Beragam Judi jenis kupon atau yang
lebih dikenal dengan lotere banyak dijumpai pada tahun 1940an hingga 1970an. Lotere hadir di DIY dengan beragam wajah. Judi
jenis lotere dikelola oleh warga keturunan, ada juga yang legal. Salah satu lotere yang terkenal pada waktu
itu adalah Jaw Jie Liang yang berpusat di Jakarta. Pengundian dilakukan setiap satu ataupun dua
pekan sekali. Permainan lotere lainnya yaitu Undian Uang Besar yang diadakan
setiap dua pekan. Pengumuman pemenang lotere yang beruntung mendapatkan hadiah
dimuat di surat kabar Shin Po.[1]
Judi lotere marak kembali di DIY terutama di Tahun 1960an, saat pemerintah mengeluarkan kebijakan lotere yang dikelola secara legal untuk dana pembangunan yang dikenal masyarakat Yogyakarta, yaitu National Lottery atau Nalo. Niels Mulder pernah menyatakan bahwa judi merupakan budaya orang jawa. Sebagian orang jawa sangat antusias terutama terhadap perjudian berjenis lotere.[2] Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang antusias terhadap kupon Nalo kala itu, tetapi hal tersebut di bantah Karkono Partokusumo, dari lembaga javanologi Yayasan Panunggala Yogyakarta. Menurut Karkono, meramal lotere dan membeli lotere bukan termasuk dalam budaya jawa. Niels Mulder melihatnya tidak secara menyeluruh sehingga timbul interpretasi judi di kalangan masyarakat jawa sudah menjadi tradisi.[3] Kebiasaan judi yang diungkapkan Niels Mulder adalah masa – masa ketika demam Nalo (National lottery) melanda Yogyakarta. Nalo merupakan perjudian legal dan banyak dijumpai di beberapa wilayah DIY di tahun 1970an. Dengan bertaruh sejumlah uang melalui jalan membeli selembar kupon berisi enam atau tujuh angka, sebagian masyarakat DIY hampir setiap minggu mendatangi penjual Nalo demi mendapatkan hasil yang berlipat lipat. Banyak ditemukan warung – warung baik yang resmi maupun tidak resmi yang menjual kupon - kupon pada waktu itu. Kehadiran Nalo juga disertai dengan perilaku masyarakat yang mendatangi para peramal untuk meramal pertaruhan Nalo. Selain itu juga kerap ditemukan anggota aliran kebatinan meminta ramalan pada pemimpin kebatinan. Ada juga yang mencoba meramal nomer secara otodidak dengan memecahkan enkripsi sebuah peristiwa, seperti kecelakaan kendaraan dan peristiwa ganjil, yaitu dengan melihat pelat nomor ataupun tanggal kelahiran atau kematian orang.[4] Kehadiran Nalo diikuti dengan kemunculan Nalo dua angka atau buntut Nalo dan juga dikenal dengan judi buntut. Nalo pada waktu itu merupakan bisnis yang menggiurkan bagi bandar, pengusaha dan jasa peramal di Yogyakarta.[5]
Judi lotere marak kembali di DIY terutama di Tahun 1960an, saat pemerintah mengeluarkan kebijakan lotere yang dikelola secara legal untuk dana pembangunan yang dikenal masyarakat Yogyakarta, yaitu National Lottery atau Nalo. Niels Mulder pernah menyatakan bahwa judi merupakan budaya orang jawa. Sebagian orang jawa sangat antusias terutama terhadap perjudian berjenis lotere.[2] Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang antusias terhadap kupon Nalo kala itu, tetapi hal tersebut di bantah Karkono Partokusumo, dari lembaga javanologi Yayasan Panunggala Yogyakarta. Menurut Karkono, meramal lotere dan membeli lotere bukan termasuk dalam budaya jawa. Niels Mulder melihatnya tidak secara menyeluruh sehingga timbul interpretasi judi di kalangan masyarakat jawa sudah menjadi tradisi.[3] Kebiasaan judi yang diungkapkan Niels Mulder adalah masa – masa ketika demam Nalo (National lottery) melanda Yogyakarta. Nalo merupakan perjudian legal dan banyak dijumpai di beberapa wilayah DIY di tahun 1970an. Dengan bertaruh sejumlah uang melalui jalan membeli selembar kupon berisi enam atau tujuh angka, sebagian masyarakat DIY hampir setiap minggu mendatangi penjual Nalo demi mendapatkan hasil yang berlipat lipat. Banyak ditemukan warung – warung baik yang resmi maupun tidak resmi yang menjual kupon - kupon pada waktu itu. Kehadiran Nalo juga disertai dengan perilaku masyarakat yang mendatangi para peramal untuk meramal pertaruhan Nalo. Selain itu juga kerap ditemukan anggota aliran kebatinan meminta ramalan pada pemimpin kebatinan. Ada juga yang mencoba meramal nomer secara otodidak dengan memecahkan enkripsi sebuah peristiwa, seperti kecelakaan kendaraan dan peristiwa ganjil, yaitu dengan melihat pelat nomor ataupun tanggal kelahiran atau kematian orang.[4] Kehadiran Nalo diikuti dengan kemunculan Nalo dua angka atau buntut Nalo dan juga dikenal dengan judi buntut. Nalo pada waktu itu merupakan bisnis yang menggiurkan bagi bandar, pengusaha dan jasa peramal di Yogyakarta.[5]
Nalo merupakan bentuk perjudian yang memiliki sertifikat atau izin dari
pemerintah.[6]
Kupon Nalo dijual dengan harga Rp.100,00 dan diedarkan dengan menggunakan izin
dari dinas sosial. Begitu juga dengan Toto
Totalisator
atau Lotto
dan banyak beredar di Yogyakarta.
Judi ini legal dan pendistribusiannya diawasi oleh pemerintah. Toto Totalisator
didistribusikan di Kota
Yogyakarta dan sebagian Kabupaten
Sleman.[7]
Penyelenggara Nalo di Yogyakarta adalah Ong Ging Ging yang lebih dikenal dengan
nama Onggo Hartono.[8]
Kedua judi kupon tersebut banyak dijual di areal THR (Taman Hiburan
Rakyat) Yogyakarta yang sekarang berubah
nama menjadi Purawisata.[9] Beberapa
bandar bekerjasama dengan oknum aparat penegak hukum, sehingga jenis perjudian
ini bisa berlangsung lama.[10] Tahun
1968, kedua jenis lotere ini mendapat protes dari organisasi Islam Muhammadiyah
karena dianggap bertentangan dengan agama.[11]
Jenis lain judi kupon lainnya yang
banyak dijumpai di tahun 1970an yaitu Lotere
Dana Harapan, Lotere Daerah atau
dikenal dengan Loda dan Hwa Hwe.
Kedua jenis lotere tersebut memiliki izin beredar dari pemerintah DIY. Lotere
Dana Harapan disebut juga Undian Harapan dikelola oleh pemerintah pusat dan
berada di bawah Yayasan Rehabilitasi Sosial yang berubah nama tahun 1978
menjadi Badan Usaha Undian Harapan.[12] Hasil
penarikan lotere
Undian Harapan
digunakan untuk membiayai penannggulangan masalah sosial.[13] Sedangkan
Loda dan Hwa Hwe
dikelola oleh pemerintah Kota Yogyakarta.[14]
Penyelenggaraan Loda di DIY diberhentikan
di tahun 1974. Mula – mula pemerintah menutup Taman Hiburan Rakyat tahun 1973. Setelah itu, proyek Kassa
di Yogyakarta dihentikan pada tahun 1973 seiring dengan ditutupnya Taman
hiburan Rakyat yang merupakan tempat pengundian Loda.[15] Setahun
kemudian Loda ditutup.[16] Sedangkan
lotere Undian Harapan
dibekukan pada tahun 1978 oleh pemerintah pusat karena menuai protes dari
masyarakat.[17]
Tidak hanya lotere resmi yang banyak
digemari masyarakat, judi buntut pun
menjadi fenomana dalam kehidupan masyarakat di DIY Tahun 1960an hingga1980an.
Penjualan judi
buntut dilakukan dengan terselubung maupun terang – terangan. Kupon judi butut
banyak dijumpai sekitar daerah THR. Sisanya tersebar di Jalan Gejayan, Jalan Kaliurang.
Pembelinya pun beragam, dari Buruh, tukang becak bahkan hingga mahasiswa juga turut membeli.[18]
Melihat dampak lotere yang sangat
besar terhadap masyarakat, pemerintah melarang segala jenis perjudian dan
lotere dengan mengeluarkan Kepres RI
No 47 tahun 1973 tentang penertiban
perjudian dan UU No. 7 Tahun 1974 . Dalam UU No. 7 tahn 1974 dijelaskan bahwa ditinjau dari kepentingan
nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan
terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun
kenyataan juga menunjukkan bahwa hasil perjudian yang diperoleh pemerintah baik
pusat maupun daerah dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, ekses
negatifnya lebih besar daripada ekses positifnya.[19]
Pada tanggal 9 Febuari tahun 1976, presiden menginstruksikan kepada menteri
sosial untuk menghentikan segala jenis toto atau undian, yang sebelumnya sangat
meresahkan di tahun 1975.[20] Walaupun
pemerintah mengeluarkan larangan perjudian dengan mengeluarkan UU no 7 tahun 1974
dan SK Menteri Sosial No. K\55-IT\76\MS
tentang Instruksi Presiden Mengenai Toto Raga dan Toto Lainnya, perjudian
ilegal semakin marak. Undian liar atau kupon putihan banyak dijumpai dan susah
ditertibkan. Konsumennya merambah rakyat kecil yang kebanyakan berprofesi
sebagai tukang becak.[21]
Hingga Tahun 1979, jenis undian liar
merebak hingga daerah Bantul DIY. Undian tersebut diedarkan secara sembunyi - sembunyi dan
terstruktur melalui beberapa agen yang tersebar di wilayah Bantul.[22]
Pemerintah DIY mengalami kesulitan dalam menangani masalah perjudian gelap. Banyak oknum aparat yang terlibat dalam mengayomi
perjudian jenis lotere di DIY. Oknum tersebut biasanya membiarkan perjudian di
awal pekan. Menjelang akhir pekan, para bandar mendapatkan uang banyak hasil
dari penarikan. Hal ini menjadi lahan subur bagi oknum penegak hukum. Mereka
bertindak menertibkan perjudian dengan menangkap bandar judi untuk dimintai
sejumlah uang hasil dari penarikan. Para bandar juga terkadang lebih memilih
untuk mendekam di penjara apabila tidak mampu membayar pemenang lotere yang
berhasil menebak tepat. Hal ini menjadi fenomena yang dianggap lazim dan banyak
dijumpai terkait perjudian jenis lotere di tahun 1970an.[23]
Sedikit demi sedikit
permasalahan mengenai perjudian gelap teratasi dengan suasana yang semakin kondusif serta intensifnya
kerja aparat penegak hukum guna membersihkan DIY dari perjudian gelap yang
menimbulkan ekses negatif terhadap masyarakat.[24] (http://indracuin.blogspot.com)
[4]
Mulyanto, wawancara,
28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam
dan Wandi Wiroatmojo, wawancara, 19
Febuari 2010, pukul 14.00
WIB di Karangmalang. Lihat juga aliran kebatinan yang dijelaskan Niels Mulder. Niels Mulder, Mistisme jawa : Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta :LKIS, 2001)
: 52-54.
[5] Dikemukakan Niels Mulder, ketika
ia mengadakan penelitian di Yogyakarta bertepatan dengan merebaknya judi
Nalo. Masyarakat sangat antusias dengan perjudian jenis kupon tersebut. Niels
Mulder, ibid : 51-52.
[6] Wandi Wiroatmojo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang.
Lihat juga Suara muhammadiyah
No.23/76/1991 :17.
[8] http://sociopolitica.wordpress.com,
diakses tanggal 23 Febuari 2010 Pukul 14.00 WIB.
[9] Lilik Wiyono, wawancara,11 Desember 2009, pukul
15.00 di Turi, Sleman. Lihat juga
Mudjijono, Op.cit : 24.
[10] Senada dengan yang diungkapkan Mulyanto, bahwa judi buntut adalah
judi yang diundi berdasarkan nomor hasil undian Nalo, tapi seiring dengan
diberhentikannya izin peredaran Nalo, judi ini kemudian berkembang di bawah
beberapa bandar – bandar, dengan nama sesuai kelompok bandar. Mulyanto, wawancara, 28 Juli
201028 Juli 2010, pukul
19.00 WIB, di Karanggayam.
[11] Suara muhammadiyah,
No.23/76/1991 :17.
[12] “Dari Lotere ke Lotere”, http://tempointeraktif.com, diakses tanggal 24 Oktober 2010 pukul 21.30.
[13] Surat Keputusan Menteri Sosial No. B.A. 5-4-76/169 Tentang Penyelenggaraan Undian Harapan .
[14] Mulyanto. wawancara, 28 Juli 2010, pukul
19.00 WIB, di Karanggayam. Lihat
juga Kedaulatan Rakjat, 23 Desember 1971.
[15] Masa Kini, 5 Mei 1973.
[17] Budiman S. Hartoyo, “Wajah Lotere Silih Berganti”, Tempo, 20 November 1993 : 40.
[18] Bapak Mulyanto sering
memergoki mahasiswa UGM yang beliau kenal mampir di kios – kios penjual kupon
Nalo. Bahkan ketika Bapak Mulyanto
menjadi penjual kupon Dana Harapan pun, banyak mahasiswa membeli kupon
dari beliau. Mulyanto. wawancara, 6 Mei 2010, pukul
19.30WIB di Karanggayam .
[19] Mariana
Anggraini, ”Hakikat dan Fungsi“, http://www.digilib.ui.ac.id,
diakses tanggal 23 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB. Lihat
juga UU No. 7 Tahun 1979 Tentang
Perjudian.
[20] SK Menteri Sosial No. K\55-IT\76\MS
tentang Instruksi Presiden Mengenai Toto
Raga dan Toto Lainnya.
[21] Surat YayasanPendidikan dan Kesejahteraan Pengusaha dan
Pengendara Becak D.I. Yogyakarta, no 001/Y/P-3B.Y./1978 perihal permohonan Izin
penyelenggaraan Undian Intern. 10 April 1978.
[22] Kedaulatan Rakyat, 24
Febuari 1979.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar