Kamis, 24 Juli 2014

Sudah Menganggur, Suami Hobi Berjudi



ilustrasi judi
Ilustrasi: Aries Tanjung
Ibu Rieny yang terhormat, 
Saya wanita 31 tahun, bersuamikan pria 33 tahun. Kami menikah baru dua tahun. Kata orang, usia pernikahan 1 ­ 5 tahun memang merupakan masa­masa kritis bagi pasangan suami-istri, karena banyak penyesuaian dan kendala yang harus diatasi. Namun, rasanya setahun terakhir ini menjadi masa yang paling sulit bagi saya. Masalah­masalah datang tidak kunjung mereda. Jalan keluar pun tak ada, malah makin menjadi-jadi. 

Semua ini berawal setahun lalu ketika suami memutuskan berhenti dari pekerjannya lantaran stres dan tekanan yang ia rasakan di tempat kerjanya. Ditambah, tak adanya dukungan dari bos-nya. Setelah beberapa bulan di rumah, suami rupanya mulai terpengaruh ibunya (kami masih tinggal di rumah mertua karena tidak mampu beli rumah sendiri) yang hobinya main judi buntut. 

Hampir tiap hari, yang terdengar di rumah hanya masalah nomor dan nomor saja. Berulangkali saya menasihati suami, tapi ia berdalih keuntungan yang ia peroleh bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari­hari, untuk belanja, serta membayar listrik bulanan yang harus kami tanggung, sementara penghasilan saya dari bekerja di dua tempat bisa ditabung. Begitu katanya. 

Namun, begitu menang, uang yang ia peroleh tak juntrung larinya. Diberikan pada ibunyalah, kakaknyalah, atau dibelanjakan sesuatu yang tidak berguna sama sekali. Kalau saya ingatkan, ia selalu menganggap saya pelit, tidak mau membantu keluarganya. Akhirnya, saya capek sendiri Bu, berniat baik dengan mengingatkannya, tapi justru saya sendiri yang kena. 

Puncaknya terjadi beberapa hari lalu, ketika ia kalah jutaan rupiah, dan bermaksud meminjam uang tabungan saya (uang itu yang selama ini saya irit untuk persiapan jika kelak kami punya anak, yang sudah amat saya rindukan kehadirannya). Ia menghiba sambil menangis dan menyatakan penyesalannya, tapi hingga detik ini tetap saja tak mau menghentikan kebiasaaannya itu. 

Tak tahu lagi apa yang harus saya kerjakan, Bu. Mau ngomong sama keluarga saya tidak bisa, karena selama ini mereka tidak tahu apa yang terjadi (saya menutupi keadaan suami dan keluarganya supaya mereka tidak dipandang rendah oleh keluarga saya, karena kondisi ekonomi keluarga saya memang lebih baik daripada suami). Saya betul-betul bingung, rasanya ingin lari tapi tidak tahu harus lari kemana!
Keadaan di rumah mertua semakin lama juga semakin menekan saya. Kami tinggal bersama mertua. Ibunya seorang wanita yang setiap sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, selain membeli nomor sambil tak henti-hentinya mengomel dan berbicara sendiri sepanjang waktu. Bahkan, saat tidur pun dia mengigau/teriak-teriak sendiri (emosinya sangat labil).
Ayahnya seorang yang egois, suka menghina orang. Bicaranya sedikit, tapi sekali ngomong cukup menyakitkan. Beliau tidak pernah menghargai apa pun yang dilakukan suami. Bagi dia, anaknya hanya satu, yaitu kakak suami. Bahkan ketika suami berhenti kerja dan bermaksud berwiraswasta di rumah, ia tidak mengizinkan dengan alasan dialah yang berkuasa di rumahnya.
Setiap bulan kami juga membantu uang belanja dan bayar listrik, tapi tidak pernah dihargai. Bagi suami, ini tidak masalah, karena baginya membantu orang tua tanpa pamrih adalah kewajiban. Bu, saya tidak menuntut balas dari mereka, tapi setidaknya mereka bisa memahami keadaan kami dan memberi sedikit ruang gerak, kan?
Bisa Ibu bayangkan, kehidupan seperti apa yang saya rasakan di rumah ini. Berangkat kerja pagi dan pulang sore, saya langsung masuk kamar semalaman, hanya demi menghindar dari kebiasaan-kebiasaan keluarganya yang saya tidak senangi. Rasanya capek sekali, Bu. Lahir batin saya selalu harus mengalah dan menyenangkan orang lain. Padahal, keinginan saya sederhana saja kok, cuma pengin punya anak perempuan yang sehat (kami berdua mengidap sejenis virus yang akan berisiko
jika saya punya bayi, sementara pengobatannya butuh biaya tinggi) dan punya rumah sederhana untuk kami bertiga kelak.
Bagi prang lain, keinginan itu rasanya bukan soal sulit, tapi bagi kami rasanya kok mustahil. Tolong Bu, beritahu apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari permasalahan ini. Terima kasih.
Ny.X - Y
Ibu X yang terhormat,
Seorang ibu adalah tokoh yang besar peranannya dalam membentuk pola kepribadian anaknya, karena sejak lahir ibulah yang paling kita percaya selalu memberi apa-apa yang terbaik untuk diri kita, bukan? Maka dari itu, apa saja yang dikatakan ibu sebagi baik atau benar, cenderung mudah kita yakini sebagi baik atau benar, dan juga sebaliknya.
Sementara, hal-hal yang sering dilakukan ibu sehingga menetap menjadi kebiasaan dan lalu membentuk pola kepribadian tertentu, sedikit banyak akan kita ambil sebagai "model" atau acuan bagi kepribadian kita. Tak heran bila memberi nomor atau lotere yang menjadi kebiasaan ibu mertua Anda mudah sekali menular pada suami. Apalagi, suami kini berada dalam situasi tidak bekerja, sehingga dipadu dengan mimpi untuk menjadi kaya medadak, kebiasaan judi pun mudah sekali lekat.

Ada pepatah mengatakan, bila kita sedang berada di lautan, kita tak dapat mengatur datangnya angin, tetapi kita selalu berpeluang untuk mengatur posisi layar agar dapat menyongsong arah angin, sehingga perahu tetap bergerak ke arah yang kita inginkan. Umpama rumah tangga adalah sebuah bahtera yang melaju dan tujuannya adalah rumah sederhana untuk hidup bertiga, pertanyaan paling mendasar yang harus Anda jawab adalah, seberapa jauh Anda memiliki kekuatan untuk memegang kendali layar guna mengarahkannya sesuai arah angin? Kemana layar diarahkan sudah merupakan masalah pada langkah berikutnya lagi.

Pertanyaan pertama tadi perlu dijawab dan disadari kondisinya, karena makin sedikit peluang Anda untuk turut memegang kendali layar, makin besar pula peluang Anda untuk merasa stres yang berakar pada perasaan tidak adanya kontrol atas hidup dan kehidupan kita.

Istri yang berpeluang besar untuk berada pada posisi ini, Ny X, adalah istri-istri yang mengartikan ketaatan dan kepatuhan pada suami sebagai sesuatu yang total atau harus selalu ikut apa yang ia inginkan atau katakan. Ini biasanya dilengkapi dengan kurangnya kesediaan untuk berkata dan bersikap tegas di saat harus berbeda pendapat, sehingga cenderung untuk mengatakan: "Ngalah aja deh daripada ribut."

Tentu saja, secara psikologis ini tidak sehat, karena perkawinan baru dikatakan sehat secara psikologis bila masing-masing pihak merasa punya peluang yang setara (tidak harus sama besar, karena pada hemat saya, suami tetaplah kepala keluarga, RH) untuk
mengutarakan gagasan ataupun keinginannya, termasuk apa yang akan dilakukan bersama.

Artinya, Anda punya hak untuk menyatakan keberatan Anda pada suami saat diajak tinggal dengan orang tuanya. Apalagi sekarang, saat Anda merasa bahwa pengaruh judi mertua ternyata menular pada suami. Hemat saya, pindah memang tidak memberi jaminan 100 persen bahwa suami akan bebas dari pengaruh judi, tetapi bila Anda tinggal berdua, paling tidak Anda akan punya peluang lebih besar untuk bicara secara terbuka pada suami dibanding bila hidup masih "nyampur" bersama orang tua yang harus serba menenggang rasa dan peduli pada sikap mereka terhadap apa yang terjadi pada anak dan menantunya.

Waktu akan menikah, salah satu hal yang diwanti-wanti (dipesankan berulang-ulang) oleh suami pada saya adalah agar saya tidak ikut-ikut bila kelak suatu saat terjadi masalah atau ketegangan antara suami dengan ibunya atau kakak dan adik-adiknya. Alasannya, antar-mereka, kakak versus adik atau anak dengan ibu, bila ada ketegangan, kesalahan atau pertikaian, amat mudah "dihapus" dan dilupakan, karena darah yang mengalir di tubuhnya sama. Namun, bila itu melibatkan menantu atau ipar, wah bisa lain ceritanya. Untungnya, "jurus" ini tak pernah perlu dipraktikkan, karena hubungan suami dengan kerabat dekatnya juga oke-oke saja selama ini.

Saya paham benar bahwa kalau tinggal serumah, masalah volume TV pun bisa memicu ketidaksenangan. Dan karena kepemilikan rumah, status sebagai menantu dan keterbatasan-keterbatasan yang kini lekat pada suami yang sedang tak bekerja, adalah hal yang tidak menguntungkan Anda, dan pastilah peluang Anda untuk merasa "nyaman" di sana juga kecil sekali.

Jadilah beban mental Anda bertumpuk-tumpuk lagi! Suami tak kerja, judi, ibu mertua ajaib, ayah mertua mulutnya seperti silet, sumbangan iuran bulanan terasa tak dihargai, wah cuma perlu ditambah 10 kompor menyala bersama, jadilah neraka di muka bumi ya, Bu X?

Sekali lagi, kemana perahu atau bahtera keluarga ini akan Anda bawa? Seberapa jauh Anda mencoba meyakinkan suami bahwa sudah tiba saatnya Anda melabuh jangkar di tempat yang lain, dan seberapa tegas pula Anda menyadarkan suami bahwa ia tak boleh berhenti berusaha bekerja untuk menghasilkan uang, inilah faktor-faktor yang akan menentukan kapan Anda keluar dari kemelut ini.

Memusuhi suami dan menyudutkannya tak akan menghasilkan banyak manfaat, walaupun kejengkelan Anda padanya mungkin sudah mencapai ubun-ubun. Pasalnya, begitu hal ini Anda lakukan, maka ayah dan ibunya pasti akan bernilai jauh lebih positif daripada Anda, sehingga ia makin sukar dipisahkan dari keterlekatan ini.

Perbanyak muka manis dan perlakuan yang terasa di hatinya memberi keyakinan bahwa Anda mencintainya apa adanya, menerimanya, dan di saat ia sudah merasakan kenyamanan besar ketika berinteraksi dengan Anda, tampilkan ketegasan dalam mengarahkan pemikiran suami untuk mencapai tujuan perkawinan bersama.

Dari pengalaman selama ini, dengan sedih harus saya katakan bahwa "judi" adalah penyakit paling parah untuk disembuhkan pada seseorang. Sedikit saja ringannya bila dibanding dengan kecanduan narkoba. Maka, mumpung Anda belum terlalu lama berada dalam ikatan ini, tetapkan pula tenggat waktu untuk perubahan yang Anda inginkan, sehingga Anda juga tak berlarut-larut ada dalam situasi tak menentu seperti ini.

Akan tetapi, tentu saja jadikan ini sebagai alternatif terakhir ya, Bu. Sekarang, usahakanlah mengganti suasana dulu. Kalau tak bisa kontrak rumah, kos dulu tak apa-apa, kan? Sejalan dengan itu, berterus-terang pada keluarga tidak akan menurunkan gengsi Anda, kok. Bukankah kita akan merasa diri "kuat" menghadapi cobaan bila kita yakin bahwa para saudara sekandung dan orang tua mensuport kita? Mereka adalah sumber kekuatan yang tak terhingga, Bu, jadi berceritalah tanpa harus menggarisbawahi kesalahan suami ataupun meminta pembenaran pada keluarga. Dengan demikian, penghargaan mereka terhadap suami juga tidak luntur karena masalah ini.

Jangan lupa, meminta terus kepada Tuhan agar diberi kekuatan serta jalan keluar dari masalah Anda. Salam sayang. (http://www.tabloidnova.com/
)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar