Demi mencerdaskan bangsa, kita sepakat,
perpustakaan memang sangat dibutuhkan. Perpustakaan juga punya nilai
representatif mendukung kinerja Dewan. Namun, apakah harus terbesar se-Asia
Tenggara?
=========
DPR berencana membangun gedung baru yang di dalamnya
terdapat perpustakaan parlemen terbesar se-Asia Tenggara. Sudah ada
ancang-ancang lokasi perpustakaan beranggaran Rp 570 miliar ini. Di APBN 2016,
sudah ada anggaran sebesar Rp 570 miliar untuk proyek pembangunan DPR ini.
DPR mempublikasikan rencana lokasi perpustakaan itu lewat
akun Twitter @DPR_RI, Selasa (29/3). Areanya masih di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta Pusat. Letaknya berada di samping Gedung Nusantara yang
dikenal dengan bentuk menyerupai tempurung kura-kura itu.
Perpustakaan ini direncanakan bisa menyimpan 600.000 buku
dan terbuka untuk umum. Tetapi belum ada penjelasan soal rancangan atau
spesifikasinya lebih lengkap.
Ketua DPR Ade Komarudin mengemukakan wacana ini dipublikasikan
setelah menerima para cendekiawan pada Selasa (22/3) lalu. Pria yang akrab
disapa Akom ini menganggap usulan para cendekiawan sebagai ide baik yang
seharusnya diperjuangkan.
"Kalau dengan akal sehat, saya kira tidak ada alasan
untuk merecoki usulan para cendekiawan itu. Mereka lebih bijak, lebih mengerti
bagaimana mencerdaskan bangsa ini," kata Akom.
Akom baru akan membicarakan usulan ini dengan Badan Urusan
Rumah Tangga (BURT) dan fraksi-fraksi setelah masa reses. Meski begitu, dia
percaya diri bisa meyakinkan semua pihak. "Saya siap hadapi baik luar DPR,
dalam, termasuk jika pemerintah yang menolak," ucap politikus Partai Golkar
ini.
Wacana ini spontan mengundang polemik. Sesama anggota DPR
saja ada beragam pendapat. Wakil Ketua BURT DPR Dimyati Natakusuma tak setuju
dengan rencana Ketua DPR Ade Komarudin untuk membangun perpustakaan terbesar
se-Asia Tenggara. Dia menilai gagasan tersebut terlalu berlebihan. "Kalau
terbesar se-Asia Tenggara tidak perlu, kemahalan. Kita berharap biayanya tidak
lebih dari Rp 100 miliar," kata Dimyati di DPR Senayan, Rabu (30/3).
Dimyati mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia tidak
memungkinkan untuk membangun perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara. Apalagi,
lanjutnya, pemerintah sudah memberlakukan moratorium pembangunan gedung baru
untuk kementerian dan lembaga. Dengan moratorium itu, DPR tidak bisa membangun
gedung baru.
Namun dia menilai, DPR masih bisa memanfaatkan gedung atau
perpustakaan yang ada saat ini untuk direnovasi menjadi lebih baik.
"Yang penting kita tidak bangun pondasi baru. Pak Ade
Komarudin sebagai speaker boleh dia sampaikan pemikirannya, tapi prosedur ada
di BURT," ucap Politisi Partai Persatuan Pembangunan ini.
Dimyati mengaku, BURT sudah melakukan kunjungan kerja ke
Library of Congress di Amerika Serikat. BURT akan mengadopsi sebagian konsep
perpustakaan terbesar di dunia itu. Namun, perpustakaan yang akan dibangun DPR kelak
tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan Library of Congress.
Sementara itu Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menuturkan
pembangunan gedung DPR sudah ada surat dari Presiden Joko Widodo sekitar akhir
2014 atau awal 2015, khususnya untuk pengadaan fasilitas penataan di
legislatif. "Juga ada suratnya, dipersilakan untuk membangun gedung-gedung
yang diperlukan," kata Fadli, di kantor MMD Initiative, Jakarta, Rabu (30/3).
Fadli menjelaskan, DPR berkirim surat perihal tersebut
dengan atas nama Sekretaris Negara (Setneg). Menurutnya, kalau memang
pemerintah tidak memiliki uang untuk membangun gedung, maka hanya perlu
mengatakan terus terang. "Ada suratnya kok atas nama Setneg. Bagaimana
ini, pemerintah enggak ngerti suratnya sendiri. Kalau enggak ada uang bilang
terus terang, negara ini mau bangkrut bilang terus terang," katanya.
Pembangunan gedung seperti perpustakaan, museum, dan ruang
tenaga ahli, kata Fadli, merupakan kebutuhan. "Tapi, sekali lagi kalau
enggak ada uang, batalin saja. Tidak masalah. Tapi kalau ada, ini suatu
kebutuhan yang diperlukan. Itu kan terserah pro kontra. Kalau mau merevisi juga
tidak masalah. Misalnya, enggak ada uang. Kalau enggak uang mau dipaksakan
apa," tandasnya Fadli.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet (Seskab), Pramono Anung,
mengatakan Presiden telah memoratorium pembangunan seluruh gedung yang berlaku
umum, kecuali untuk pendidikan dan keperluan mendesak lainnya. Pramono
mengingatkan bahwa izin tersebut harus melalui Seskab dan hingga kini Presiden
belum menyetujui pembangunan perpustakaan DPR.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid berpendapat rencana itu
harus diimbangi dengan prioritas DPR soal legislasi agar kepercayaan publik
tetap terjaga. Perpustakaan DPR belum menjadi prioritas untuk saat ini.
"Saya melihat prioritasnya belum di situ. Prioritasnya tingkatkan
legislasi, keaktifan dalam kegiatan DPR, tentang DPR yang dipersepsikan oleh
publik terkait masalah korupsi, ketidak-hadiran. Kalau itu sudah terlampaui,
katakanlah nilainya B, saya kira rakyat akan mengerti," jelas dia.
Dalam nada sedikit
minor, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formapi) menilai
rencana pembangunan perpustakaan merupakan niatan segelintir anggota DPR yang
mempunyai kepentingan. Formapi melihat, perpustakaan yang ada sekarang saja
belum dimanfaatkan secara maksimal. "Perpustakaan hampir pasti penting.
Semua tahu. Namun membanggakan perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara, apa
relevansi? Untuk membaca atau untuk gagah-gagahan saja," kata peneliti
Formapi Lucius Karus seperti dikutip dihubungi merdeka.com, Senin (28/3).
"Saya juga sangsi, ada anggota DPR yang ke
perpustakaan. Jika perpustakaan dimanfaatkan secara maksimal, tidak perlu lagi
anggota DPR studi banding ke luar negeri," ujarnya.
Dia pun menyayangkan langkah sejumlah cendikia yang disebut
sebagai penggagas pembangunan perpustakaan tersebut. Menurutnya, rencana
tersebut murni inisiasi anggota DPR, dan para cendikiwan dimanfaatkan oleh
legislatif untuk memuluskan pembangunan tersebut.
"Kasihan banget cendikiawan itu, Mereka dimanfaatkan
untuk meligitimasi pembangunan perpustakaan. Mereka (cendikiawan) dengan
polosnya mendukung tanpa bisa melihat kepentingan yang bermain," ujar
Lucius.
Sah-sah saja kita bermimpi memiliki perpustakaan besar dan
lengkap seperti Library of Congress yang konon memiliki koleksi 36 juta buku, atau
National Library of China di Beijing yang jadi perpustakaan terbesar di Asia
dengan koleksi 23 juta buku.
Hanya saja, niat ‘mulia’ wakil rakyat tetap saja mengundang
kecurigaan dan tanda tanya besar. Apa urgensinya membangun fasilitas megah yang
menelan anggaran ratusan miliar rupiah di tengah kesulitan ekonomi masyarakat.
Apa betul legislator kita punya minat baca tinggi.
Kecurigaan muncul lantaran proyek perpustakaan dianggap
akal-akalan DPR memuluskan rencana membangun kantor mewah yang sejak lama
direncanakan tapi selalu menuai penolakan rakyat, serta tidak didukung
pemerintah. Maka, ketika ada rombongan cendekiawan bertandang ke DPR dan
melempar wacana pembangunan perpustakaan besar, ide cemerlang ini langsung
ditangkap.
Bukan rahasia lagi, kepercayaan publik terhadap DPR kian
tergerus menyusul rangkaian kasus yang menjerat anggota Dewan, baik korupsi,
suap, maupun sikap tak terpuji lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar