Nama Purnomo sempat akrab di telinga sebagian masyarakat di saat
judi cap ji kia merebak di wilayah Solo dan sekitarnya beberapa tahun
lalu. Sebut saja nama Wisanggeni, maka banyak orang yang langsung
mengaitkan nama salah satu tokoh pewayangan itu dengan dunia judi yang
berpusat di Kartasura, Sukoharjo, yang dikelola oleh Purnomo sebagai
bandar besarnya.
Namun
kini si empunya nama sudah berubah 180 derajat. Perputaran uang judi
yang dulu menjadi penyambung hidupnya kini sudah berhenti. Sumber
nafkahnya kini adalah usaha kardus bekas di Jalan Slamet Riyadi,
Makamhaji, Sukoharjo. Muhammad Hadi Purnomo, nama lengkapnya, kini boleh
bangga telah menjadi pengusaha jual beli kardus bekas yang sukses. Uang
sebesar Rp 60 juta hingga Rp 70 juta setiap bulan dengan mudah
didapatnya berkat kardus-kardus itu. Sejak merintis usaha itu, keinginan
Purnomo hanya satu, yakni ingin berbagi rezeki kepada sesama. Bahkan,
memberi sedekah dan santunan sudah menjadi urat nadi yang tak
terpisahkan dari hidupnya. Hal itulah yang membuatnya tumbuh menjadi
manusia ksatria dan berjiwa besar demi menghambakan diri kepada Sang
Maha Penguasa Jagat Raya.
Kepada Espos, Purnomo mengakui, judi cap ji kie atau cap ji
kia pernah menjadi sandaran hidupnya selama lebih dari 30 tahun lamanya.
Perannya di dunia perjudian itu tidak hanya sekadar menjadi pemasang,
ia menjadi bandar besar yang disegani penjudi lainnya. Pada masa
keemasannya, nama besar Purnomo di dunia cap ji kia tak pernah terusik
oleh polisi sekali pun.
Dunia itu dikenalnya sejak ia lulus SMP sekitar tahun 1970-an.
Purnomo mengenal judi berangkat dari lingkungan rumahnya semasa kecil,
yakni di Dawung, Serengan, Solo. Pada masa itu setiap rumah di
sekitarnya menjadi ladang subur bagi para penjudi remi, domino, dadu dan
lainnya. Saking seringnya melihat suasana itu, Purnomo remaja mulai
menjajal mempertaruhkan nasibnya, hingga akhirnya berani bertaruh meski
hanya sebatas memasang dengan nominal kecil-kecilan.
“Dahulu kehidupan sangat sulit dan keras. Orangtua yang miskin
membuat saya hanya mengenyam pendidikan sampai SMP. Akhirnya judi lah
satu-satunya harapan saya untuk bertahan hidup dan menghidupi,” kenang
Purnomo. Sejak saat itu mental Purnomo terbentuk menjadi penjudi kelas
kakap. Bahkan, larangan kedua orangtuanya, Sumodarsono dan Sulasmi, tak
pernah menciutkan keinginannya membangun jaringan perjudian yang semakin
luas. Dengan bermodal kepiawaiannya bermain cap ji kia, Purnomo
berhasil menjadi bandar besar pada tahun 1990. Ia pun mempunyai tempat
khusus bernama PSP di Pasar Pon, Solo. Saat menjadi bandar itu, judi cap
ji kia seakan menjadi mesin penghasil uang. Setiap hari ia mampu meraup
keuntungan sebesar Rp 200 juta sekali bukaan. Padahal, setiap hari PSP
dapat melayani tujuh kali bukaan. “Limpahan harta haram itu setiap hari
saya dapatkan. Tetapi anehnya, sepertinya saya tidak pernah bahagia
mengantongi uang bermiliar-miliar itu. Setiap hari pasti habis entah
untuk apa. Mungkin Tuhan tidak memberi berkah,” kata Purnomo mengenang
masa lalunya.
Kebesarannya menjadi bandar cap ji kia hebat termasyur di seluruh
Solo. Hingga ia memutuskan untuk berpindah lokasi judi di Kartasura pada
tahun 1999. Saat di Kartasura nama Wisanggeni yang mempunyai slogan Paseduluran Tanpa Tepi
itu lahir. Perputaran uang judi yang dikelolanya meningkat menjadi Rp
300 juta-Rp 350 juta setiap bukaan. Setahun setelah menjalankan bisnis
judi di Kartasura, batin Purnomo mulai terusik dengan ketidaktenangan.
Sukmanya memberontak melawan perbuatannya yang penuh dosa. Sepertinya
Tuhan mulai mengetuk pintu hati Purnomo yang telah lama tak tersentuh
hidayah. Purnomo mengaku, di dalam hatinya ia ingin terlepas dari
jeratan judi yang terus membelenggu, tetapi realita di lapangan
membuatnya tak kuasa melepasnya. Ia terus menjalankan judi itu meski
sebenarnya menyadari hal itu adalah dosa yang tak terkira besarnya.
Memang sejak mengetahui ada benih-benih kenakalan, orangtua Purnomo
terutama ibunya, Sulasmi yang kini berusia 80 tahun, tak berhenti
memberi nasihat dan wejangan kebaikan, agar ia tak terjerumus ke dalam
jurang kenistaan. Tetapi, Purnomo terlanjur mempunyai mental penjudi.
Pesan-pesan bijak dari ibunya seperti tak mampu lagi membendung hasrat
Purnomo yang ingin berjaya di dunia judi. Keinginannya semakin tak
terbendung setelah ayahnya, Sumodarsono meninggal dunia sekitar tahun
1982.
Sifat pembangkang dan jiwa penjudi tersebut berubah 180 derajat
ketika Purnomo benar-benar mengerti arti sebuah kasih sayang orangtua.
Saat menjadi bandar besar cap ji kia, bayang-bayang ayahnya selalu
mengusik pikirannya. Purnomo berpikir selama ayahnya hidup rasanya ia
belum pernah membahagiakannya. “Kalau mengingat bapak waktu itu saya
semakin sadar selama itu saya hanya membuat orangtua susah hingga sering
menangis karena kelakuan saya. Rasanya menyesal sekali. Tetapi apa
daya, dorongan berjudi lebih kuat. Terpaksa saya harus terus menjadi
bandar,” sesal Purnomo menggelayuti.
Namun, hal itu menurut Purnomo menjadi titik balik munculnya hidayah
Tuhan kepadanya. Beberapa tahun berselang, sekitar tahun 1996 lahir
gejolak batin yang begitu kuat. Pikirannya berkecamuk setiap kali
melihat ibunya meneteskan air mata tatkala berdoa seusai salat tahajud.
Saat itu, sambung Purnomo, rasanya ingin mendekati ibundanya, ingin
sekali bersimpuh di kakinya, ingin menangis di hadapannya dan mengatakan
telah taubat sebenar-benarnya. “Setiap kali melihat ibu berdoa meminta
agar saya taubat, batin ini rasanya merintih. Ingin sekali memeluk
beliau,” katanya penuh sesal.
Tetapi sekali lagi, jaringan judi yang begitu kuat lebih menguasai
dirinya. Terpaksa ia hanya dapat menangis di dalam sanubari. Di dalam
palung hati Purnomo, mengalir cinta yang begitu dahsyat kepada ibunya.
Sukmanya semakin menggelora meminta ampunan kepada Tuhan dan ibundanya.
Perlahan tetapi pasti, perilaku Purnomo berangsur berubah, kendati masih
berjudi. Ia mulai sering mengenakan baju koko dan peci, meskipun saat
membandari.
“Dalam hati saya berkata, ya Allah betapa berdosanya saya kepada-Mu
yang membuat ibu dan bapak begitu berduka mempunyai anak seperti saya.
Batin ini rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya. Sejak saat itu saya
mulai memperbanyak aktivitas keagamaan. Bahkan, saat membandari saya
selalu mengenakan baju islami lengkap dengan peci,” papar Purnomo
sembari menudingkan jari ke baju islami yang dikenakannya. Tidak hanya
itu, hasil judi yang sebenarnya menjadi uang haram selalu di
sedekahkannya dan memberi santunan kepada fakir miskin serta turut andil
dalam pendanaan pembangunan desa. Purnomo mengaku tidak tahu, apakah
amal itu berkah atau tidak.
Menurut Purnomo, hal itu dilakukannya semata-mata hanya ingin mencapai taubat yang nyata.
Istrinya, Sumarsih, 52 dan ketiga anaknya, Agus Sumarsono, 35; Danu
Suryadi, 30 dan Lita Trisetyani, 28, juga mempunyai peran penting bagi
Purnomo memasuki babak kehidupan baru. Berkat mereka semua, pada tahun
2004 ia benar-benar terlepas dari belenggu hitam perjudian.
“Lega rasanya bisa keluar dari dunia kesenangan semu. Tanpa hidayah
Allah dan peran semua orang-orang tercinta, mustahil saya dapat lepas
dari rantai jaringan judi yang begitu kuat menguasai,” ujar Purnomo
penuh syukur.
Limpahan uang haram berganti limpahan hidayah. Ia benar-benar taubat
dan tak lagi menyentuh cap ji kia apalagi remi. Sejak saat itu ia
merintis usaha halal menjadi pembeli kardus. Berkat usaha dan doanya,
bisnisnya semakin berkembang pesat. Hingga kini ia menjadi bos besar
pemilik usaha jual beli kardus bekas yang beromzet puluhan juta rupiah
per bulan, mempunyai perusahaan air minum di Kartasura yang saat ini
dikelola putrinya, Lia Trisetyani, 28 dan CV Anugerah Persada,
perusahaan penyedia tanaga kerja dan perawatan gedung perkantoran. Kini
laki-laki berusia 50 tahun ini menjadi sosok yang agamis dan mempunyai
tambahan nama Muhammad setelah menjalankan ibadah haji tahun lalu. (http://www.solopos.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar