Selasa, 17 Mei 2016

Judi dan Narkoba di Malaysia

  Baru-baru ini saya mengunjungi ibu kota Malaysia selama tiga malam. Ada tiga hal dari negara tersebut yang menggelitik saya untuk menulis. Ketiga hal tersebut adalah judi, salam damai, dan anjing pelacak. Satu-satunya kasino legal di Malaysia bertempat di Genting Highlands. Saya lumayan terkejut ketika mengetahui bahwa ada kasino yang sah secara hukum di sebuah negara Islam. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah perjudian itu haram hukumnya? Di Indonesia pernah ada lokalisasi perjudian pada jaman Gubernur Ali Sadikin (1966-1977). Kesamaan antara perjudian resmi di Malaysia dan (dulu) di Indonesia adalah pemasukan finansial melonjak pesat dalam waktu relatif singkat. Di Museum Genting diperlihatkan grafik-grafik pendapatan kotor dan profit Genting Highlands dari tahun ke tahun sejak tahun 1967. Terlihat sekali betapa berkembangnya skala keuangan perusahaan tersebut. Tidak ada grafik yang menunjukkan penurunan penghasilan sampai sekarang. Pada jaman Gubernur Ali Sadikin, pendapatan dari pajak daerah DKI Jakarta juga melonjak drastis. Pajak tersebut disebutkan digunakan untuk membiayai pembangunan berbagai infarastruktur di Jakarta. Perbedaan perjudian di Malaysia dan di Indonesia adalah kini kegiatan tersebut telah dilarang secara hukum di Indonesia, sedangkan di Malaysia tetap berkesinambungan sampai sekarang. Ketika memasuki kasino, petugas keamanan memeriksa identitas saya. Saya mengeluarkan paspor saya yang menunjukkan bahwa saya orang Indonesia dan nama saya “berbau-bau” kekristenan. Saya pun lalu diijinkan masuk. Di kasino ini memang orang Malaysia yang beragama Islam tidak boleh masuk. Pada umumnya, yang beragama Islam adalah orang Malaysia keturunan Melayu, sehingga kemungkinan besar orang yang diperiksa identitasnya adalah orang yang berpenampakan layaknya orang Melayu. Orang berpenampakan layaknya keturunan Cina, India, maupun Kaukasia (kulit putih) tampaknya tidak akan diperiksa identitasnya. Dengan begitu, di Malaysia, tepatnya di Genting, hanya orang-orang berperawakan Melayu dan ada kartu identitas yang menunjukkan beragama Islam yang tidak dapat berjudi. Jika kita muslim, tetapi berperawakan bukan seperti orang Melayu, memiliki nama yang tidak “berbau” keislaman, dan memiliki kartu identitas yang tidak menunjukkan agama, kita masih dapat berjudi di kasino. Ini menunjukkan bahwa sesuatu yang haram bagi golongan tertentu (yang kebetulan adalah mayoritas) masih dapat dilakukan secara legal bagi golongan lain dalam suatu wadah kebangsaan yang terdiri atas berbagai golongan. Saya menduga bahwa pajak dari kegiatan yang haram bagi golongan mayoritas itu tidak hanya dinikmati oleh golongan yang tidak mengharamkannya, melainkan dinikmati oleh semua golongan di negara tersebut. Bukankah pajak akan dimasukkan ke kas negara, dipergunakan untuk membiayai kehidupan bernegara, dan golongan mayoritas merupakan bagian dari kehidupan bernegara yang dibiayai dengan, di antaranya, pajak? Apakah pajak dan hasil pembangunan yang menggunakan pajak dari kasino itu juga haram bagi golongan tertentu tersebut? Untuk menjawabnya perlu penyelidikan lebih lanjut yang belum saya lakukan. Selain kasino, hal yang menarik perhatian saya adalah rasa keakraban. Kesan saya, di Malaysia keakraban dan kehangatan itu kurang terasa. Setiap kelompok SARA (suku, agama, ras, golongan sosial-ekonomi) terkesan eksklusif dalam artian masing-masing mengurus urusan kelompoknya sendiri, kurang merasakan kebutuhan menjalin keakraban antarSARA. Saya belum menemukan orang-orang keturunan Tionghoa berbaur dengan orang-orang keturunan Melayu. Saya mendengar bahwa di perusahaan-perusahaan ada stereotipe yang menggolongkan jenis pekerjaan berdasarkan SARA. Ketika kuliah di Selandia Baru, saya punya teman yang lahir dan besar di Malaysia namun tidak mampu berbahasa Melayu. Tidak hanya rasa kurang intim antarSARA yang saya rasakan. Bahkan dalam satu SARA pun, saya merasakan hal yang kurang lebih sama. Misalnya kegiatan “salam damai” dalam misa di gereja. Bagi umat Katolik, ada bagian acara misa di mana umat yang posisinya berdekatan saling berjabat tangan. Jabat tangan ini saya pikir universal, dilakukan di Gereja Katolik mana pun. Saya agak kagok juga ketika mengikuti misa di salah satu Gereja Katolik di sekitar Kuala Lumpur saat akan menyodorkan tangan untuk bersalaman, ternyata orang yang di dekat saya mengatupkan tangan di depan dada, mirip dengan salam orang Thailand atau salam muslim terhadap orang yang berjenis kelamin lain non-muhrimnya. Saya sempat bertanya kepada abang saya yang bersama saya saat misa tersebut, apakah salaman tanpa sentuhan ini dimulai sejak wabah flu burung merebak? Abang saya menjawab tidak, tradisi itu sudah dimulai sejak sebelum wabah flu burung. Berarti alasan umat Katolik tidak bersentuhan tangan bukanlah karena takut terjangkiti penyakit menular. Kesimpulan sementara saya, orang-orang di Malaysia memang terbiasa lebih “menjaga jarak” satu sama lainnya dibandingkan dengan Indonesia. Atmosfer sosial di Malaysia memang kurang “hangat”, baik antarSARA maupun intraSARA. Telah saya ceritakan dua hal yang menarik perhatian saya dari kunjungan saya ke Kuala Lumpur, yaitu perjudian dan keakraban. Perjudian diharamkan bagi kelompok SARA tertentu namun tetap bisa dilakukan secara resmi oleh kelompok non-SARA tersebut. Keakraban sosial tidak diharamkan oleh semua SARA tetapi juga kurang dianggap perlu dan berpengaruh. Ada satu hal lain yang menarik perhatian saya, yang diharamkan oleh Negara namun berpengaruh sangat destruktif bagi semua SARA tanpa pandang bulu, yaitu narkoba. Saya merasa sedih dan prihatin ketika mencermati bahwa di bandara KLIA2 (Kuala Lumpur International Airpot 2) tidak ada pemeriksaan anjing pelacak narkoba. Ini ditambah lagi dengan ketiadaan pemeriksaan anjing pelacak juga di Terminal 3 Bandara SHIA (Soekarno-Hatta International Airport) Jakarta. Karena ketiadaan pemeriksaan tersebut, saya jadi dapat memahami mengapa menyelundupkan narkoba ke Indonesia melalui Malaysia itu relatif mudah. Bukankah pengedaran narkoba dianggap kejahatan berat di Malaysia? Lalu mengapa mereka terkesan kurang serius dalam usaha mengendus pengedar narkoba di bandara? Saya memiliki beberapa keluhan dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab tentang Malaysia. Untuk bersikap lebih adil, saya ingin juga menyampaikan dua hal yang saya kagumi dari Malaysia. Bukan, bukan soal menara petronasnya yang merupakan salah satu bangunan tertinggi di dunia, bukan juga tentang transportasi publiknya yang lumayan canggih, terkelola dengan cukup baik, dan terus dikembangkan. Bukan juga tentang situasi politiknya yang “tenang-tenang” saja (untuk tidak mengatakan cukup mengekang kebebasan berekspresi). Ada dua hal yang saya kagumi, yaitu museum dan durian. Di Malaysia, setidaknya di Kuala Lumpur dan Melaka, terdapat banyak sekali museum. Dari kenyataan ini dapat ditafsirkan bahwa mereka sangat menghargai sejarah. Coba bandingkan dengan bagaimana Indonesia melestarikan sejarah. Di Indonesia, museum-museum kurang terpelihara, kurang dihargai, dan kurang diminati. Banyak bangunan bersejarah juga entah diabaikan atau dimusnahkan. Saya jadi iri dan mengagumi Malaysia dari sisi pelestarian dan penghargaan terhadap sejarahnya. Selain menikmati pelestarian sejarahnya, saya juga sempat mencicipi dan menikmati durian Malaysia. Tersedia beberapa pilihan varian durian di warung yang saya kunjungi. Pilihan dijatuhkan pada varian Musang King. Durian itu sangat lezat bagi saya. Dagingnya tebal, berwarna kuning, dan teksturnya pas sekali, tidak begitu lembek, juga tidak begitu keras. Bijinya kecil. Perpaduan antara manis, legit, dan getirnya sangat pas. Saya belum menemukan durian impor di Malaysia. Setidaknya di warung yang saya kunjungi semua duriannya tidak ada yang impor. Kembali rasa iri muncul dalam diri saya karena membandingkan dengan Indonesia yang lebih mudah menemukan durian Monthong asal Thailand daripada varian dari negeri sendiri. Begitulah. Dalam perjalanan selama tiga malam di Malaysia, saya menemukan hal-hal yang berkesan negatif yang membuat saya kurang nyaman, bertanya-tanya, atau sedih. Di sisi lain, saya juga menemukan hal-hal yang mengesankan secara positif. Saya jadi lebih mengenal mereka sebagai lebih dari sekadar bangsa yang mengaku-aku hasil karya budaya Indonesia dan kerap melecehkan Indonesia. Kesimpulannya, mengunjungi Malaysia itu mengasyikkan dan menambah wawasan. Tak ada salahnya berkunjung ke sana jika waktu dan dana memungkinkan. Jangan lupa makan durian! Jakarta, di hari pertama Lebaran, 17 Juli 2015

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/edoiseng/judi-dan-narkoba-di-malaysia_55a8a125537a61a50b9429a2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar