Sejak tiga bulan terakhir ini, media massa, baik cetak maupun elektronik, khususnya televisi marak menyiarkan tentang perjudian tajen, yang mana Bapak Kapolda dengan anak buahnya sedang gencar-gencarnya membumi hanguskan tajen yang bersekala besar. Tanggapan pun segera merebak dari berbagai kalangan. Khususnya Kalangan Agama/Tokoh masyarakat dan bahkan para bebotoh menyuarakan aspirasinya tentang Tajen. Dalam memberikan jawaban, tentunya kita harus mengacu pada nilai-nilai Agama yang dianut oleh masyarakat didaiam suatu wilayah. Dalam hal ini Bati sebagai titik sentralnya dimana masyarakatnya lebih banyak yang beragama Hindu.
Salah satu yang menyebabkan Kehancuran masyarakat Bali diakibatkan oleh kemerosotan moral dan iman. Di tengah-tengah era reformasi, dimana masyarakat Bali mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Untuk itu peran moral dan iman sangat menentukan untukmenuju kehidupan yang modern dan sejahtra. Dalam GBHN banyak diuraikan tentang kebijaksanaan pembangunan suatu Bangsa ditujukan kepada pembangunan manusia seutuhnya, dalam arti pembangunan material dan pembangunan mental spiritual. Dengan demikian moral dan iman sebagai tujuan pembangunan tidak saja ditujukan kepada anggota masyarakat saja. Akan tetapi juga Aparat Pemerintah, Pemuka Agama dan Adat atau Lembaga Umat yang membimbing, mengarahkan moral dan iman Umatnya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku atau sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Untuk mencapai Tujuan Pembangunan itu diperlukan Benteng moral dan iman yang kuat, sehingga dapat mengatasi godaan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat manusia maupun situasi lingkungan yang berkembang dihadapkan pada percepatan modernisasi yang serba canggih.
Pada umumnya dalam masyarakat, tentu saja ada kebiasaan buruk yang ditimbulkan oleh sifat-sifat manusia yang pada umumnya disebut dengan penyakit masyarakat yaitu madat (termasuk Narkoba), minuman keras, berjinah, Sodomi, Selingkuh, pelacuran, mencuri, penyiksaan dengan tindakan kekerasan (himsa karma) dan judi. Di dalam ajaran Agama Hindu orang yang demikian adalah orang yang tidak mampu mengendalikan diri dan selalu terpengaruh oleh sifat-sifat wisaya karma, sifat Rajasika dan Tamasika, sehingga Satwikanya tidak jalan/tidak bisa berperilaku baik dan benar serta bijaksana.
Judi merupakan penyakit masyarakat, apabila perbuatan judi dilakukan dalam jumlah porsi yang kecil, tentu tidak akan membahayakan, akan tetapi apabila dilakukan dalam sekala besar tentu akan merusak baik pribadi yang bersangkutan maupun kelompok bahkan Bangsa sendiri. Oleh karena itu kami akan mengangkat permasalahan dalam hubungan dengan metoh (JUDI) dalam kaitannya dengan tabuh rah. Ada yang menginterpretasikan dikalangan umat bahwa Tabuh Rah sebagai salah satu cara melengkapi Upacara dan ada yang mengatakan identik dengan judi.
Judi sesungguhnya merupakan perbuatan terlarang baik menurut KUHP maupun menurut Ajaran Agama Hindu. Dalam kaitannya dengan hukum pidana didalam KUHP pasal 303 ayat 3 yang dimaksud judi yaitu suatu permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya beruntung pada untungan saja. Dalam Undang Undang nomor 7 tahun 1974 tentang perjudian, judi diartikan sebagai suatu kejahatan. Akan tetapi dalam pengertian dalam Bahasa Bali dari kata memtoh yang berasal dari kata toh yang berarti taruhan, sehingga setiap ada taruhan termasuk judi.
Dalam pandangan Hindu, akibat yang ditimbulkan oleh judi itu yang dilarang. Karena dari judi terkadang timbul sifat-sifat nafsu sekarah, loba dan bahkan menimbulkan kemarahan. Dalam Kitab Smerti Sarasamuccaya "sloka 105 dan 106 ada disebutkan:
Kunang ikang wwang kakavaca dening krodhanya, niyata gumawe ulah puspa, makantang wenang amatyani guru, wenang ta ya tumirarskara sang sadhu, tumekesira parusawacana
Artinya:
Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar hati seorang yang saleh, yaitu menyerang akan dia yang berkata-kata kasar.
Maka orang yang dikuasai oleh nafsu murkanya, tak dapat tidak niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat membunuh guru, dan sanggup ia membakar hati seorang yang saleh, yaitu menyerang akan dia yang berkata-kata kasar.
Lawan Iwirning kakawaca dening krodha, tan wruhjuga ya ri salah kenaning ujar, tatan wruh ya ring ulah larangan, lawan adharma, wenang umajaraken ikang tan yukti wuwusakene
Artinya :
Tambahan pula orang yang dikuasai oleh napsu murka, sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma + serta sanggup mereka mengatakan sesuatu, yang tidak layak untuk dikatakan.
Tambahan pula orang yang dikuasai oleh napsu murka, sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang terlarang dan yang menyalahi dharma + serta sanggup mereka mengatakan sesuatu, yang tidak layak untuk dikatakan.
Dengan demikian, akibat dari judi tersebutlah menimbulkan nafsu serakah, loba bahkan akan menimbulkan kemarahan. Akibat marah menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga dan merusak keharmonisan hidup dalam masyarakat. Lebih jauh ditekankan didalam Kitab Suci Reg Veda X.34.13 disebutkan:
Aksair tna divyah krsim it krsasva, Vitte ramasvabahu manyamanah tatmgawh kitavah tatra jada tan me viscate savitayam aryah
Artinya : Wahai para penjudi, jangan bermain judi/bajaklah tanah itu, selalu puas dengan penghasilanmu sendiri, pikirkan bahwa itu cukup. Pertanian menyediakan sapi -sapi betina dan dengan itu istrimu tetap berbahagia. Dewa Sawita, Dewa Alam Senresla, telah menasehatimu untuk berbuat begitu.
Dengan demikian judi memang tidak dibenarkan, akibatnya akan memberikan kesengsaraan bagi umat manusia. Hal ini jelas dikisahkan didalam Mahabrata, dimana Yudistira diajak bermain judi dadu oleh Raja Duryadana, akhirnya dapat kita saksikan, semua artanya bahkan kerajaan sampai dengan istrinya dipertaruhkan-. Akibatnya ia menderita selama belasan tahun, terlunta-lunta hidupnya.
Begitu juga dalam kenyataan, tidak sedikit para pengusaha gulung tikar,, akibat ratusan hektar tanah habis terjual, tak jarang orang.orang bijak terpuji di masyarakat terbalik menjadi penipu, pencuri, pembohong, pemerkosa ini diakibatkan runtuhnya moral dan iman gara-gara judi.
Sedangkan Tabuh Rah sesungguhnya salah satu rangkaian Upacara Yadnya. Hal ini jelas diuraikan didalam. Prasasti Balur Abang A. 933 Cuka dan Prasasti Batuan 944 Caka.
Mwangyan pekarya karya, Masanga kunangwagik ya manah wunga makantang telung perabotan, ithaniya tan pamunta, Tan Pawataring nayakan sakdi
Artinya :
Bila mengadakan upacara misalnya tawur kesanga, Patutlah mengadakan tajen 3 partai tanpa perlu minta ijin, tanpa perlu memberi tahu orang yang berwenang. Sedangkan dalam Prasasti Batuan 944 Caka, disebutkan:
Bila mengadakan upacara misalnya tawur kesanga, Patutlah mengadakan tajen 3 partai tanpa perlu minta ijin, tanpa perlu memberi tahu orang yang berwenang. Sedangkan dalam Prasasti Batuan 944 Caka, disebutkan:
Kunang yan mana wurug ing pengaduan makantang telung parahatan, tan pamivrita ring nayaka saksi mwang sawunga tunggur, ian knana minta pamli
Artinya :
Bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan sebanyak tiga partai, tidak perlu meminta ijin kepada yang berwenang dan pengawas sambungan ayam tidak dibenarkan menarik cukai/pajak.
Bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan sebanyak tiga partai, tidak perlu meminta ijin kepada yang berwenang dan pengawas sambungan ayam tidak dibenarkan menarik cukai/pajak.
Lebih jauh menurut hasil seminar tentang Kesatuan Tapsir terhadap aspek aspek Agama Hindu diselenggarakan PHDI Pusat tanggal 23 s/d 26 Pebruari 1976 dan kemudian dikukuhkan dalam Maha Sabha ke IV Tahun 1980 menyebutkan fungsi Tabuh Tah merupakan Rangkaian dari Upacara/Upakara Agama Hindu dengan wujud Tabuh Rah berupa binatang/Hewan korban, sarananya meliputi jenis jenis binatang seperti Ayam, Babi, Itik, Kerbau dan lain-lain. Dan kemudian cara penaburannya dilakukan dengan cara menyembelih, perang sata, dilengkapi dengan kemiTi, telor, andel-andel beserta Upakaranya.
Pelaksanaannya pada tempat dan .upacara berlangsung oleh Sang Yajamana, Ayam yang diadukan adalah Ayam Sawungan. Aduan Ayam itu dilakukan telung perahatan. Hal ini dilambangkan dengan Tri Kona yaitu Utpeti, Stiti danPrelina. Sesungguhnya tidak ada manusia yang terhindar dari ketiga kekuatan itu, sedangkan kalau ada uang itu sebagai sesari.
Dengan demikian Tabuh Rah bukan judi, hanya orang-orang tertentu yang secara sengaja /tidak sengaja mengambil kesempatan pada momentum itu. Apabila Sambungan ayam itu judi agar benar-benar dikeluarkan dari wilayah Bali. Hal ini jelas sekali disebutkan didalam Ajaran Agama Hindu secara tegas melarang perjudian. Kitab suci Menawa Dharma sastra IX 221:
Dyutam samahwayam caiwa, raja ratranniwarayet, rajanta karana wetau dwau, dosau pritikwisitham
Artinya :
Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya karena menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota. Istilah kerajaan dan putra mahkota bisa ditapsirkan sebagai negara dart generasi penerus. Sedangkan pemerintahan bisa ditapsirkan penguasa.
Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya karena menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota. Istilah kerajaan dan putra mahkota bisa ditapsirkan sebagai negara dart generasi penerus. Sedangkan pemerintahan bisa ditapsirkan penguasa.
Para penjudi dari peminum keras digolongkan sebagai Orang-orang Srmana kota dalam sloka 225 Menawa Dharmasastra adalah orang-orang/ pencuri-pencuri tersamar (sloka 226) orang yang mengganggu ketentraman hidup orang baik baik. Perjudian menimbulkan pencurian sloka 222 dan permusuhan sloka 227 dan sloka 228 adalah kejahatan yang disebabkan Sad Ripu. Untuk itu kami salut atas tindakan Bapak Kapolda Bapak Mangku Pastika, dan kami selaku anggota masyarakat memberi hormat sama Bapak, lanjutkan perjuangan Bapak untuk terus mem-brantas judi dan berbagai bentuk perjudian sebagai penyakit masyarakat sehingga Bali bebas dari perjudian merupakan salah satu bagian dari Ajeg Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar