Rabu, 18 Februari 2015

JUDI DAN BUDAYA KEWARGAAN MASYARAKAT PONOROGO

Oleh Drs. Sugeng WIbowo, MH

Dosen FE Universitas Muhammadiyah Ponorogo

 

Kalimat budaya kewargaan sesungguhnya memiliki makna positif  dan digunakan dalam kontek yang sangat mulia, yaitu segala sesuatu  yang dipandang berharga atau utama  yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana cita-cita yang ingin diujudkan. Atau dalam kata lain  sering diterjemahkan menjadi budaya  madani sebuah karakteristik budaya yang diwarnai  oleh sikap dan perilaku penuh keadaban (civility). Dibalik sejumlah nilai kebaikan yang ada dalam budaya kewargaan masyarakat Ponorogo terselip implikasi  yang dapat merangsang dan menyuburkan berbagai penyakit sosial diantaranya perjudian.  Ini terjadi karena budaya kewargaan yang paling dominan adalah sikap toleransi dan aktif dalam paguyuban untuk kerjasama kolektif. Toleransi  disini dimaknai sebagai sikap menghargai dan menghormati perilaku orang lain  meskipun secara prinsip berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam batas-batas tertentu toleransi atau tasamuh dalam bentuknya yang paling ekstrim sama dengan sikap pembiaran atau tidak peduli terhadap nilai ideal yang diyakininya.  
Sering kita menyaksikan  suatu peristiwa  yang memiliki  kekhasan atau tipikal  kedaerah yang tidak dijumpai ditempat lain. Misalnya setiap demonstrasi mahasiswa Makasar  hampir selalu berakhir dengan kericuhan, tidak saja dengan aparat kepolisian tetapi juga masyarakat sekitar kampus. Demikian pula bisa dipastikan setiap ada pertandingan sepak bola diluar Surabaya yang melibatkan suporter nekat (bonek) akan terjadi kegaduhan sepanjang jalan yang dilewati.  Peristiwa  sosial berkarakter  khusus tersebut bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, tetapi mencerminkan sisi lain dari budaya   daerah yang bersangkutan.  Artinya  bahwa  kekerasan mahasiswa Makasar bukan karena namanya yang mengandung anasir kekerasan (Ma-kasar) tetapi memang ekspresi kolektif  masyarakat tersebut  lahir dari akumulasi dan interaksi  budaya   kewargaan bugis  yang ekspresionis dimana dalam kontek yang berbeda merupakan kelebihan yang mampu mengantar warganya meraih kesuksesan, demikan halnya dengan perilaku bonek .
Kalimat budaya kewargaan sesungguhnya memiliki makna positif  dan digunakan dalam kontek yang sangat mulia, yaitu segala sesuatu  yang dipandang berharga atau utama  yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana cita-cita yang ingin diujudkan. Atau dalam kata lain  sering diterjemahkan menjadi budaya  madani sebuah karakteristik budaya yang diwarnai  oleh sikap dan perilaku penuh keadaban (civility). Karakteristik tersebut misalnya berupa partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat  dan kenegaraan, adanya equalitas, solidaritas, saling percaya, toleransi dan  aktif dalam paguyuban untuk kerjasama kolektif.  Untuk menampakan betapa pentingnya budaya kewargaan dalam masyarakat, maka ada beberapa karakteristik sebaliknya yang dapat dilihat  pada komunitas yang tidak memiliki budaya kewargaan (uncivic culture) yaitu ; adanya pengkhianatan, tidak saling percaya, pengingkaran, eksploitasi, kekacauan, terisolasi dan mengarah pada kemunduran kelembagaan sosial maupun dalam kehidupan sosial (Putnam, 1993). Dari penelitian yang dilakukan penulis (Dikti, 2009)  diketahui bahwa masyarakat Ponorogo masih memiliki budaya kewargaan yang  ideal  dimana dari semua komponen alat ukur yang digunakan menunjukkan skor yang memuaskan.
Dibalik sejumlah nilai kebaikan yang ada dalam budaya kewargaan masyarakat Ponorogo terselip implikasi  yang dapat merangsang dan menyuburkan berbagai penyakit sosial diantaranya perjudian.  Ini terjadi karena budaya kewargaan yang paling dominan adalah sikap toleransi dan aktif dalam paguyuban untuk kerjasama kolektif. Toleransi  disini dimaknai sebagai sikap menghargai dan menghormati perilaku orang lain  meskipun secara prinsip berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam batas-batas tertentu toleransi atau tasamuh dalam bentuknya yang paling ekstrim sama dengan sikap pembiaran atau tidak peduli terhadap nilai ideal yang diyakininya. 
Spirit toleransi dijaga dengan berbagai cara satu diantaranya dengan memelihara budaya  lisan dalam bentuk ungkapan-ungkapan pembenar, misalnya  terumuskan dalam kata ngguyubi ; dan nasionalNgguyubi merupakan bahasa jawa yang bermakna  menjaga keguyuban secara personal. Biografi  para aktifis judi/penjudi   biasanya bermula dari ngguyubi temannya yang lebih dahulu menekuni perjudian. Keputusan  mengikuti jejak temannya lebih banyak karena  pertimbangan nilai ngguyubi tersebut. Sehingga apabila sudah masuk menjadi bagian dari komunitas penjudi (in group)  bukan berarti meninggalkan nilai-nilai moralitas warga dan agama secara penuh, tetapi juga tetap melakukan kegiatan lingkungan misalnya menjalankan ibadah shalat, slametan dll. Dalam kasus tertentu menunjukan hubungan yang lebih unik ,  semakin aktif berjudi semakin kuat keinginan untuk mengikuti dan mengembangkan kegiatan budaya bercorak keagamaan yang didalamnya mengandung ritual pertobatan, misalnya slametan. Perilaku tersebut  sesungguhnya menunjukan bahwa yang terjadi dalam kepribadian penjudi adalah adanya pertentangan dan tarik menarik antara perasaan berdosa karena melanggar norma sosial dan agama dengan perasaan keinginan untuk  tetap menjaga pergaulan sesama. Konflik batin yang terus menerus pada akhirnya melahirkan kepribadian terbelah (split personality), secara sadar melakukan dua substansi yang berlawanan dalam satu waktu. 
Mengenai penggunaan uang hasil perjudian sebagian masih memilah hanya untuk kebutuhan sekunder yang tidak langsung dikonsumsi oleh keluarga karena masih ada ketakutan apabila terkena musibah  yang disebabkan mengkonsumsi barang haram. Namun sebagian penjudi terutama yang senior, tidak lagi mempertimbangkan moralitas agama. Penggunaan hasil judi untuk memenuhi segala kebutuhan termasuk membiayai pendidikan anak yang sekolahnya dilembaga pendidikan agama atau pesantren, kegiatan sosial dan juga slametan.
Sedangkan kata nasional digunakan dalam kontek mempertahankan diri dari kritik diluar penjudi dan menolak nilai kebajikan yang ditawarkan komunitas agama. Mereka berkeyakinan apa yang dilakukan merupakan fakta sosial yang tidak bisa dikaitkan dengan agama maupun hukum.  Kata nasional  juga digunakan untuk memperkuat solidaritas kelompok (in group feeling) dan menolak anggapan eksklusifitas penjudi karena mereka menganggap komunitasnya sangat  fleksibel sehingga dapat berintraksi dengan semua golongan. 
Selain ditopang oleh nilai toleransi, perjudian juga diperkuat oleh implikasi lain dari nilai kewargaan  berupa aktif dalam paguyuban untuk kerjasama kolektif. Paguyuban atau lembaga sosial non formal terbentuk karena adanya tujuan bersama yang ingin dicapai. Ketika kumpulan para pejudi mengorganisasikan diri (terutama untuk judi togel), maka sesungguhnya telah terjadi proses mobilisasi yang mengarah pada pembentukan komunitas. Soliditas sebuah komunitas dipengaruhi tiga hal utama yaitu ; kesadaran anggota untuk bergabung,  mendapat sesuatu yang diharapkan dan ada perekat organisasi. Kesadaran untuk bergabung dapat diukur dengan kontinuitas anggota dalam membeli kupon judi pada setiap putaran. Dari keterlibatannya dalam transaksi tersebut akan diketahui loyalitas dan dedikasinya terhadap komunitas. Dikalangan pejudi kalah dan menang merupakan dua hal yang tidak terlalu berbeda. Oleh karena itu  intensitas pembelian kupon menjadi penting karena didalamnya ada kepuasan batin berupa harapan untuk menang. Agar anggota komunitas tetap terjaga dedikasinyai serta harapan untuk menang selalu bersemi didalam hati, maka lahirlah ungkapan verbal yang memperkuat komunitas ini.  Perekat komunitas judi secara verbal dapat kita jumpai disemua area publik (pasar, terminal, alun-alun bahkan kantor  pemerintahan dll.) dengan ungkapan metu piro ? (keluar berapa), maka  bagi anggota komunitas akan segera merespon. Kekuatan kalimat tersebut terletak pada kesederhanaan namun dapat menggugah perasaan kolektif. Bagi komunitas judi memproduksi kalimat-kalimat penguat seperti diatas merupakan kebutuhan yang mengalir dengan sendirinya. Pada kasus agen togel yang tertangkap kemudian dipenjara, setelah keluar dari tahanan juga memiliki kalimat yang mampu mengeliminir  dari tujuan pemidanaan yaitu efek jera. Ditahan selama tiga bulan dianggapnya sebagai proses ndangir yaitu kalimat yang digunakan dalam dunia pertanian untuk pemeliharaan tanaman agar lebih subur. Demikian pula untuk menutup aib ditengah masyarakat mereka melakukan branding bahwa  ditahannya bukan karena pelanggaran hukum, namun sekedar memenuhi kuota yang telah disepakati antara bandar judi dengan oknum aparat penegak hukum. Dengan kalimat penguat tersebut mereka yang pernah ditahan dengan kasus perjudian kebanyakan tidak berhenti setelah pembebasan, tetap melanjutkan usahanya dengan sedikit perubahan strategi  dan polesan pada besaran upeti yang diberikan.       
Bagaimana hukum melihat persoalan tersebut ? 
Penyebaran perjudian di Ponorogo tergolong merata. Polisi sangat sigap dalam menindak perjudian terutama jenis judi kartu remi, dadu dll., sedangkan untuk togel terutama bandar besar hampir tidak tersentuh.  Run teks (tulisan berjalan di layar televisi) disebuah stasiun televisi lokal Madiun berulangkali mengadukan perjudian dibeberapa tempat. Tempat-tempat perjudian sangat mudah diakses oleh masyarakat dan  sebagian berada tidak jauh dari instansi penegak hukum (JTV, akhir maret 2011).  
Menelaah persoalan penegakan hukum yang banyak diharapkan oleh masyarakat tidak dapat  dilepaskan dari konsep tiga sistem hukum yaitu substansi, struktur dan kultur. (1) Substansi,  disini menyangkut hukum pidana material dan formal. Dalam kontek perjudian diatur dalam Pasal 303 KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Secara substansial dasar hukum perjudian tidak efektif karena meiliki cacat lahir yaitu : (a) hanya mengatur judi yang dijadikan pencaharian, apabila seseorang melakukan bukan sebagai pencaharian dapat dijadikan celah hukum tidak dikenakan hukuman pidana. (b) hanya mengatur batas maksimal hukuman, bukan batas minimal. Sehingga dalam praktek peradilan, putusannya sangat ringan. (2) struktur, yang meliputi Badan Penyidik, Penuntut, Pengadilan dan Pelaksana Pidana (LP). Persoalan mendasar yang menjadi penyebab tumpulnya pasal perjudian pada dimensi ini salah satunya karena  optic (cara pandang)  yang digunakan dalam kasus perjudian hanya dilihat dari  perundang-undangannya saja, tanpa memperhatikan keadilan. Optic sosiologi  melihat ekses perjudian merugikan keluarga dan masyarakat, sementara penjudi selalu divonis ringan. (3) Kultur atau budaya, merupakan Ide-ide, sikap, harapan, pendapat, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum (bisa positip / negatip). Dalam kontek kultur hukum dikenal teori social mirror, hukum merupakan cermin yang menggambarkan keadaan masyarakatnya. Apabila budaya pada masyarakatnya amburadul. maka sistem hukumnyapun ikut compang camping.  Pertanyaanya  apakah masyarakat Ponorogo memang terlahir dengan kultur judi ?


DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George, 1985, ”Sosiologi Paradigma Ganda”, CV. Rajawali Pres, Jakarta.
Weber, Max, 1985, ”Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme:, Pustaka Promethea, Surabaya.

KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7  Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar