Judi
dilarang dalam Agama Hindu. Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX
(Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228
dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu.
Sloka 223 membedakan antara perjudian
dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut
perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan.
Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil,
tanah, rumah, dsb. Mahluk hidup misalnya binatang peliharaan, manusia,
bahkan istri sendiri seperti yang dilakukan oleh Panca Pandawa dalam
ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi dijadikan objek pertaruhan
melawan Korawa.
Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:
DYUTAM SAMAHWAYAM CAIWA, RAJA RATRANNIWARAYET, RAJANTA KARANA WETAU DWAU, DOSAU PRITHIWIKSITAM
Perjudian dan pertaruhan supaya
benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal
itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota.
Istilah kerajaan dan putra mahkota zaman
sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus,
sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai
Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.
Para penjudi dan peminum minuman keras
digolongkan sebagai orang-orang “sramana kota” (sloka 225) disebut
pencuri-pencuri tersamar (sloka 226) yang mengganggu ketenteraman hidup
orang baik-baik. Judi menimbulkan pencurian (sloka 222), permusuhan
(sloka 227) dan kejahatan (sloka 228).
Para penguasa khususnya di Bali diharap
memahami benar tentang jenis-jenis judi agar tidak terkecoh dengan dalih
pelaksanaan adat dan upacara agama.
Ada kegiatan penggalian dana dengan
mengadakan tajen, ada kegiatan piodalan di Pura dilengkapi dengan tajen,
dan kebiasaan meceki pada waktu melek di acara ngaben, bahkan pada
hari-hari raya seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, dll.
TABUH RAH TIDAK SAMA DENGAN TAJEN
Tabuh Rah adalah bagian dari upacara
agama khususnya dalam upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan
judi dan pertaruhan.
Mengenai Tabuh Rah, sudah diatur dalam
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI
tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar
Siwatattwapurana dan Yadnyaprakerti.
Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara
(banten) diiringi puja mantra yang dilengkapi dengan taburan darah
binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana darahnya
keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu
kemiri, telor, kelapa.
Perang sata (adu ayam) dalam Tabuh Rah
hanya dilaksanakan tiga ronde (telung perahatan) di tempat melaksanakan
upacara agama, dapat menggunakan toh (taruhan) tetapi hasil kemenangan
taruhan itu dihaturkan seluruhnya sebagai dana punia kepada Sang
Yajamana.
Adu ayam yang pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan di atas tidak dapat disebut sebagai Tabuh Rah.
AWIDYA
Maraknya judi di seluruh pelosok Bali
disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama,
tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama.
Judi khususnya tajen sudah mentradisi di
Bali. Dampak negatif Pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan
tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan
atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau
gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.
Contoh lain, suatu ketika saya kaget
mendengar pernyataan seseorang bahwa ia harus pandai berjudi karena
leluhurnya dahulu terkenal sebagai penjudi; jadi jika hormat pada
leluhur harusnya menuruti pula hobi leluhurnya.
Berjudi juga sering menjadi simbol
eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap
banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan
dalam satu Banjar.
Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”.
Di zaman dahulu sering pula status
sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja
Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.
Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi
dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang
menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.
TAMASIK
Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa bekerja.
Yang dimaksud dengan bekerja menurut
Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya sebagaimana
ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9:
“Kecuali pekerjaan yang dilakukan
sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma.
Oleh karenanya Oh Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya,
bebaskan diri dari semua ikatan.”
Dengan demikian mereka yang ingin dapat
hasil tanpa bekerja tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada
unsur untung-untungan atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan
keberanian orang-orang tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan
mereka berspekulasi dengan harapan hampa mendapat kemenangan.
SADRIPU
Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah:
- kama (nafsu tak terkendali),
- lobha (serakah),
- kroda (kemarahan),
- mada (kemabukan),
- moha (sombong), dan
- matsarya (cemburu, dengki, irihati).
Penjudi yang menang menguatkan: kama, lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan: kroda, dan matsarya.
Bhagawadgita Bab III.37:
YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”
Oleh karena itu menjadi tugas para
Sulinggih atau pemimpin-pemimpin umat untuk meningkatkan kualitas
beragama antara lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi.
Memberantas perjudian tidak dapat dengan
paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan
lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan
penyuluhan-penyuluhan yang intensif.
Kebanggaan sebagian masyarakat sebagai
penjudi sedikit demi sedikit dikikis sehingga menjadi malu berjudi.
Salah satu alasan masyarakat berjudi di zaman dahulu adalah karena
kurangnya fasilitas hiburan atau rekreasi. Oleh karena itu perkataan
lain untuk berjudi adalah “makelecan” (kelecan artinya hiburan).
Untuk menjaga kesehatan rohani
masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat ditempuh misalnya Pemerintah
menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi yang sehat, antara lain
berolah raga.
Jarang sekali di desa-desa ada lapangan
voli, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong, dll. yang dikelola oleh
Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat,
klub-klub, atau perusahaan.
Masyarakat yang ingin berenang di sungai
atau di laut airnyapun sudah tercemar limbah atau sampah. Pemerintah
agar berupaya mengalihkan keinginan masyarakat mencari hiburan dari
berjudi kepada bentuk hiburan lain yang sehat.
Pada hari-hari raya misalnya diadakan
pertandingan olah raga antar Banjar, Desa. Bentuk olah raga dipilih yang
murah meriah misalnya tarik tambang, lomba lari karung, naik pedana,
yaitu pohon pinang licin yang di puncaknya diisi berbagai hadiah.
Di Buleleng dahulu ada tradisi yang
sangat baik, yaitu pada hari Galungan ada perlombaan “megoak-goakan”
yang sangat meriah dan mengundang gelak tawa kegirangan.
Di Klungkung, Gianyar dan Karangasem ada
permainan “Ayunan Jantera” yang ramai dikunjungi pada hari-hari raya
oleh anak-anak, tua, muda. Bentuk hiburan zaman sekarang yang mahal dan
mewah belum tentu membawa kegembiraan dan kesehatan rohani.
Masyarakat penjudi adalah masyarakat
yang “sakit” sebagaimana diuraikan dalam Manawa Dharmasastra IX.221.
Pendapat ini disepakati oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Ironisnya
belum ada upaya-upaya prefentif dan represif yang sifatnya mendidik
untuk menyembuhkan penyakit rohani ini.
Usulan saya sederhana saja, misalnya
para penjudi (bebotoh) di tiap-tiap desa didata dan secara periodik
dikumpulkan kemudian diberikan siraman-siraman rohani yang menekankan
bahwa judi itu adalah dosa.(
Judi dalam Pandangan Hindu
Judi
dilarang dalam Agama Hindu. Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX
(Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228
dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu.
Sloka 223 membedakan antara perjudian
dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut
perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan.
Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil,
tanah, rumah, dsb. Mahluk hidup misalnya binatang peliharaan, manusia,
bahkan istri sendiri seperti yang dilakukan oleh Panca Pandawa dalam
ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi dijadikan objek pertaruhan
melawan Korawa.
Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:
DYUTAM SAMAHWAYAM CAIWA, RAJA RATRANNIWARAYET, RAJANTA KARANA WETAU DWAU, DOSAU PRITHIWIKSITAM
Perjudian dan pertaruhan supaya
benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal
itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota.
Istilah kerajaan dan putra mahkota zaman
sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus,
sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai
Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.
Para penjudi dan peminum minuman keras
digolongkan sebagai orang-orang “sramana kota” (sloka 225) disebut
pencuri-pencuri tersamar (sloka 226) yang mengganggu ketenteraman hidup
orang baik-baik. Judi menimbulkan pencurian (sloka 222), permusuhan
(sloka 227) dan kejahatan (sloka 228).
Para penguasa khususnya di Bali diharap
memahami benar tentang jenis-jenis judi agar tidak terkecoh dengan dalih
pelaksanaan adat dan upacara agama.
Ada kegiatan penggalian dana dengan
mengadakan tajen, ada kegiatan piodalan di Pura dilengkapi dengan tajen,
dan kebiasaan meceki pada waktu melek di acara ngaben, bahkan pada
hari-hari raya seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, dll.
TABUH RAH TIDAK SAMA DENGAN TAJEN
Tabuh Rah adalah bagian dari upacara
agama khususnya dalam upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan
judi dan pertaruhan.
Mengenai Tabuh Rah, sudah diatur dalam
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI
tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar
Siwatattwapurana dan Yadnyaprakerti.
Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara
(banten) diiringi puja mantra yang dilengkapi dengan taburan darah
binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana darahnya
keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu
kemiri, telor, kelapa.
Perang sata (adu ayam) dalam Tabuh Rah
hanya dilaksanakan tiga ronde (telung perahatan) di tempat melaksanakan
upacara agama, dapat menggunakan toh (taruhan) tetapi hasil kemenangan
taruhan itu dihaturkan seluruhnya sebagai dana punia kepada Sang
Yajamana.
Adu ayam yang pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan di atas tidak dapat disebut sebagai Tabuh Rah.
AWIDYA
Maraknya judi di seluruh pelosok Bali
disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama,
tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama.
Judi khususnya tajen sudah mentradisi di
Bali. Dampak negatif Pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan
tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan
atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau
gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.
Contoh lain, suatu ketika saya kaget
mendengar pernyataan seseorang bahwa ia harus pandai berjudi karena
leluhurnya dahulu terkenal sebagai penjudi; jadi jika hormat pada
leluhur harusnya menuruti pula hobi leluhurnya.
Berjudi juga sering menjadi simbol
eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap
banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan
dalam satu Banjar.
Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”.
Di zaman dahulu sering pula status
sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja
Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.
Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi
dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang
menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.
TAMASIK
Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa bekerja.
Yang dimaksud dengan bekerja menurut
Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya sebagaimana
ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9:
“Kecuali pekerjaan yang dilakukan
sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma.
Oleh karenanya Oh Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya,
bebaskan diri dari semua ikatan.”
Dengan demikian mereka yang ingin dapat
hasil tanpa bekerja tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada
unsur untung-untungan atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan
keberanian orang-orang tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan
mereka berspekulasi dengan harapan hampa mendapat kemenangan.
SADRIPU
Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah:
- kama (nafsu tak terkendali),
- lobha (serakah),
- kroda (kemarahan),
- mada (kemabukan),
- moha (sombong), dan
- matsarya (cemburu, dengki, irihati).
Penjudi yang menang menguatkan: kama, lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan: kroda, dan matsarya.
Bhagawadgita Bab III.37:
YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”
Oleh karena itu menjadi tugas para
Sulinggih atau pemimpin-pemimpin umat untuk meningkatkan kualitas
beragama antara lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi.
Memberantas perjudian tidak dapat dengan
paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan
lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan
penyuluhan-penyuluhan yang intensif.
Kebanggaan sebagian masyarakat sebagai
penjudi sedikit demi sedikit dikikis sehingga menjadi malu berjudi.
Salah satu alasan masyarakat berjudi di zaman dahulu adalah karena
kurangnya fasilitas hiburan atau rekreasi. Oleh karena itu perkataan
lain untuk berjudi adalah “makelecan” (kelecan artinya hiburan).
Untuk menjaga kesehatan rohani
masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat ditempuh misalnya Pemerintah
menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi yang sehat, antara lain
berolah raga.
Jarang sekali di desa-desa ada lapangan
voli, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong, dll. yang dikelola oleh
Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat,
klub-klub, atau perusahaan.
Masyarakat yang ingin berenang di sungai
atau di laut airnyapun sudah tercemar limbah atau sampah. Pemerintah
agar berupaya mengalihkan keinginan masyarakat mencari hiburan dari
berjudi kepada bentuk hiburan lain yang sehat.
Pada hari-hari raya misalnya diadakan
pertandingan olah raga antar Banjar, Desa. Bentuk olah raga dipilih yang
murah meriah misalnya tarik tambang, lomba lari karung, naik pedana,
yaitu pohon pinang licin yang di puncaknya diisi berbagai hadiah.
Di Buleleng dahulu ada tradisi yang
sangat baik, yaitu pada hari Galungan ada perlombaan “megoak-goakan”
yang sangat meriah dan mengundang gelak tawa kegirangan.
Di Klungkung, Gianyar dan Karangasem ada
permainan “Ayunan Jantera” yang ramai dikunjungi pada hari-hari raya
oleh anak-anak, tua, muda. Bentuk hiburan zaman sekarang yang mahal dan
mewah belum tentu membawa kegembiraan dan kesehatan rohani.
Masyarakat penjudi adalah masyarakat
yang “sakit” sebagaimana diuraikan dalam Manawa Dharmasastra IX.221.
Pendapat ini disepakati oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Ironisnya
belum ada upaya-upaya prefentif dan represif yang sifatnya mendidik
untuk menyembuhkan penyakit rohani ini.
Usulan saya sederhana saja, misalnya
para penjudi (bebotoh) di tiap-tiap desa didata dan secara periodik
dikumpulkan kemudian diberikan siraman-siraman rohani yang menekankan
bahwa judi itu adalah dosa. (
Judi dalam Pandangan Hindu
Judi
dilarang dalam Agama Hindu. Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX
(Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228
dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu.
Sloka 223 membedakan antara perjudian
dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut
perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan.
Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil,
tanah, rumah, dsb. Mahluk hidup misalnya binatang peliharaan, manusia,
bahkan istri sendiri seperti yang dilakukan oleh Panca Pandawa dalam
ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi dijadikan objek pertaruhan
melawan Korawa.
Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:
DYUTAM SAMAHWAYAM CAIWA, RAJA RATRANNIWARAYET, RAJANTA KARANA WETAU DWAU, DOSAU PRITHIWIKSITAM
Perjudian dan pertaruhan supaya
benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal
itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota.
Istilah kerajaan dan putra mahkota zaman
sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus,
sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai
Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.
Para penjudi dan peminum minuman keras
digolongkan sebagai orang-orang “sramana kota” (sloka 225) disebut
pencuri-pencuri tersamar (sloka 226) yang mengganggu ketenteraman hidup
orang baik-baik. Judi menimbulkan pencurian (sloka 222), permusuhan
(sloka 227) dan kejahatan (sloka 228).
Para penguasa khususnya di Bali diharap
memahami benar tentang jenis-jenis judi agar tidak terkecoh dengan dalih
pelaksanaan adat dan upacara agama.
Ada kegiatan penggalian dana dengan
mengadakan tajen, ada kegiatan piodalan di Pura dilengkapi dengan tajen,
dan kebiasaan meceki pada waktu melek di acara ngaben, bahkan pada
hari-hari raya seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, dll.
TABUH RAH TIDAK SAMA DENGAN TAJEN
Tabuh Rah adalah bagian dari upacara
agama khususnya dalam upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan
judi dan pertaruhan.
Mengenai Tabuh Rah, sudah diatur dalam
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI
tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar
Siwatattwapurana dan Yadnyaprakerti.
Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara
(banten) diiringi puja mantra yang dilengkapi dengan taburan darah
binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana darahnya
keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu
kemiri, telor, kelapa.
Perang sata (adu ayam) dalam Tabuh Rah
hanya dilaksanakan tiga ronde (telung perahatan) di tempat melaksanakan
upacara agama, dapat menggunakan toh (taruhan) tetapi hasil kemenangan
taruhan itu dihaturkan seluruhnya sebagai dana punia kepada Sang
Yajamana.
Adu ayam yang pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan di atas tidak dapat disebut sebagai Tabuh Rah.
AWIDYA
Maraknya judi di seluruh pelosok Bali
disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama,
tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama.
Judi khususnya tajen sudah mentradisi di
Bali. Dampak negatif Pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan
tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan
atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau
gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.
Contoh lain, suatu ketika saya kaget
mendengar pernyataan seseorang bahwa ia harus pandai berjudi karena
leluhurnya dahulu terkenal sebagai penjudi; jadi jika hormat pada
leluhur harusnya menuruti pula hobi leluhurnya.
Berjudi juga sering menjadi simbol
eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap
banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan
dalam satu Banjar.
Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”.
Di zaman dahulu sering pula status
sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja
Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.
Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi
dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang
menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.
TAMASIK
Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa bekerja.
Yang dimaksud dengan bekerja menurut
Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya sebagaimana
ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9:
“Kecuali pekerjaan yang dilakukan
sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma.
Oleh karenanya Oh Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya,
bebaskan diri dari semua ikatan.”
Dengan demikian mereka yang ingin dapat
hasil tanpa bekerja tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada
unsur untung-untungan atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan
keberanian orang-orang tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan
mereka berspekulasi dengan harapan hampa mendapat kemenangan.
SADRIPU
Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah:
- kama (nafsu tak terkendali),
- lobha (serakah),
- kroda (kemarahan),
- mada (kemabukan),
- moha (sombong), dan
- matsarya (cemburu, dengki, irihati).
Penjudi yang menang menguatkan: kama, lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan: kroda, dan matsarya.
Bhagawadgita Bab III.37:
YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”
Oleh karena itu menjadi tugas para
Sulinggih atau pemimpin-pemimpin umat untuk meningkatkan kualitas
beragama antara lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi.
Memberantas perjudian tidak dapat dengan
paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan
lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan
penyuluhan-penyuluhan yang intensif.
Kebanggaan sebagian masyarakat sebagai
penjudi sedikit demi sedikit dikikis sehingga menjadi malu berjudi.
Salah satu alasan masyarakat berjudi di zaman dahulu adalah karena
kurangnya fasilitas hiburan atau rekreasi. Oleh karena itu perkataan
lain untuk berjudi adalah “makelecan” (kelecan artinya hiburan).
Untuk menjaga kesehatan rohani
masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat ditempuh misalnya Pemerintah
menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi yang sehat, antara lain
berolah raga.
Jarang sekali di desa-desa ada lapangan
voli, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong, dll. yang dikelola oleh
Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat,
klub-klub, atau perusahaan.
Masyarakat yang ingin berenang di sungai
atau di laut airnyapun sudah tercemar limbah atau sampah. Pemerintah
agar berupaya mengalihkan keinginan masyarakat mencari hiburan dari
berjudi kepada bentuk hiburan lain yang sehat.
Pada hari-hari raya misalnya diadakan
pertandingan olah raga antar Banjar, Desa. Bentuk olah raga dipilih yang
murah meriah misalnya tarik tambang, lomba lari karung, naik pedana,
yaitu pohon pinang licin yang di puncaknya diisi berbagai hadiah.
Di Buleleng dahulu ada tradisi yang
sangat baik, yaitu pada hari Galungan ada perlombaan “megoak-goakan”
yang sangat meriah dan mengundang gelak tawa kegirangan.
Di Klungkung, Gianyar dan Karangasem ada
permainan “Ayunan Jantera” yang ramai dikunjungi pada hari-hari raya
oleh anak-anak, tua, muda. Bentuk hiburan zaman sekarang yang mahal dan
mewah belum tentu membawa kegembiraan dan kesehatan rohani.
Masyarakat penjudi adalah masyarakat
yang “sakit” sebagaimana diuraikan dalam Manawa Dharmasastra IX.221.
Pendapat ini disepakati oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Ironisnya
belum ada upaya-upaya prefentif dan represif yang sifatnya mendidik
untuk menyembuhkan penyakit rohani ini.
Usulan saya sederhana saja, misalnya
para penjudi (bebotoh) di tiap-tiap desa didata dan secara periodik
dikumpulkan kemudian diberikan siraman-siraman rohani yang menekankan
bahwa judi itu adalah dosa.
(stitidharma.org))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar