Sabung ayam atau tajen nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Bali-Hindu. Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi sejak tahun 1981, dimana acara tajen tak lagi dilakukan secara terbuka di wantilan yaitu bangunan tradisonal yang umum yang terdapat di desa. Acara tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali. Namun Belakangan, sejak era reformasi acara tajen dilakukan untuk penggalangan dana.
Tajen-Tabuh Rah
Acara tajen di Bali sudah dikenal sejak
zaman majapahit, konon tajen sangat dekat dengan tradisi tabuh
rah.Sehingga tajen dianggap sebuah proyeksi profan dari salah satu
upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah.Tabuh
rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai
kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya. Upacara tabuh rah
biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam
meneteskan darah ke tanah.
Darah yang menetes ketanah dinggap
sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya
binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses
peningkatan jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain
dengan derajad lebih tinggi atau manusia.
Matabuh darah binatang dengan warna merah
inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang
bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah ,
diamana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih
atau imbang dan menggunakan media uang sebagi taruhan . Sedangkan tabuh
rah bersifat sakral dan merupakan bangian dari persyaratan yadnya.
Judi, Budaya atau Yadya
Dalam perkembangannya, ritual suci tabuh
rah mengalami pergeseran makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan
mengasyikan kemudian sering di salah gunakan. Berbicara tentang tajen
dimana, merupakan metamarfosa dari tabuh rah sendiri memang sulit
dipahami apakah termasuk judi murni, budaya (adat-istiadat) atau yadya?
Banyak sekali persepsi masyarakat
Bali-Hindu yang memandang bahwa tajen merupakan, budaya yang tidak bisa
dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali, dan ada juga yang
memberikan pandangan tajen merupakan persayaratan dari yadnya. Memang
tidak bisa dimungkiri dari sudut pandang berbagai kalangan masyarakat
Bali mengenai tajen antara budaya dan yadnya(agama) merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainya.Bila
kita amati apabila ada upacar-upacara yadya disuatu daerah atau
banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, karna
tajen merupakan bagian yang tak dipisahkan dari sebuah upacara, meskipun
terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan
sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan sebuah
taruhan sebagi bumbu-bumbu untuk lebih menarik.
Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak
sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian dari upacara agama khususnya
dalam upacara pacaruan(bhuta yadya). Setelah berabad-abad dimana seiring
perubahan pola pikir manusia dan budaya tabuh rah mengalami pergeseran
makna dan tujuannya menjadi tajen.
Sedangkan tajen yang kita kenal
diamsyarakat sekarang ini adalah tajen yang bernuansa judi dan menjadi
sebuah taruhan dengan menggunakn materi atau uang, sehingga tajen yang
sekarang dilakukan masyarakat Bali merupakan perjudian murni bukan yadnya.Namun,
tajen memiliki satu-kesatuan sudut pandang dari masyarakat bahwa
aktivitas tersebut masih merupakan bagian dari yadnya dan budaya yang
ada sejak terdahulu.
Sudut Pandang Hindu
Kebenaran konteks
pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih dapat dilihat dan
dikaji dari berbagai pandangan selain dari sudut pandang etika sosial
masyarakat Bali dan hukum positif.sedangkan dari perspektif agama Hindu
sendiri , seperti tertera dalam Manawa Dharmasastra V.45, yaitu “Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate”
artinya: “Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan
maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu
tidak akan pernah merasakan kebahagiaan . Ia selalu berada dalam keadaan
tidak hidup dan tidak pula mati.”
Demikian juga ketika dikembalikan pada
hakikat yadnya dan tabuh rah. Di dalam tabuh rah terkandung makna
mengenai etika upacara demi menjaga kesucian yadnya. Yandnya yang
dipersembahkan secara suci untuk sebuah kesucian yang lebih hakiki.
Dimana upacara yang suci menjadi media yang berada pada realitas ambang
antara yang partikular, yaitu buana alit, yaitu jiwa kecil atau
manuasia dan yang lebih universal yaitu bhuana agung atau alam semesta.
Orang bali berprinsip harus terjadi
keseimbangan diantara keduanya. Selain itu masih dalam kitab suci Manawa
Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano Dyayah) sloka 221 sampai
228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan mengenai judi. Sloka 223
membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya
benda-benda tak berjiwa disebut perjudian. Misalnya uang, mobil, tanah
dan rumah. Sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan.
Misalnya, binatang peliharaan,manusia, bahkan istri sendiri.
Seperti yang dilakukan oleh panca pandawa
dalam epos Bharata Yudha ketika Dewi Drupadi yang dijadikan objek
pertaruhan melawan Korawa. Selain itu dalam kitab suci Rg Veda Mandala
X. Sukta 34. Mantra 3,10 dan 13 dengan tegas melarang orang berjudi.
Berjudi itu dapat menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang
cukupkan serta puaskanlah penghasilan itu. Demikian antara lain isi
Mantara Veda tersebut.
Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran
Hindupun menentang keras adanya penyiksaan mahluk hidup , yang digunakan
sebagai media dalam tajen dan perjudian yang menggunakan benda hidup
maupun non hidup. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti masyarakat yang
senang berjudi namun sebaliknya memberikan masukan, bahwa apa yang
dilakukan tersebut tidak sepatutnya terus dikembangkan hingga anak cucu
kita dan menjadi “budaya” yang merugikat masyarakat Bali- Hindu
khususnnya.
Pandangan Sosial
Bila boleh menyimpulkan
secara pragmatis dalam kasus tajen di Bali telah terjadi keracunan
berpikir(Jalaludin 2000:17) Argumetum ad Verecundiam yaitu beragumen
dengan menggunakan otoritas yang tidak relevan atau ambigu. Ada orang
yang terkadang secara berpihak berusaha memebenarkan paham dan
kepentingannya dengan menggunakan satu otoritas atau pembenar tertentu.
Dalam kasus tajen, adat dapat diindikasikan sebagai suatu otoritas
pembenar untuk sebagi argumen bahwa tajen dapat dibenarkan.
Selain itu uang merupakan menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan tajen masih eksis.di wilayah agama uang memiliki makna simbolik yang sangat kuat baik secara denotatif maupun konotatif.Dalam judi tajen konteks pengertian fungsi simbolik uang tanpa didasari alasan untuk resistensi adat dan resistensi kolektifitas mabanjar .
Dengan melihat budaya Bali termasuk tajen
didalamnya yang telah melekat dihati masyarakat sampai sekarang ,
tentunya merupakan sebuah budaya yang luar biasa tanpa menyalah artikan
dan maksud dari tajen tersebut. Memandang bahwa tajen adalah aset yang
perlu dilestarikan untuk menunjang pariwisata budaya tanpa menggunakan
budaya tersebut sebagi ajang untuk berjudi. (http://kotakinformasi.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar