Sabtu, 27 September 2014

Perjalanan Hidup Kiai Mantan "Jenderal" Perampok


Perjalanan Hidup Kiai Mantan Sandiman Nur Hadi Widodo (Foto: Okezone/Prabowo)







Ada ungkapan sederhana, hidup itu misteri. Orang tidak akan mengetahui apa yang akan terjadi besok. Begitu juga perjalanan hidup Sandiman, pengasuh Pondok Pesantren, dan Panti Asuhan Al Ghifari di perkampungan Gontan, Desa Sidorejo, Lendah, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta.

Pria kelahiran 13 Oktober 1963 itu merupakan mantan narapidana. Di usia yang menginjak delapan tahun, anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah mahir bermain judi. Dunia hitam dia jalani sejak kecil, mulai dari mencuri, merampok, berjudi, mabuk, hingga bermain perempuan.

Menginjak usia 13 tahun, Sandiman cilik meninggalkan rumah yang berada di perbukitan tak jauh dari Sungai Progo. Dia malang melintang memperdalam ilmu kejawen. Dia mendatangi beberapa dukun untuk meminta jimat dan ilmu kanuragan. Tak ayal, ilmu hitam bersarang di tubuhnya.

“Jimat-jimat ku dulu banyak, sekarang sudah hilang. Yang sudah lalu biarlah menjadi memori,” kata Sandiman saat menceritakan perjalanan hidupnya kepada Okezone.

Pada 1980-1982, Sandiman datang di Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia merampok. Hasil merampok juga dipakai untuk bersenang-senang dengan perempuan nakal, berjudi, dan mabuk. Di usian 20 tahun (1983), Sandiman pulang ke kampung halaman untuk menikah.

Dia mempersunting Ngadiyem, tetangganya sendiri. Setelah menikah, namanya menjadi Sandiman Nur Hadi Widodo. Bukannya sembuh, kejahatan Sandiman semakin menggila.

“Setelah nikah kan butuh penghasilan untuk memberi nafkah istri anak, malah semakin membesar,” ucapnya.

Seiring perjalanan waktu, Sandiman disebut-sebut “jenderal” perampok spesialis emas. Dia bersama komplotannya tidak pernah gagal menjarah harta benda di rumah yang dirampok.

Belakangan diketahui, sebelum merampok, ada ritual khusus yang harus dilakukan, seperti menghitung hari dalam kalender Jawa.

“Dari temuan itu ada pantangan. Ada hal yang harus dilakukan, misalnya, hari itu ketemu ‘ciloko’, kalau merampok tidak boleh ke arah itu, kalau tetep merampok, enggak dapat apa-apa sama sekali,” jelasnya.

Sandiman menilai ada dua tipe penjahat. Penjahat perkotaan dan penjahat desa. Untuk penjahat kota, perampokan dilakukan di dinas-dinas dan instansi pemerintah, seperti gedung-gedung dan perkantoran. Alat yang dipakai juga sama, mulai dari senjata tajam seperti celurit, pedang, hingga senjata api.

Sedangkan untuk penjahat desa, sasaran utamanya rumah-rumah pribadi yang dianggap menyimpan uang atau harta benda yang banyak, seperti pedagang emas, juragan perhiasan, hingga pengusaha.

“Keduanya sama-sama tidak baik. Tapi kalau penjahat desa masih mau berkumpul dengan tetangga sekitar, masih punya rasa ewuh pekewuh, beda dengan penjahat kota,” jelasnya.

Perampokan terakhir dilakukan Sandiman bersama komplotan di rumah pedangan emas. Hasilnya, Sandiman cs berhasil menguras perhiasan emas seberat tujuh kilogram. Selain itu, sejumlah uang tunai juga turut digasak.

Polisi pun mencium pelaku merupakan kelompok Sandiman. Satu per satu perampok berhasil ditangkap. Mendengar teman-temannya ditangkap polisi, Sandiman melarikan diri ke Lampung.

Dia meninggalkan istri dan dua anaknya. Bahkan, polisi mengejarnya hingga ke Lampung dengan petunjuk orang yang paling dekat dengan Sandiman.

“Saya digerebek di Lampung, tetapi lolos. Saya pergi melarikan diri ke Riau. Di sana saya ditangkap karena diberitahu istri. Saya divonis empat tahun, masuk Lapas Wirogunan tahun 1995. Ketemu lagi, teman-teman di dalam,” kenangnya.

Selama menjalani masa hukuman, Sandiman coba-coba melakukan salat. Selama hidupnya, saat itu, dia tidak pernah melaksanakan salat. Dia bahkan tidak tahu bagaimana gerakan salat dan apa yang harus dilakukan.

Saat berada di penjara, ada beberapa napi lain yang mengajarkan salat. “Mereka juga mengajari saya membaca Alquran,” urainya. Banyak napi yang mengejeknya setelah berusaha bertobat.

“Ini kan perang batin antara iblis dan malaikat. Kalau perampok ya pengikut setan, kok salat mengukti malaikat. Saat itu saya ditertawakan, tetapi saya diam saja, saya terus belajar ilmu agama Islam di penjara,” jelasnya.

Sandiman sempat dikucilkan oleh keluarganya. “Saat di penjara, istri saya jadi TKW untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anak,” urainya.

Dia hanya pasrah dan selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Untuk menghilangkan rasa jemu, Sandiman bercocok taman, seperti menanam ketela pohon, sawi, dan lainnya. Sandiman mengaku mendapat hidayah saat belajar Islam di penjara.

“Sejak lahir, saya sudah Islam, di KTP juga Islam, tetapi sampai besar tidak pernah tahu agama. Waktu saya kecil, warga sekitar sini tidak ada yang tahu agama, tidak ada yang mengajarkan, agama tidak sampai di sini, tapi dalam KTP semuanya Islam,” tuturnya.

Ketulusan Sandiman belajar Agama Islam di Penjara tidak pernah goyah meski usianya memasuki 32 tahun.

“Saya belajar membaca Alquran selama tiga bulan, menurut saya sudah fasih. Sejak mempelajari agama Islam saya menjadi tentram, merasa dibahagiakan dalam Islam,” tambahnya.

Sandiman menjalani masa hukuman hanya tiga tahun. Dia mendapatkan remisi total setahun. “Tahun 1998 saya sudah keluar,” jelasnya.

Setelah bebas, Sandiman berdakwah Islam di kampungannya. Dia mengajak para tengangganya untuk salat.

Karena tidak ada masjid, Sandiman mewakafkan seluruh tanah warisan yang diberikan orangtua sebanyak 1.400 persegi untuk membangun Masjid Al Ghifari. Di tanah itu juga berdiri bangunan untuk Pondok Pesantren dan Panti Asuhan Al Ghifari.

Sandiman merintis pondok pesantren yang sebagian diperuntukkan kepada anak yatim sejak 1999. Pada 2000, ponpes dan panti asuhan itu diresmikan.

Ponpes Al Ghifari sendiri terdapat 40 santri tetap dan 48 santri pulang-pergi. Ada enam ustaz yang tinggal di ponpes tersebut. Seluruh santri tidak dipungut biaya. Biaya sekolah para santri tetap menjadi tangung jawab Sandiman.

“Kalau santri kalong usianya sudah banyak. Sebagian besar mereka orang sekitar sini. Sedangkan santri tetap kebanyakan dari luar. Mereka harus sekolah, saya tidak mau mengasuh kalau tidak sekolah. Sudah banyak lulusan Al Ghifari yang bekerja. Sebagian bekerja ke donatur,” jelasnya.

Orientasi Ponpes Al Ghifari, lanjut Sandiman, lebih menekankan hidup seimbang kepada para santri. Selain sekolah dan mengaji, santri diajak hidup mandiri tanpa harus menggantungkan hidup kepada orang lain.

Santri juga diberi bekal mengurus tanah-tanah kosong untuk ditanami. Selain itu, santri Al Ghifari juga dilatih beternak Kambing.
(http://news.okezone.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar