Oleh Drs. Sugeng WIbowo, MH
Dosen FE Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Kalimat
budaya kewargaan sesungguhnya memiliki makna positif dan digunakan
dalam kontek yang sangat mulia, yaitu segala sesuatu yang dipandang
berharga atau utama yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sebagaimana cita-cita yang ingin diujudkan. Atau
dalam kata lain sering diterjemahkan menjadi budaya madani sebuah karakteristik budaya yang diwarnai oleh sikap dan perilaku penuh keadaban (civility). Dibalik sejumlah nilai kebaikan yang ada dalam budaya kewargaan
masyarakat Ponorogo terselip implikasi yang dapat merangsang dan
menyuburkan berbagai penyakit sosial diantaranya perjudian. Ini terjadi
karena budaya kewargaan yang paling dominan adalah sikap
toleransi dan aktif dalam paguyuban untuk kerjasama kolektif. Toleransi
disini dimaknai sebagai sikap menghargai dan menghormati perilaku orang
lain meskipun secara prinsip berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam
batas-batas tertentu toleransi atau tasamuh dalam bentuknya yang paling ekstrim sama dengan sikap pembiaran atau tidak peduli terhadap nilai ideal yang diyakininya.
Sering
kita menyaksikan suatu peristiwa yang memiliki kekhasan atau
tipikal kedaerah yang tidak dijumpai ditempat lain. Misalnya setiap
demonstrasi mahasiswa Makasar hampir selalu berakhir dengan kericuhan,
tidak saja dengan aparat kepolisian tetapi juga masyarakat sekitar
kampus. Demikian pula bisa dipastikan setiap ada pertandingan sepak bola
diluar Surabaya yang melibatkan suporter nekat (bonek) akan terjadi kegaduhan
sepanjang jalan yang dilewati. Peristiwa sosial berkarakter khusus
tersebut bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, tetapi
mencerminkan sisi lain dari budaya daerah yang bersangkutan. Artinya
bahwa kekerasan mahasiswa Makasar bukan karena namanya yang mengandung
anasir kekerasan (Ma-kasar) tetapi memang ekspresi kolektif masyarakat
tersebut lahir dari akumulasi dan interaksi budaya kewargaan bugis
yang ekspresionis dimana dalam kontek yang berbeda merupakan kelebihan
yang mampu mengantar warganya meraih kesuksesan, demikan halnya dengan
perilaku bonek .
Kalimat
budaya kewargaan sesungguhnya memiliki makna positif dan digunakan
dalam kontek yang sangat mulia, yaitu segala sesuatu yang dipandang
berharga atau utama yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sebagaimana cita-cita yang ingin diujudkan. Atau
dalam kata lain sering diterjemahkan menjadi budaya madani sebuah karakteristik budaya yang diwarnai oleh sikap dan perilaku penuh keadaban (civility). Karakteristik tersebut misalnya berupa partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat dan kenegaraan, adanya equalitas,
solidaritas, saling percaya, toleransi dan aktif dalam paguyuban untuk
kerjasama kolektif. Untuk menampakan betapa pentingnya budaya kewargaan dalam
masyarakat, maka ada beberapa karakteristik sebaliknya yang dapat
dilihat pada komunitas yang tidak memiliki budaya kewargaan (uncivic culture)
yaitu ; adanya pengkhianatan, tidak saling percaya, pengingkaran,
eksploitasi, kekacauan, terisolasi dan mengarah pada kemunduran
kelembagaan sosial maupun dalam kehidupan sosial (Putnam, 1993). Dari
penelitian yang dilakukan penulis (Dikti, 2009) diketahui bahwa
masyarakat Ponorogo masih memiliki budaya kewargaan yang ideal dimana
dari semua komponen alat ukur yang digunakan menunjukkan skor yang
memuaskan.
Dibalik sejumlah nilai kebaikan yang ada dalam budaya kewargaan
masyarakat Ponorogo terselip implikasi yang dapat merangsang dan
menyuburkan berbagai penyakit sosial diantaranya perjudian. Ini terjadi
karena budaya kewargaan yang paling dominan adalah sikap
toleransi dan aktif dalam paguyuban untuk kerjasama kolektif. Toleransi
disini dimaknai sebagai sikap menghargai dan menghormati perilaku orang
lain meskipun secara prinsip berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam
batas-batas tertentu toleransi atau tasamuh dalam bentuknya yang paling ekstrim sama dengan sikap pembiaran atau tidak peduli terhadap nilai ideal yang diyakininya.
Spirit
toleransi dijaga dengan berbagai cara satu diantaranya dengan
memelihara budaya lisan dalam bentuk ungkapan-ungkapan pembenar,
misalnya terumuskan dalam kata ngguyubi ; dan nasional. Ngguyubi
merupakan bahasa jawa yang bermakna menjaga keguyuban secara personal.
Biografi para aktifis judi/penjudi biasanya bermula dari ngguyubi temannya yang lebih dahulu menekuni perjudian. Keputusan mengikuti jejak temannya lebih banyak karena pertimbangan nilai ngguyubi tersebut. Sehingga apabila sudah masuk menjadi bagian dari komunitas penjudi (in group)
bukan berarti meninggalkan nilai-nilai moralitas warga dan agama secara
penuh, tetapi juga tetap melakukan kegiatan lingkungan misalnya
menjalankan ibadah shalat, slametan dll. Dalam kasus tertentu menunjukan
hubungan yang lebih unik , semakin aktif berjudi semakin kuat
keinginan untuk mengikuti dan mengembangkan kegiatan budaya bercorak
keagamaan yang didalamnya mengandung ritual pertobatan, misalnya
slametan. Perilaku tersebut sesungguhnya menunjukan bahwa yang terjadi
dalam kepribadian penjudi adalah adanya pertentangan dan tarik menarik
antara perasaan berdosa karena melanggar norma sosial dan agama dengan
perasaan keinginan untuk tetap menjaga pergaulan sesama. Konflik batin
yang terus menerus pada akhirnya melahirkan kepribadian terbelah (split personality), secara sadar melakukan dua substansi yang berlawanan dalam satu waktu.
Mengenai
penggunaan uang hasil perjudian sebagian masih memilah hanya untuk
kebutuhan sekunder yang tidak langsung dikonsumsi oleh keluarga karena
masih ada ketakutan apabila terkena musibah yang disebabkan
mengkonsumsi barang haram. Namun sebagian penjudi terutama yang senior,
tidak lagi mempertimbangkan moralitas agama. Penggunaan hasil judi untuk
memenuhi segala kebutuhan termasuk membiayai pendidikan anak yang
sekolahnya dilembaga pendidikan agama atau pesantren, kegiatan sosial
dan juga slametan.
Sedangkan kata nasional
digunakan dalam kontek mempertahankan diri dari kritik diluar penjudi
dan menolak nilai kebajikan yang ditawarkan komunitas agama. Mereka
berkeyakinan apa yang dilakukan merupakan fakta sosial yang tidak bisa
dikaitkan dengan agama maupun hukum. Kata nasional juga digunakan untuk memperkuat solidaritas kelompok (in group feeling)
dan menolak anggapan eksklusifitas penjudi karena mereka menganggap
komunitasnya sangat fleksibel sehingga dapat berintraksi dengan semua
golongan.
Selain ditopang oleh nilai toleransi, perjudian juga diperkuat oleh implikasi lain dari nilai kewargaan berupa
aktif dalam paguyuban untuk kerjasama kolektif. Paguyuban atau lembaga
sosial non formal terbentuk karena adanya tujuan bersama yang ingin
dicapai. Ketika kumpulan para pejudi mengorganisasikan diri (terutama
untuk judi togel), maka sesungguhnya telah terjadi proses mobilisasi
yang mengarah pada pembentukan komunitas. Soliditas sebuah komunitas
dipengaruhi tiga hal utama yaitu ; kesadaran anggota untuk bergabung,
mendapat sesuatu yang diharapkan dan ada perekat organisasi. Kesadaran
untuk bergabung dapat diukur dengan kontinuitas anggota dalam membeli
kupon judi pada setiap putaran. Dari keterlibatannya dalam transaksi
tersebut akan diketahui loyalitas dan dedikasinya terhadap komunitas.
Dikalangan pejudi kalah dan menang merupakan dua hal yang tidak terlalu
berbeda. Oleh karena itu intensitas pembelian kupon menjadi penting
karena didalamnya ada kepuasan batin berupa harapan untuk menang. Agar
anggota komunitas tetap terjaga dedikasinyai serta harapan untuk menang
selalu bersemi didalam hati, maka lahirlah ungkapan verbal yang
memperkuat komunitas ini. Perekat komunitas judi secara verbal dapat
kita jumpai disemua area publik (pasar, terminal, alun-alun bahkan
kantor pemerintahan dll.) dengan ungkapan metu piro ? (keluar
berapa), maka bagi anggota komunitas akan segera merespon. Kekuatan
kalimat tersebut terletak pada kesederhanaan namun dapat menggugah
perasaan kolektif. Bagi komunitas judi memproduksi kalimat-kalimat
penguat seperti diatas merupakan kebutuhan yang mengalir dengan
sendirinya. Pada kasus agen togel yang tertangkap kemudian dipenjara,
setelah keluar dari tahanan juga memiliki kalimat yang mampu
mengeliminir dari tujuan pemidanaan yaitu efek jera. Ditahan selama
tiga bulan dianggapnya sebagai proses ndangir yaitu kalimat
yang digunakan dalam dunia pertanian untuk pemeliharaan tanaman agar
lebih subur. Demikian pula untuk menutup aib ditengah masyarakat mereka
melakukan branding bahwa ditahannya bukan karena pelanggaran
hukum, namun sekedar memenuhi kuota yang telah disepakati antara bandar
judi dengan oknum aparat penegak hukum. Dengan kalimat penguat tersebut
mereka yang pernah ditahan dengan kasus perjudian kebanyakan tidak
berhenti setelah pembebasan, tetap melanjutkan usahanya dengan sedikit
perubahan strategi dan polesan pada besaran upeti yang diberikan.
Bagaimana hukum melihat persoalan tersebut ?
Penyebaran
perjudian di Ponorogo tergolong merata. Polisi sangat sigap dalam
menindak perjudian terutama jenis judi kartu remi, dadu dll., sedangkan
untuk togel terutama bandar besar hampir tidak tersentuh. Run teks
(tulisan berjalan di layar televisi) disebuah stasiun televisi lokal
Madiun berulangkali mengadukan perjudian dibeberapa tempat.
Tempat-tempat perjudian sangat mudah diakses oleh masyarakat dan
sebagian berada tidak jauh dari instansi penegak hukum (JTV, akhir maret
2011).
Menelaah
persoalan penegakan hukum yang banyak diharapkan oleh masyarakat tidak
dapat dilepaskan dari konsep tiga sistem hukum yaitu substansi, struktur dan kultur. (1) Substansi, disini menyangkut hukum pidana material dan formal. Dalam kontek perjudian diatur dalam Pasal
303 KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Secara substansial dasar hukum perjudian tidak efektif karena meiliki
cacat lahir yaitu : (a) hanya mengatur judi yang dijadikan pencaharian,
apabila seseorang melakukan bukan sebagai pencaharian dapat dijadikan
celah hukum tidak dikenakan hukuman pidana. (b) hanya mengatur batas
maksimal hukuman, bukan batas minimal. Sehingga dalam praktek peradilan,
putusannya sangat ringan. (2) struktur,
yang meliputi Badan Penyidik, Penuntut, Pengadilan dan Pelaksana Pidana
(LP). Persoalan mendasar yang menjadi penyebab tumpulnya pasal
perjudian pada dimensi ini salah satunya karena optic (cara
pandang) yang digunakan dalam kasus perjudian hanya dilihat dari
perundang-undangannya saja, tanpa memperhatikan keadilan. Optic sosiologi melihat ekses perjudian merugikan keluarga dan masyarakat, sementara penjudi selalu divonis ringan. (3) Kultur atau budaya,
merupakan Ide-ide, sikap, harapan, pendapat, dan nilai-nilai yang
berhubungan dengan hukum (bisa positip / negatip). Dalam kontek kultur
hukum dikenal teori social mirror, hukum merupakan cermin yang menggambarkan keadaan masyarakatnya. Apabila budaya pada masyarakatnya amburadul. maka sistem hukumnyapun ikut compang camping. Pertanyaanya apakah masyarakat Ponorogo memang terlahir dengan kultur judi ?
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George, 1985, ”Sosiologi Paradigma Ganda”, CV. Rajawali Pres, Jakarta.
Weber, Max, 1985, ”Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme:, Pustaka Promethea, Surabaya.
KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar