Kamis, 19 Juni 2014

Kisah Anak Seorang Tukang Judi

Kehidupan memang bagaikan pelangi, berbagai macam warna dan cerita di setiap harinya. Setiap detik yang berlalu ada lebih dari sejuta kisah yang terjadi. Ada lebih dari sejuta tawa dan air mata. Kehidupan memang bagaikan menulis sebuah buku. Menulis berbagai kisah di sebuah buku yang namanya buku kehidupan.
Ini sebuah kisah nyata yang terjadi lima puluh dua tahun yang lalu di Pulau Bali. Kisah ini menceritakan tentang kehidupan seorang anak laki-laki bernama Santra, seorang anak laki-laki pertama dari pasangan suami-istri yang hidupnya kurang berkecukupan. Saat Santra berumur delapan tahun, ia sudah menjadi seorang anak yang giat bekerja. Ibunya bekerja menjual sayur gondo yang di tanam di ladang, dan malangnya ayah Santra adalah seorang penjudi. Santra sudah berpikir untuk mencari uang di usianya yang masih belia. Keadaan yang sangat menyedihkan sering sekali terjadi, ketika uang hasil dari penjualan sayur gondo yang ibunya dapat, secara paksa, ayahnya mengambil uang itu untuk dipakai berjudi. Santra sangat prihatin dan kasian dengan ibunya. Maka dari itu ia sangat ingin membantu ibunya mencari uang.
Santra pernah mencoba berjualan es lilin di kampungnya sepulang dari sekolah. Ayahnya yang seorang penjudi keras dan selalu mabuk-mabukan karena minum-minuman keras, selalu pulang dengan amarah karena selalu saja kalah bermain judi. Dan juga ayah Santra sering memukul ibunya. Santra sangat tahu bagaimana kesulitan yang ibunya rasakan ketika ia harus memberi makan lima anaknya yang masih kecil-kecil dengan uang hasil menanam sayuran di ladang dan uang itu sering diminta paksa oleh suaminya untuk berjudi. Seringkali ibunya hanya merebus singkong dan ubi untuk makan mereka sehari-hari. Dan lebih menyedihkannya, singkong dan ubi itu terkadang tidak cukup untuk makan mereka. Hingga ibu Santra sering tidak makan dan hanya minum air putih saja untuk membiarkan anak-anaknya makan agar tidak kelaparan. Dan jika ini sudah terjadi, maka Santra akan pergi keluar rumah entah ke sawah atau ke pinggir sungai dan kemudian menangis bersembunyi. Hatinya terasa sakit dan sedih. Santra sangat kesal dengan ayahnya namun ia tahu ia tidak boleh membencinya. Ia kasihan dengan ibunya. Maka ia tidak pernah ingin meminta sesuatu kepada ibunya.
Saat musim panen adalah saat-saat paling membahagiakan untuk Santra. Karena ia bisa pergi ke sawah untuk mengumpulkan butir-butir padi yang tercecer di tanah sisa dari panen. Dengan hati bahagia Santra pulang ke rumah. Hasilnya sangat lumayan. Padi yang terkumpul dalam kantong plastik itu bisa dijual. Dan bisa juga dipakai untuk makan keluarganya, pikir anak kecil gigih itu.
Santra tidak pernah kehabisan akal untuk mencari uang. Ia pernah bekerja sebagai pencari pasir di sungai. Satu-satunya anak kecil yang mencari pasir, karena yang lainnya ibu-ibu.
Beberapa bulan kemudian, nenek Santra mengajak Santra pergi ke Pulau Sumatra dan berjanji akan kembali lagi ke Pulau Bali. Ibu Santra sedih melepas kepergian anaknya itu. Begitu pun Santra yang menahan tangis ketika harus berpisah dengan keluarganya.
Santra hidup bersama neneknya di pulau transmigrasi itu, tepatnya di Lampung. Ia tinggal di sebuah gubuk reyot. Santra merasa sedih karena ia merindukan ibu, ayah, dan semua adik-adiknya. Tempat ini terasa asing. Dan lebih menyedihkan lagi, neneknya berkata bahwa ia tidak akan kembali ke Pulau Bali lagi. Santra menangis di malam hari, di balik tidurnya, ditemani lampu minyak yang bersinar redup.
Santra hidup dengan kesederhanaan. Ia disekolahkan oleh neneknya. Ia adalah seorang anak yang rajin dan pintar. Ketika masuk SMP, ia harus berjalan sejauh delapan kilometer setiap harinya untuk berangkat ke sekolah. Itu dilakukannya selama tiga tahun tanpa pernah mengeluh sekalipun. Sama seperti di Bali, Santra pun selalu mengusahakan untuk mendapatkan uang. Jadi, Santra lagi-lagi mencoba berjualan es dengan menaiki sepeda keliling kampung sebelah. Ia melakukannya setelah pulang dari sekolah. Tanpa mengenal lelah, hingga malamnya ia masih tetap belajar dengan giat. Saat masuk sekolah lanjutan, Santra mengambil jurusan pertanian. Setelah selesai kuliah, ia melamar pekerjaan di sebuah perkebunan pabrik tebu yang lumayan besar dan diterima menjadi mandornya. Gajinya lebih dari cukup. Setelah mendapatkan pekerjaan, Santra berniat untuk kembali pulang ke Bali dan menjenguk ibu, ayah, serta adik-adiknya yang sudah sangat lama ia rindukan. Apa ibu baik-baik saja? Apa ayah juga baik-baik saja? Apa ayah masih sering memukuli ibu? Apa ayah masih sering berjudi? Bagaimana dengan adik-adik? Bagaimana wajah mereka sekarang? Apa mereka bersekolah dengan baik? Atau apa mereka tidak bisa bersekolah? Santra selalu meneteskan air matanya setiap kali ia memikirkan keluarganya itu. Hingga kepulangannya, ia dapat bertemu mereka kembali dan merasakan kebahagiaan yang tak terkira.
Santra kemudian mencoba usaha perkebunan, yaitu perkebunan karet. Semakin lama, perkebunan itu membuahkan hasil yang memuaskan. Yang tadinya hanya satu hektar, kini bisa menjadi seratus hektar lebih. Ini merupakan karunia Tuhan. Panen karet itu kira-kira setiap enam bulan sekali. Untuk satu hektar saja bisa mencapai tiga puluh juta rupiah. Hasilnya benar-benar memuaskan. Santra memikirkan usaha perkebunan lain, yaitu perkebunan kelapa sawit. Dan lagi-lagi karena karunia Tuhan, perkebunan itu memberikan hasil yang memuaskan. Dalam setiap bulan, Santra bisa mendapatkan uang sebesar sepuluh juta rupiah. Santra selalu mengucap syukur atas karunia yang Tuhan berikan. Dan meskipun Santra hidupnya kini sudah berkecukupan. Ia masih tetap hidup dalam kesederhanaan. Ia tidak menunjukkan kemewahan hartanya.
Kini Santra sudah berkeluarga dan hidup bahagia. Santra masih membuka usaha lainnya. Ia membuka usaha pabrik dan toko-toko. Dan juga ia dapat membuka usaha restauran di Bali. Kini ia menjadi seorang pengusaha yang benar-benar sukses.
Semua kesuksesan diawali dengan usaha dan kerja keras. Ketika Tuhan memberikan sebuah cobaan yang berat, itu adalah sebuah anak tangga yang harus kita lalui dan kita naiki satu per satu. Itu akan membuat kita menjadi seorang pribadi kuat yang siap untuk menggapai kesuksesan. Jalanilah hari-hari kita dengan penuh usaha dan kerja keras. Hidup terkadang memang keras. Namun, sekeras-kerasnya hidup, ada saatnya dimana hidup akan memberikan kelembutannya pada kita dan membuat kita tersenyum bahagia. Percaya itu! (http://inspirasi.co/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar