Jumat, 12 September 2014

PAK HAJI DAN PENJUDI



Beberapa waktu yang lalu saya sempat mengatakan kepada bapak saya, adalah lebih baik membuat fatwa haram atas pembangunan “polisi-polisi tidur” atau halangan lain di jalanan daripada mengharamkan rokok. Alasan pertamanya, “polisi tidur”, tidak saja “menghukum” subyek-subyek yang “berdosa”, tetapi juga mereka yang tidak “berdosa”. Fenomena membuat polisi tidur ini juga sudah menjadi “wabah” di Jakarta, dan sudah kelewatan, overrated. Dengan mudah anda temui ruas jalan yang setiap 20 meter terpasang polisi tidur. Kedua, sunnah Rasulullah mengajarkan agar kita menyingkirkan hal-hal yang bisa mencelakai atau mengganggu orang lain. Terlebih jika kita membayangkan, betapa mungkinnya orang-orang yang dicintai dan dilindungi Allah tersiksa oleh “hutan” polisi tidur itu. Yang ketiga, aturan main di jalan juga tidak memperbolehkan adanya halangan seperti polisi tidur. Kalaupun ada, ada spesifikasi khusus yang tidak terlalu mengganggu teknis berkendara dan ada dasar hukum yang menyertai misalnya Surat Keputusan pejabat daerah. Contohnya adalah pembuatan pita penggeduk dengan tujuan mencegah sopir yang mengantuk. Jadi sudah dari awal membuat polisi tidur “liar” adalah pelanggaran hukum. Kalaupun polisi tidur diharamkan, sudah didukung berbagai sistem nilai lain yang ada di masyarakat kita.

Masalahnya memang, haram, makruh, sunnah, wajib, dan mubah adalah aturan dari Sang Pencipta. Dia juga Sang Maha Tahu. Sebenarnya hanya Dia yang tahu apa saja yang diharamkan dan alasannya. Kita sebagai makhluk, selalu dalam kesesatan jika tidak mendapatkan pengetahuan dari-NYA. Sebuah keniscayaan bahwa tiada mungkin kita memegang teguh hukum yang kita buat sendiri. Bahkan menurut Socrates dan Plato, kebenaran yang diciptakan manusia tidak akan mungkin mencapai kebenaran ideal, kebenaran hakiki. Aristoteles lebih ekstrem lagi, membagi kebenaran menjadi beberapa segmen. Tetapi sebagai makhluk yang berakal budi, yang tidak hanya punya nafsu dan aqal, tetapi juga punya qalbu, hanya manusia yang mampu mengejawantahkan ilham dan wahyu ilahi. Ketiga hal itu yang menjadi keistimewaan manusia dari iblis, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, dan makhluk-makhluk-NYA yang lain. Agama, menjadi tuntunan pemakaian nafs-aqal-qalb tadi untuk mendapatkan hidayah (termasuk didalamnya ilham dan wahyu) dari Sang Serba Maha. Dan sebagai resikonya, orang-orang yang menguasai agama dituntut untuk amanah, syi’ar, dan berbagai tuntutan lain untuk menjamin hidayah yang diturunkan Sang Penguasa langit dan bumi digunakan dan disampaikan kepada umatnya.

Saya tidak menyangsikan kemungkinan hidayah telah datang kepada para ulama yang memfatwakan haramnya rokok, melalui istikharah yang mungkin telah mereka lakukan. Tetapi, ada celah yang mengindikasikan bahwa sebagai ulama, majelis MUI tidak memenuhi tuntutan Allah atas mereka dalam membuat fatwa-fatwa.

Yang pertama, Islam datang bukan untuk segolongan manusia, tetapi rahmatan lil alamin. Karena itu, hukum-hukumnya berlaku universal, entah anda orang Jawa, orang Arab, orang Israel sekalipun. Tidak pernah terjadi suatu hukum ditentukan lain atas suatu golongan, dan boleh untuk golongan lain, atau untuk kelompok umur tertentu. Tetapi hukum bisa bergeser jika ada situasi yang mendesak dan perlu. Jika anda hanya mampu berburu bekicot di hutan belantara untuk bertahan hidup, apa harus memaksakan mencari burung-burung dan ikan yang liar dan sukar ditangkap? Tapi jika ada buah-buahan yang bisa dimakan, ya hukum haram tetap berlaku atas bekicot. Meskipun demikian, tidak ada hukum yang menentukan babi hanya haram bagi wanita, atau anak kecil, atau hanya untuk orang Jawa. Khamr tetap haram meskipun dalam pesta-pesta adat. Dan seharusnya, jika toh ada ilham atau petunjuk dari Allah bahwa rokok bisa diharamkan, mestinya rokok diharamkan untuk siapa saja. Karena Islam adalah agama untuk siapa saja yang bernama manusia, bukan agama untuk anak kecil dan wanita hamil. Terus terang, sifat amanah MUI saya pertanyakan, karena yang saya tahu, banyak ulama kita yang kadung cinta dengan tembakau dan turunannya. Kalau masalahnya cuma tidak bisa menyepakatkan majelis, seharusnya fatwa haram tidak perlu dipaksakan.

Melarang sesuatu itu lebih esensial ketimbang memerintahkan sesuatu. Saya teringat ungkapan guru agama saya di SD, agama itu memperbolehkan segala sesuatu kecuali yang dilarang, melarang ibadah kecuali yang diperintahkan. Zainuddin MZ juga berkata, meninggalkan larangan itu mutlak harus dilakukan, melaksanakan perintah itu sesuai kemampuan. Karena itu, mengharamkan suatu hal pada hakekatnya lebih tinggi beresiko daripada memerintahkan suatu amalan.

Saya khawatir, seperti kekhawatiran Zainuddin MZ, lelucon lama tentang haram dan tidak haram benar-benar terjadi. Ada seseorang tergopoh-gopoh mendatangi ulama yang kondang mengajar ngaji di kampongnya. Orang itu berkata sambil terengah-engah, “pak haji, anak pak haji main judi sabung ayam disana!”

Dengan terkejut pak haji berkata “Astagfirullaah…!!”
Orang itu menyambung lagi, “Iya, sekarang lagi menang banyak pak haji”.
Dengan lega pak haji berkata “Alhamdulillaah….”

Yang diharamkan, ya haram sedikit maupun banyaknya. Haram untuk siapa saja. Pengecualian tidak dimungkinkan jika tidak ada situasi yang benar-benar mendesak dan perlu. Dengan memaksakan fatwa haram terhadap rokok padahal tidak tercapai kesepakatan majelis, MUI mengakui bahwa mereka kehilangan setidaknya sifat yang dituntut ada pada diri mereka yang menjadi pengganti Rasul, yaitu sifat amanah. Jika ulama sudah tidak amanah, sama halnya mengatakan ulama sudah khianat. Jika sudah khianat, kemana umat mau dibawa. (http://dangerousminds13.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar