Mengaku miskin, banyak orang yang mau. Bahkan, tak
sedikit orang kaya pura-pura miskin demi mencapai cita-citanya. Hanya sedikit
orang yang bersedia jujur pada kekayaan (terutama harta) yang dimilikinya.
============
Di tengah kultur patron, teladan atau contoh seorang
pemimpin sangatlah diharapkan. Tapi, bagaimana bila Ketua DPR Ade Komarudin
rupanya belum melaporkan kekayaan selama 15 tahun terakhir. Tidak menutup
kemungkinan, masih banyak anggota DPR lain yang juga belum lapor kekayaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalir 60 persen anggota Dewan belum
mengisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Ade Komarudin terakhir melaporkan kekayaannya pada 2001. seperti
dilansir https://beritagar.id, Jumat
(11/3), Ade beralasan belum sempat bikin LHKPN karena sibuk. Dia berjanji akan
melaporkan LHKPN pada masa reses mendatang dan mengimbau koleganya untuk segera
membuat LHKPN.
Menanggapi pengungkapan KPK seputar anggota Dewan yang belum
mengisi formulir LHKPN, Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco menyatakan pihaknya segera
menyurati KPK. "Kami akan membuat surat ke KPK agar berikan info ke Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) anggota yang belum laporkan kekayaan," kata Sufmi
Dasco di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Setelah itu MKD akan memperingatkan kepada anggota DPR yang
belum setor LHKPN. Sebagai pejabat negara, tentu wajib untuk melaporkan
kekayaan. "MKD akan ingatkan anggota supaya sesuai aturan mereka laporkan
harta kekayaan, ketimbang KPK melakukan publikasi di media misalnya. Lebih
bagus begitu menurut saya," ujar Dasco.
Soal LHKPN anggota DPR ini kembali ramai setelah Wakil Ketua
DPR Fadli Zon menyerukan anggota DPR melaporkan kekayaannya ke KPK, Kamis
(10/3). Fadli Zon sendiri mengaku sudah melaporkan kekayaannya.
Di waktu hampir bersamaan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengungkapkankan dari 545 anggota DPR, ada 203
anggota yang belum mengisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Bahkan, berdasarkan catatan KPK, 69 anggota dewan sama sekali belum melaporkan
dan 134 anggota belum lapor update.
Banyaknya anggota dewan yang lalai mengisi data LHKPN itu
membuat KPK berencana mengeluarkan aturan yang bisa memperkarakan anggota dewan
yang belum melaporkan kekayaannya.
"Idenya begitu, cuma sementara hukuman dan reward-nya
masih pada pesan moral," ujar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
Saut Situmorang, Selasa (8/3/2016).
Sejauh ini, kata Saut, KPK baru akan merekomendasikan model
pengawasan internal instansi. Misalnya, untuk pegawai negeri sipil kelalaian
itu bisa dimasukkan dalam rekomendasi promosi jabatan. Sedangkan untuk anggota
DPR, KPK menyarankan kepada masyarakat untuk tidak memilih mereka saat pemilu. "Nanti
kita umumkan caleg mana yang tidak mengisi LHKPN," ucap dia.
Meski demikian, Saut mengatakan rekomendasi itu dirasa belum
cukup untuk menyadarkan anggota dewan. Oleh sebab itu, pimpinan KPK berencana
membahas dengan Deputi Pencegahan untuk merekomendasikan sanksi hukum yang
lebih bisa membuat jera dan jujur mengakui harta-benda yang dimilikinya.
Saut menjelaskan saat ini pihaknya sudah mengingatkan para
anggota dewan itu. "Kami sudah ingatkan mereka untuk mengisi (laporan
kekayaan)," kata Saut.
Ketua KPK Agus Rahardjo menambahkan KPK sudah dua kali
mengirim surat ke beberapa anggota DPR yang belum melapor harta kekayaannya.
Sayangnya, imbuh Agus, hingga saat ini belum ada respons positif dari yang
bersangkutan.
"KPK sudah kirimkan dua kali surat ke anggota anggota
DPR, atas imbauan ketua DPR kami masih menunggu laporan dari yang
bersangkutan," ujar Agus saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta,
Kamis (10/3).
Dia juga mengatakan KPK tidak memiliki kewenangan untuk
memberikan sanksi bagi pejabat yang belum lapor. Karena, hanya pimpinan atau
ketua instansi yang terkait dalam memberikan sanksi terhadap anak buahnya.
Koalisi Masyarakat untuk Parlemen Bersih pun mendesak Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk membuka daftar nama anggota dewan yang tak lapor
kekayaan. Arief Rachman, koordinator koalisi, menyebutkan anggota dewan yang
tak melaporkan kekayaannya terbanyak berasal dari partai PDIP dan Nasdem.
Ihwal banyaknya anggota Dewan yang belum mengisi LHKPN, Wakil
Ketua Komisi II DPR Lukman Edy tidak menampik. Tidak hanya faktor kesibukan,
menurutnya, proses pengisian LHKPN pun sangat rumit. "Iya mungkin mereka
lalai dan mengisi LHKPN itu kan tidak mudah, ada kolom-kolom yang harus
dilengkapi dan itu perlu waktu banyak," ucapnya di sela-sela acara
Sosialisasi Empat Pilar untuk mahasiswa dari perguruan tinggi se-provinsi Jambi
di Rumah Kito Resort Jambi, Kota Jambi, Jumat (11/3).
Lukman berharap agar KPK melakukan sistem proses melaporkan
LHKPN dengan cara online. "Seharusnya proses online saja kan
ini sudah canggih, jangan yang melapor harus bolak balik KPK, seharusnya
seperti itu gak repot juga jadinya," bebernya.
Lukman pun menceritakan bahwa dirinya sudah melaporkan LHKPN
kepada KPK. "Saya saja sudah melaporkan LHKPN. Prosesnya tidak mudah loh.
Saya satu kali ngasih data ngisi 20 lembar dan dibalikin lagi karena gak
lengkap, ya semestinya dipermudah aja," tandasnya.
LHKPN sesungguhnya bukan hal baru bagi penyelenggara negara
termasuk DPR. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 5 UU No. 28/1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Lalu diperkuat dengan UU No.
30/2002 tentang KPK. Cara pelaporannya diatur dengan Keputusan KPK No.
07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Apa sesungguhnya yang ingin dicapai dengan LHKPN? Antara
lain tentu tentang disiplin dan kejujuran (transparansi). Yang juga penting
adalah transparansi bagi para penyelenggara Negara. Dari rangkaian LHKPN yang
diperbarui dari waktu ke waktu, kekayaan penyelenggara negara akan terlihat
grafik peningkatannya.
LHKPN ini juga bisa dijadikan peringatan dini bagi KPK dalam
melakukan pencegahan atau penindakan. Misalnya saja, bila terjadi peningkatan
kekayaan yang tidak wajar seorang penyelenggara negara pada kurun waktu
tertentu. Namun tujuan LHKPN ini akan sia-sia tanpa kepatuhan para
penyelenggara negara dalam melaporkan.
Masalah paling serius rendahnya ketaatan penyelenggara
negara terhadap pelaporan LHKPN, adalah tidak adanya sanksi definitif. Pasal 20
UU No. 28/1999, hanya menyebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sampai sekarang sanksi administratif ini masih sekadar
wacana. KPK memiliki beberapa ide soal sanksi administratif ini. Misalnya, kata
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, penangguhan promosi atau kenaikan pangkat bagi
Pegawai Negeri Sipil dan Militer. Persoalannya bagaimana dengan anggota DPR?
Dikenakan sanksi tak boleh ikut sidang? Bisa jadi mereka malah senang, toh
selama ini mereka pun sering bolos sidang.
Ketidak-jelasan sanksi administratif inilah yang diduga kuat
menjadi penyebab kemalasan penyelenggara negara membuat LHKPN. Dari data di
KPK, bisa dibilang kepatuhan melaporkan LHKPN secara nasional rendah.
Penyelenggara negara di lembaga legislatif hanya salah satu
contoh. Jumlah legislator di Indonesia periode 2014-2019, sebanyak 17.216
orang, terdiri dari 560 orang anggota DPR RI, 132 orang anggota DPD, 2.114
orang anggota DPRD tingkat Provinsi, dan 14.410 orang anggota DPRD
Kabupaten/Kota.
Sampai 31 Januari 2016 yang melaporkan baru 3.637 orang.
Padahal, yang wajib melaporkan sebanyak 13.325, ini terdiri dari yang belum
melaporkan ditambah yang harus melakukan pembaruan. Maklum saja, LHKPN
diwajibkan bagi pejabat negara pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi
dan pensiun.
Di lembaga eksekutif, kepatuhannya pun tak beda jauh. Sampai
31 Januari, eksekutif yang wajib menyerahkan LHKPN sebanyak 280.881orang,
sedang yang sudah menyerahkan LHKPN baru 156.716 orang.
Yudikatif yang kepatuhannya cukup bagus. Dari 11.463 yang
wajib membuat LHKPN, yang telah lapor sebanyak 10.049 orang. Sementara pejabat
BUMN lumayan taat. Dari 26.835 orang yang wajib bikin LHKPN, sebanyak 21.000
sudah menyelesaikan kewajibannya.
Tanpa sanksi definitif, kepatuhan membuat LHKPN akan tetap
rendah. Transparansi harta penyelenggara negara hanya basa basi. Pencegahan
korupsi pun hanya akan jadi mimpi. (BN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar