun, wataknya sebagai seorang bos, rupanya menular ketika ia naik haji. Jiwa ingin memerintah dan dilayani kadang merasuk pikirannya. Padahal, ia tidak sadar bahwa kondisinya sedang berada di tanah suci. Sebuah tanah yang memposisikan semua orang sama di hadapan Allah. Sebuah daerah di mana manusia itu tidak berbeda, baik ia seorang bos, direktur, petani, pemulung dan sebagainya. Pak Sakir benar-benar tidak menyadarinya. Mungkin itu semua disebabkan karena ketikdamengertiannya tentang agama.
      Dan satu hal lagi tentang Pak Sakir yang aneh adalah seringkali mengigau saat tidur. Ngigaunya benar-benar sangat unik, yaitu ia menirukan kokok ayam saat menjelang fajar. Tidak terhitung berapa kali ia mengigau seperti itu selama beribadah haji. Ngigaunya akan berhenti setelah ia disadarkan oleh orang dari tidurnya. Namun, kejadian tersebut terjadi lagi berulang-ulang pada waktu-waktu berikutnya.
      Ya, Pak Sakir kerapkali melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan selama beribadah haji. Entahlah, apakah ini sangat terkait dengan perbuatannya yang tidak pernah mau shalat dan kebiasaannya yang suka menyabung ayam? Hanya Allah yang Maha Tahu. Yang jelas, tampaknya doa dari orang-orang yang menyayanginya agar ia bisa menjadi haji yang mabrur, sementara ini tidak tercapai. Mungkin Pak Sakir bisa mengulanginya lagi saat ia punya kesempatan yang sama, tentunya dengan memperbaiki dulu segala pola dan tingkahnya sebelum berangkat ibadah haji.
      Semoga kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dari sini! Amien.(http://e-kuna.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar