Rabu, 01 April 2015

Lotere yang menjamur di Yogyakarta hingga tahun 1970an


Beragam Judi jenis kupon atau yang lebih dikenal dengan lotere banyak dijumpai pada tahun 1940an  hingga 1970an. Lotere hadir di DIY dengan beragam wajah. Judi jenis lotere dikelola oleh warga keturunan, ada juga yang legal.  Salah satu lotere yang terkenal pada waktu itu adalah Jaw Jie Liang yang berpusat di Jakarta.  Pengundian dilakukan setiap satu ataupun dua pekan sekali. Permainan lotere lainnya yaitu Undian Uang Besar yang diadakan setiap dua pekan. Pengumuman pemenang lotere yang beruntung mendapatkan hadiah dimuat di surat kabar Shin Po.[1]


Judi lotere marak  kembali  di DIY terutama di Tahun 1960an, saat pemerintah mengeluarkan kebijakan lotere yang dikelola secara legal untuk dana pembangunan yang dikenal masyarakat Yogyakarta, yaitu National Lottery atau Nalo. Niels Mulder pernah menyatakan bahwa judi merupakan budaya orang jawa. Sebagian orang jawa sangat antusias terutama terhadap perjudian berjenis lotere.[2] Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang antusias terhadap kupon Nalo kala itu, tetapi hal tersebut di bantah Karkono Partokusumo, dari lembaga javanologi Yayasan Panunggala Yogyakarta. Menurut Karkono, meramal lotere dan membeli lotere bukan termasuk dalam budaya jawa. Niels Mulder melihatnya tidak secara menyeluruh sehingga timbul interpretasi judi di kalangan masyarakat jawa sudah menjadi tradisi.[3] Kebiasaan judi yang diungkapkan Niels Mulder adalah masa – masa ketika demam Nalo (National lottery) melanda Yogyakarta. Nalo merupakan perjudian legal dan banyak dijumpai di beberapa wilayah DIY di tahun 1970an. Dengan bertaruh sejumlah uang melalui jalan membeli selembar kupon berisi enam atau tujuh angka, sebagian masyarakat DIY hampir setiap minggu mendatangi penjual Nalo demi mendapatkan hasil yang berlipat lipat. Banyak ditemukan warung – warung baik yang resmi maupun tidak resmi yang menjual kupon - kupon pada waktu itu. Kehadiran Nalo juga disertai dengan perilaku masyarakat yang mendatangi para peramal untuk meramal pertaruhan Nalo. Selain itu juga kerap ditemukan anggota aliran kebatinan meminta ramalan pada pemimpin kebatinan. Ada juga yang mencoba meramal nomer secara otodidak dengan memecahkan enkripsi sebuah peristiwa, seperti kecelakaan kendaraan dan peristiwa ganjil, yaitu dengan melihat pelat nomor ataupun tanggal kelahiran atau kematian orang.[4] Kehadiran Nalo diikuti dengan kemunculan Nalo dua angka atau buntut Nalo dan juga dikenal dengan judi buntut. Nalo pada waktu itu merupakan bisnis yang menggiurkan bagi bandar, pengusaha dan jasa peramal di Yogyakarta.[5]  



Nalo merupakan bentuk perjudian yang memiliki sertifikat atau izin dari pemerintah.[6] Kupon Nalo dijual dengan harga Rp.100,00 dan diedarkan dengan menggunakan izin dari dinas sosial. Begitu juga dengan Toto Totalisator atau Lotto dan banyak beredar di Yogyakarta. Judi ini legal dan pendistribusiannya diawasi oleh pemerintah. Toto Totalisator didistribusikan di Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Sleman.[7] Penyelenggara Nalo di Yogyakarta adalah Ong Ging Ging yang lebih dikenal dengan nama Onggo Hartono.[8] Kedua judi kupon tersebut banyak dijual di areal THR (Taman Hiburan Rakyat)  Yogyakarta yang sekarang berubah nama menjadi Purawisata.[9] Beberapa bandar bekerjasama dengan oknum aparat penegak hukum, sehingga jenis perjudian ini bisa berlangsung lama.[10] Tahun 1968, kedua jenis lotere ini mendapat protes dari organisasi Islam Muhammadiyah karena dianggap bertentangan dengan agama.[11]
Jenis lain judi kupon lainnya yang banyak dijumpai di tahun 1970an yaitu Lotere Dana Harapan, Lotere Daerah atau dikenal dengan Loda dan Hwa Hwe. Kedua jenis lotere tersebut memiliki izin beredar dari pemerintah DIY. Lotere Dana Harapan disebut juga Undian Harapan dikelola oleh pemerintah pusat dan berada di bawah Yayasan Rehabilitasi Sosial yang berubah nama tahun 1978 menjadi Badan Usaha Undian Harapan.[12] Hasil penarikan lotere Undian Harapan digunakan untuk membiayai penannggulangan masalah sosial.[13] Sedangkan Loda dan Hwa Hwe dikelola oleh pemerintah Kota Yogyakarta.[14]
Penyelenggaraan Loda di DIY diberhentikan di tahun 1974. Mula – mula pemerintah menutup Taman Hiburan Rakyat tahun 1973. Setelah itu,  proyek Kassa di Yogyakarta dihentikan pada tahun 1973 seiring dengan ditutupnya Taman hiburan Rakyat yang merupakan tempat pengundian Loda.[15] Setahun kemudian Loda ditutup.[16] Sedangkan lotere Undian Harapan dibekukan pada tahun 1978 oleh pemerintah pusat karena menuai protes dari masyarakat.[17]  
Tidak hanya lotere resmi yang banyak digemari masyarakat, judi buntut pun menjadi fenomana dalam kehidupan masyarakat di DIY Tahun 1960an hingga1980an. Penjualan judi buntut dilakukan dengan terselubung maupun terang – terangan. Kupon judi butut banyak dijumpai sekitar daerah THR. Sisanya tersebar di Jalan Gejayan, Jalan Kaliurang. Pembelinya pun beragam, dari Buruh, tukang becak bahkan hingga mahasiswa juga turut membeli.[18]
Melihat dampak lotere yang sangat besar terhadap masyarakat, pemerintah melarang segala jenis perjudian dan lotere dengan mengeluarkan Kepres RI No  47 tahun 1973 tentang penertiban perjudian dan UU No. 7 Tahun 1974 .  Dalam UU No. 7 tahn 1974  dijelaskan bahwa ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan juga menunjukkan bahwa hasil perjudian yang diperoleh pemerintah baik pusat maupun daerah dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, ekses negatifnya lebih besar daripada ekses positifnya.[19] Pada tanggal 9 Febuari tahun 1976, presiden menginstruksikan kepada menteri sosial untuk menghentikan segala jenis toto atau undian, yang sebelumnya sangat meresahkan di tahun 1975.[20] Walaupun pemerintah mengeluarkan larangan perjudian dengan mengeluarkan UU no 7 tahun 1974 dan SK Menteri Sosial No.  K\55-IT\76\MS tentang Instruksi Presiden Mengenai Toto Raga dan Toto Lainnya, perjudian ilegal semakin marak. Undian liar atau kupon putihan banyak dijumpai dan susah ditertibkan. Konsumennya merambah rakyat kecil yang kebanyakan berprofesi sebagai tukang becak.[21] Hingga Tahun 1979, jenis  undian liar merebak hingga daerah Bantul DIY. Undian tersebut diedarkan secara sembunyi - sembunyi dan terstruktur melalui beberapa agen yang tersebar di wilayah Bantul.[22] Pemerintah DIY mengalami kesulitan dalam menangani masalah perjudian gelap. Banyak oknum aparat yang terlibat dalam mengayomi perjudian jenis lotere di DIY. Oknum tersebut biasanya membiarkan perjudian di awal pekan. Menjelang akhir pekan, para bandar mendapatkan uang banyak hasil dari penarikan. Hal ini menjadi lahan subur bagi oknum penegak hukum. Mereka bertindak menertibkan perjudian dengan menangkap bandar judi untuk dimintai sejumlah uang hasil dari penarikan. Para bandar juga terkadang lebih memilih untuk mendekam di penjara apabila tidak mampu membayar pemenang lotere yang berhasil menebak tepat. Hal ini menjadi fenomena yang dianggap lazim dan banyak dijumpai terkait perjudian jenis lotere di tahun 1970an.[23] Sedikit demi sedikit permasalahan mengenai perjudian gelap teratasi dengan suasana yang semakin kondusif serta intensifnya kerja aparat penegak hukum guna membersihkan DIY dari perjudian gelap yang menimbulkan ekses negatif terhadap masyarakat.[24]  (http://indracuin.blogspot.com)


Ditulis berdasarkan riset Indra Fibiona untuk skripsi S1   


[1] Lihat lampiran iklan Shin Po, 29 Mei 1956.
[2] Yohanes Sumadya Widada. “Porkas dan Forecasting” Bernas. 16 Maret 1986.
[3] Yohanes Sumadya Widada. “Porkas dan Forecasting” Bernas. 16 Maret 1986.
[4] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam dan Wandi Wiroatmojo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang. Lihat juga aliran kebatinan yang dijelaskan Niels Mulder. Niels Mulder, Mistisme jawa : Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta :LKIS, 2001) : 52-54.
[5] Dikemukakan Niels Mulder, ketika  ia mengadakan penelitian di Yogyakarta bertepatan dengan merebaknya judi Nalo. Masyarakat sangat antusias dengan perjudian jenis kupon tersebut. Niels Mulder, ibid : 51-52.
[6] Wandi Wiroatmojo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang. Lihat juga Suara muhammadiyah No.23/76/1991 :17.
[7] Wandi Wiroatmodjo, wawancara,  19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang.
[8] http://sociopolitica.wordpress.com, diakses tanggal 23 Febuari 2010 Pukul 14.00 WIB.
[9] Lilik Wiyono, wawancara,11 Desember 2009, pukul 15.00 di Turi, Sleman. Lihat juga Mudjijono, Op.cit : 24.
[10] Senada dengan yang diungkapkan Mulyanto, bahwa judi buntut adalah judi yang diundi berdasarkan nomor hasil undian Nalo, tapi seiring dengan diberhentikannya izin peredaran Nalo, judi ini kemudian berkembang di bawah beberapa bandar – bandar, dengan nama sesuai kelompok bandar. Mulyanto, wawancara, 28 Juli 201028 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.  
[11] Suara muhammadiyah, No.23/76/1991 :17.
[13] Surat Keputusan Menteri Sosial No. B.A. 5-4-76/169 Tentang Penyelenggaraan Undian Harapan .
[14] Mulyanto. wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Lihat juga Kedaulatan Rakjat, 23 Desember 1971.
[15] Masa Kini, 5 Mei 1973.
[16] Mulyanto, wawancara, 6 Mei 2010, pukul 19.30 WIB, di Karanggayam.
[17] Budiman S. Hartoyo, “Wajah Lotere Silih Berganti”, Tempo, 20 November 1993 : 40. 
[18]  Bapak Mulyanto sering memergoki mahasiswa UGM yang beliau kenal mampir di kios – kios penjual kupon Nalo. Bahkan ketika Bapak Mulyanto  menjadi penjual kupon Dana Harapan pun, banyak mahasiswa membeli kupon dari beliau. Mulyanto. wawancara, 6 Mei 2010, pukul 19.30WIB di Karanggayam .
[19] Mariana Anggraini, ”Hakikat dan Fungsi“, http://www.digilib.ui.ac.id, diakses tanggal 23 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB. Lihat juga UU No. 7 Tahun 1979 Tentang Perjudian.  
[20] SK Menteri Sosial No.  K\55-IT\76\MS tentang Instruksi Presiden Mengenai Toto Raga dan Toto Lainnya.
[21] Surat YayasanPendidikan dan Kesejahteraan Pengusaha dan Pengendara Becak D.I. Yogyakarta, no 001/Y/P-3B.Y./1978 perihal  permohonan Izin penyelenggaraan Undian Intern. 10 April 1978.
[22] Kedaulatan Rakyat, 24 Febuari 1979.
[23] Niels Mulder, loc. cit : 52.
[24] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB di Karanggayam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar