Minggu, 12 Juni 2016

Judi Untuk Kepentingan Sosial Menurut Hukum Islam


Muhadjir Abd. Rahman*
Pendahuluan
Judi merupakan problema nasional, sehingga pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai larangan terhadap kegiatan judi dalam berbagai bentuknya, diantaranya UU No 7 Tahun 1974 tentang penertiban perjudian serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun ada satu hal yang masih perlu dipertanyakan, yakni masih diperbolehkannya atau izin perjudian menurut konteks KUHP,[1] dalam artian bahwa jika ditinjau dari hukum Islam, apakah judi yang diizinkan oleh pihak yang berwenang (Pemerintah) itu dibenarkan atau tidak? Karena dalam rumusan KUHP khususnya pasal 303, dinyatakan bahwa hukuman dikaitkan dengan judi tanpa mendapat izin.[2]
Di samping itu, sering terjadi kegiatan-kegiatan yang bernuansa/ bermuatan judi yang dilegitimasi oleh pemerintah dengan alasan bahwa kegiatan judi tersebut bertujuan untuk menggalang dana guna menunjang dan mensukseskan kegiatan (kepentingan) sosial. Apalagi penggalangan dana yang menyerempet kepada judi tersebut terkadang sangat efektif karena dapat menarik simpatik masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Dalam kaitan ini, secara sepintas bahwa kegiatan penggalangan dana untuk kepentingan sosial itu dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk aktivitas yang bernilai ibadah. Betapa tak banyak uang yang terkumpul melalui kegiatan tersebut dapat meringankan beban penderitaan kaum fakir miskin, anak-anak yatim piatu, orang tua jompo serta berbagai kepentingan sosial lainnya, seperti pembangunan mesjid, sekolah, jalan, jembatan dan sebagainya. Dengan kata lain, tujuan dari usaha tersebut secara empiris seolah-olah sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5): 2,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
Terjemahnya:
… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa….[3]
Akan tetapi bila ditinjau dari segi teknis pelaksanaan penggalangan (cara memperoleh) dana tersebut maka perlu dipertanyakan keabsahannya menurut hukum Islam, sebab dalam pelaksanaannya, para penyumbang tertarik ikut berpartisipasi lantaran dengan hadiah yang dijanjikan pihak bandar yang sifatnya untung-untungan, baik dalam bentuk sumbangan sosial berhadiah (SBB), Lotre Tata Lisator (Lotto), Nasional Lotze (Nalo), Porkas dan sebagainya. Maksudnya, bahwa kegiatan pengumpulan dana untuk kepentingan umum tersebut dilakukan dengan menjual lotre atau undian kepada masyarakat dan pemilik nomor lotre/judilah yang akan memperoleh hadiah, sehingga yang diandalkan untuk mendapat hadiah adalah bersifat untung-untungan yang memiliki kemiripan dengan judi apalagi dalam kegiatan tersebut ada pihak yang memang (yang mendapat hadiah) dan pihak yang kalah (yang tidak mendapat hadiah).
Permasalahan di atas menarik untuk dianalisis karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam sehingga masyarakat Islam tidak terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang sepintas untuk amal kebaikan akan tetapi bermuatan judi  yang justru dilarang oleh Islam.
Pengertian dan Macam-macam Judi
Pengertian judi terdapat keragaman pendapat di kalangan para ahli hukum dan peraturan perundang-undangan. Menurut Ibrahim Husen, sebagaimana dikutip oleh H.S. Muchlis, bahwa “Maisir atau judi adalah suatu permainan yang mengandung taruhan yang dilakukan secara berhadapan oleh dua orang atau lebih”.[4]
Jadi indikasi atau indikator dari suatu judi adalah dilakukan oleh dua pihak yang saling berhadap-hadapan serta ada pihak yang menang dan pihak yang kalah.
Selaras dengan perkembangan zaman ternyata kegiatan perjudian akhir-akhir ini tidak selamanya saling berhadapan, sebab kedua pihak saling berjauhan, yaitu pihak bandar (penyelenggara) dan pihak peserta.
Menurut H.S. Muchlis, seperti yang dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, bahwa ada dua unsur yang merupakan syarat formal kegiatan judi, yaitu:
  1. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau lebih yang bertaruh yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor yang  cocok) dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dengan rumusan tertentu.
  2. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan sesuatu peristiwa yang berada di luar kekuatan, di luar pengetahuan terlebih dahulu dari para petaruh.[5]
Berdasarkan rumusan judi di atas, maka jika ada dua kesebelasan sepak bola yang bertanding yang oleh  sponsor  akan diberikan hadiah kepada pihak yang menang, maka itu bukan judi. Karena tak  ada dua pihak yang bertaruh. Demikian juga, dua pemain catur yang mengadakan perjanjian bahwa pihak menang akan memperoleh hadiah uang dari pihak sponsor. Tidak dapat dikategorikan sebagai judi, sebab pertandingan itu merupakan adu kekuatan atau keterampilan serta kepandaian. Tetapi para penonton  yang bertaruh siapa diantara kedua keselarasan atau antara dua pemain catur tersebut yang akan kalah atau menang, mereka tergolong main judi.
Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang disebut permainan judi, adalah:
Tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntung pelaku juga karena permainannya lebih tertarik atau lebih mahir. Di situ termasuk segala peraturan tentang keputusan perlombaan atau permainan lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang berlomba atau bermain, demikian juga segala peraturan lainnya.[6]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa berusaha perjudian memiliki istilah yang beragam, seperti permainan dadu, catur, domino. Permainan tersebut tergolong judi bila ada perjanjian bahwa pihak yang kalah harus menyerahkan sejumlah uang kepada pihak yang menang. Begitu pula usaha penggelapan dana untuk kegiatan sosial yang menyediakan hadiah bagi pemilik nomor yang cocok dapat dikategorikan sebagai kegiatan judi.
Husein Bahreij mengatakan bahwa semua bentuk undian diharamkan, sehingga orang yang akan menjadi penyumbang badan sosial, tak sepantasnya dengan cara membeli undian yang dilaksanakan oleh suatu yayasan, sebab membeli undian itu pada hakikatnya tidak bertujuan untuk membantu kesejahteraan sosial, akan tetapi lebih bertujuan untuk membeli kertas undian agar nantinya dapat memperoleh hadiah melalui nomor undian yang telah dipilihnya.[7]
Faktor Penyebab dan Mudarat Judi
Judi telah menjadi penyakit sosial yang menggerogoti masyarakat termasuk yang beragama Islam. Judi dapat dianggap sebagai salah satu permainan yang telah dikenal dan diminati oleh umat manusia. Bersamaan dengan adanya manudia di dalam dunia ini, dengan berbagai istilahnya, judi muncul di tengah-tengah masyarakat yang memang menarik minat setiap orang  terutama yang ingin cepat kaya tanpa harus bekerja keras sesuai dengan prinsip-prinsip sunatullah.
Larangan terhadap judi dijelaskan oleh Alquran berbarengan dengan larangan meminum minuman keras (khamar). Realitas memang menunjukkan bahwa dalam kegiatan perjudian pada umumnya disediakan minuman keras untuk para pemain sehingga dapat dikatakan bahwa dimana ada judi disini ada minuman keras.
Jelasnya bahwa tempat-tempat bermain judi senantiasa dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas yang dapat menarik para pengunjung. Itulah perangkap bagi orang-orang yang tanpa sadar dapat menghancurkan rumah tangga dan atau harta benda. Di samping itu, orang yang gemar bermain judi, sekali ia meraih kemenangan maka keinginan untuk memperoleh kemenangan yang lebih besar semakin bertambah pula, sehingga ia akan larut dalam permainan judi, sedangkan yang menderita kekalahan, hasrat untuk bermain judi pun semakin kuat, karena ”terdorong oleh keinginan untuk mengembalikan kekalahannya, demikianlah seterusnya”.[8]
Adanya kecenderungan yang begitu kuat terhadap judi itu, pada hakikatnya merupakan dorongan jiwa manusia yang dikuasai oleh hawa nafsu yang condong kepada kemunkaran serta bisik setan yang senantiasa berusaha menjerumuskan manusia kepada kesesatan, seperti yang diisyaratkan dalam QS. Al-Maidah (5): 91
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Terjemahnya:
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).[9]
Dari ayat di atas dapat dikemukakan beberapa illat hukum (alasan yang mengharamkan) minuman keras dan perjudian, dapat dikemukakan dua hal, yaitu:
  1. Alasan kemasyarakatan (ijtimaiyah), minuman keras dan berjudi itu bisa menimbulkan permusuhan dengan kebencian di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat menyebabkan munculnya kerawanan sosial.
  1. Alasan keagamaan (Diniyah), yakni minuman keras dan berjudi itu bisa menyebabkan orang lupa akan kewajibannya, seperti shalat dan sebagainya.[10]
Dengan demikian, manfaat dari kegiatan judi sungguh tidak berarti jika dibandingkan dengan bahaya kemudharatannya. Berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang untuk mencari keuntungan yang belum jelas dengan melepaskan sesuatu yang sudah pasti dimiliki karena mengharapkan sesuatu yang belum tentu (pasti) bisa diraih. Ini berarti bahwa judi pada dasarnya mendorong seseorang untuk menempuh jalan pintas dalam meraih kesuksesan dalam hidup. Hal ini menunjukkan bahwa penjudi tidak akan mempunyai wawasan berpikir yang jauh, sehingga lemah akalnya, dan bila harta bendanya telah habis karena judi, maka terpaksa hidup dalam kehinaan dan kemelaratan.
Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh Rasyid Rida menegaskan bahwa resiko atau bahwa judi ialah “merusak pendidik, dan akhlak, melemahkan potensi akal pikiran dan menelantarkan pertanian, perkebunan, industri, dan perdagangan yang merupakan sendi-sendi kemakmuran”.[11]
Mengapa demikian? Karena orang mengira bahwa mereka dapat meraih kekayaan secara cepat tanpa kerja keras berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sehingga orang-orang yang biasanya menekuni usaha-usaha pertanian, perkebunan, industri dan perdagangan akan ditinggalkan dan beralih kepada judi, sebab usaha-usaha tersebut baru akan memberikan keuntungan bila ditekuni secara kontinue dalam tenggang waktu yang agak lama.
Undian berhadiah seperti Sumbangan Sosial Berhadiah (SBB) kemudian diubah menjadi sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB) yang akhirnya dibubarkan oleh pemerintah Indonesia sendiri, merupakan salah satu masalah yang aktual dan kontroversial. Apalagi akhir-akhir ini ada lagi keinginan untuk menghidupkan lagi kegiatan yang dianggap kontroversial sebagai judi utnuk menunjang kegiatan olahraga di tanah air.
Memang mencari dana dengan cara menyelenggarakan undian atau kupon berhadiah merupakan cara yang sangat menarik bagi masyarakat sehingga berlomba-lomba membelinya dengan harapan akan mendapat hadiah yang dijanjikan.
Dalam realitasnya bahwa undian berhadiah yang diselenggarakan untuk menunjang sosial memberikan konstribusi yang signifikan terhadap kelancaran kegiatan sosial dimaksud. Dari dana yang terkumpul, biaya untuk kegiatan olahraga di tanah air dapat dicukupi.
Di samping itu, dapat disalurkan untuk membiayai aktivitas kegiatan sosial lainnya seperti panti asuhan dan sebagainya.
Dengan demikian, dapat diungkapkan bahwa memang undian berhadiah mempunyai manfaat (maslahah). Sementara Rasyid Rida, walaupun tetap menganggap undian berhadiah itu sebagai judi namun beliau berpendapat bahwa undian atau lotre yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga sosial atau non pemerintah yang semata-mata menghimpun dana untuk kepentingan umum, misalnya mendirikan rumah sakit, sekolah, meringankan beban para fakir miskin dan sebagainya. Bisa jadi tak termasuk perjudian, karena tak jelas adanya orang yang memakan harta orang lain dengan cara bathil (karena tanpa pertukaran barang atau uang jasa yang bermanfaat). Pada undian berhadiah untuk kepentingan umum, kecuali pada orang yang memperoleh keuntungan atau hadiah karena cocok nomornya.[12]
Kalau keterangan Rasyid Ridha di atas diperhatikan secara cermat, tampaknya beliau tidak mengharamkan undian berhadiah untuk kepentingan sosial karena manfaatnya lebih besar dari pada bahayanya. Namun demikian, beliau ternyata tidak menghalalkan baik orang yang cocok nomor undian untuk mengambil hadiahnya, karena dianggap memakan (mengambil) harta orang lain dengan cara yang bathil, walaupun tak menimbulkan permusuhan dengan kebencian atau mereka yang turut serta dalam undian.
Akan tetapi undia berhadiah yang tujuan utamanya untuk pengumpulan dana sosial ini terbuka peluang disalahgunakan hingga mirip dengan judi, baik si pembeli kupon maupun penyelenggaranya, sebab bisa ditunggangi oleh bandar judi hwahwe, judi buntut, dan sebagianya.[13]
Di samping itu, pengalaman menunjukkan bahwa selama ini pelaksanaan undian berhadiah yang diselelnggarakan oleh pemerintah atau lembaga sosial tanpa mengesampingkan manfaatnya akan tetapi kegiatan tersebut ternyata akan menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan bangsa dan negara, sehingga hasil pembangunan materil dan spiritual yang dicapai dengan dana hasil undian berhadiah telah menjerumuskan pengangguran, karena banyak orang yang mengabaikan usahanya. Petani menelantarkan tanah pertaniannya, pedagang tak serius dan sungguh-sungguh lagi menjalankan usaha dagangnya. Para pekerja bukan lagi memikirkan bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan dengan baik, tetapi waktunya menjadi tersita untuk merumuskan nomor-nomor yang bakal muncul, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung, kegiatan undian berhadian di Indonesia telah menyebabkan kemiskinan khususnya, kemiskinan masyarakat berpenghasilan rendah. Karena mereka hanya berangan-angan akan memiliki uang yang banyak dan menjadi kaya jika berhasil memasang nomor yang tepat.
Adanya mafsadah (bahaya) dari undian berhadiah untuk kepentingan sosial itu dapat ditelaah dari munculnya berbagai tuntutan masyarakat dan Mahasiswa agar kegiatan undian berhadiah semacam itu tetap harus dilarang oleh pemerintah. Artinya, dari rasa keadilan masyarakat menganggap undian berhadiah untuk kepentingan sosial sebagai kegiatan yang berbahaya dan dalam hal ini bahayanya lebih besar dari manfaatnya.
Karena itu menurut penulis, pelaksanaan undian berhadiah yang bertujuan untuk mengumpulkan dana guna kelancaran kegiatan sosial dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan yang mirip dengan judi atau mengarah kepada judi serta haram hukumnya mengingat mafsadat (bahaya)nya jauh lebih besar dari pada manfaatnya. Padahal  kegiatan-kegiatan yang menimbulkan mafsadat lebih besar ketimbang maslahatnya itu harus ditinggalkan sesuai dengan kaidah hukum Islam:
د رء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya:
Menghindari kerusakan (bahaya), didahulukan dari pafa menarik kemaslahatan.[14]
Jelasnya bahwa masadat (bahaya) yang ditimbulkan oleh undian berhadiah tersebut harus menjadi acuan untuk menentukan keharamannya menurut hukum Islam. Sebab Islam tidak mentolerir setiap usaha yang walaupun tujuannya untuk mewujudkan kemaslahatan akan tetapi jika dalam kenyataannya justru mendatangkan bahaya.
Dengan kata lain, bahwa undian berhadiah tersebut dapat berubah fungsinya sebagai zari’ah atau perantara kepada perbuatan yang diharamkan, yaitu judi, sehingga secara ushul fiqh prinsip saddu al-zariah (penutup perantara) untuk menghindari kemafsadatan harus diterapkan dalam kasus ini sekaligus menunjukkan bahwa kegiatan tersebut haram.[15]
Pemanfaatan Ulang Judi Untuk kepentingan Sosial
Uang judi adalah uang yang diperoleh melalui kegiatan yang secara formal sebagai judi atau melalui kegiatan yang mirip judi seperti penyambung saran undian berhadiah untuk kegiatan sosial. Dan kegiatan yang mirip judi sebagaimana disebutkan terakhir, bisa ada kemungkinan, pihak penyelenggara yang memperoleh dana (uang) dari pihak pembeli kupon undian dan pihak pemenang yang mendapat hadiah karena nomornya kebetulan cocok.
Dalam kasus ini dapat dikemukakan bahwa pihak penyelenggara yakin benar bahwa usaha yang dijalaninya merupakan salah satu bentuk amal kebajikan (amal saleh). Dengan kata lain, bahwa motivasi penyelenggaraan undian tersebut adalah baik, tetapi cara yang ditempuh dalam merealisasikan cita-cita atau maksud baik ini ternyata menimbulkan tanya tanya besar. Tujuannya adalah baik untuk membiayai kegiatan-kegiatan atau kepentingan orang banyak, akan tetapi caranya terkadang keliru bahkan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan hukum Islam. Dalam tulisan ini, permasalahan ini ditempatkan sebagai sub masalah pertama.
Selain itu memang ada orang yang memperoleh uang lewat jalan atau perbuatan haram atau cara-cara yang tak dibenarkan oleh Islam, seperti uang judi. Dalam kaitan ini, bila seseorang yang memiliki uang yang diperoleh dari judi kemudian dia ingin mengembangkan sebagian atau semua uang judi yang dimilikinya untuk kepentingan sosial.
Masalahnya, bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap sumbangsih tersebut? Apalagi jika memiliki uang dari judi itu berhasrat untuk membersihkan dirinya dari dosa yang dilakukannya. Masalah ini ditempatkan pada sub masalah yang kedua dalam tulisan ini.
Dalam pandangan Islam, suatu perbuatan akan bernilai pahala di sisi Allah bila disertai dengan niat atau maksud ibadah, sesuai dengan hadits Rasululllah saw.
انّماالاعمال بالنّيات وانّمالكلّ امرى مانوى (رواه البخارى)[16]

Artinya:
Bahwasanya setiap perbuatan akan disesuaikan dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat balasan (pahala) sesuai dengan apa yang akan diniatkannya (H.R. Bukhari dari Ibnu Khatab)
Akan tetapi, jika jalan atau cara untuk menyesuaikan niat baik (beribadah) itu dilarang oleh Islam, maka niat baik tersebut tak akan bernilai positif (pahala) di sisi allah. Maksudnya, suatu perbuatan hanya akan bernilai pahala bila dilandasi motivasi (niat) yang baik (ibadah) serta diwujudkan dengan menempuh jalan atau cara-cara yang baik selaras dengan ajaran Islam.
Dilakukan amal kebaikan dengan cara-cara yang dilarang (diharamkan) oleh Islam dapat diibaratkan dengan orang yang mau membersihkan badan dengan cara mandi. Tetapi karena dia mandi menggunakan air yang kotor atau najis (air kencing), maka bukanya ia bersih sebagaimana yang disangkanya tetapi justru badannya tambah kotor dan bernajis.
Demikian pula maksud baik untuk menunjang kebutuhan orang banyak (sosial) pada hakikatnya adalah suatu niat yang sangat baik sama halnya dengan orang yang mandi tadi (agar badannya bersih) tetapi lantaran cara mewujudkannya niat baik itu dilarang oleh agama karena menjurus kepada judi, maka hasilnya adalah bukan pahala yang seperti disangkanya, akan tetapi justru dosa yang akan dipetiknya. Mengapa demikian? Tiada lain karena Rasulullah saw., bersabda:
يااليّهاالنّاس انّ الله طيّب لا يفبل الاّطيّبا (رواه مسلم عن ايى هر يرة)
Artinya:
Wahai manusia sesungguhnya Allah itu Maha Bersih, tak akan menerima kecuali (halal) (H.R. Muslim dan Abu Hurairah)[17]
Karena dalil tentang larangan penyelenggara undian berhadiah untuk kegiatan sosial ini hingga bersifatzanni, maka keharaman undian berhadiah itu bersifat zanni  juga dalam arti bahwa bisa saja ada pendapat lain yang membolehkannya. Namun demikian menurut penulis, seseorang dilarang melakukan kegiatan yang menjurus kepada haram seperti undian berhadiah walaupun dengan tujuan atau niat yang baik untuk membantu kepentingan sosial, sebab yang haram akan tetap haram, yang tak akan pernah berubah menjadi halal, betapapun mudah dan bagus motivasinya. Niat yang baik tak bisa merubah yang haram menjadi halal atau haram tak bisa menjadi halal dengan adanya niat yang baik. Begitu pula dengan judi yang disumbangkan atau disedekahkan untuk kepentingan umum atau sosial tak akan memperoleh pahala apa-apa karena uang yang hakikatnya bukanlah miliknya. Justru ia berkewajiban mengembangkan uang itu kepada pemiliknya semula. Akan tetapi jika pemilik uang yang didapat dari perjudian itu ingin bertaubat, maka ia harus menyesali perbuatannya, memohon ampun kepada Allah serta tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Sedangkan uang judi yang dimilikinya wajib diserahkan untuk kemaslahatan umum atau kepentingan sosial. Yang bersangkutan haram memanfaatkan uang tersebut. Demikian juga tidak boleh disedekahkan kepada perorangan dalam artian undi-undi tak boleh menerima pelimpahan uang judi tersebut untuk kepentingan pribadinya.[18]
Jadi walaupun uang judi itu haram tetapi boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum (sosial) seperti membangun rumah sakit, lembaga-lembaga pendidikan, panti asuhan, dan lain-lain. Maksudnya, bahwa sebenarnya uang yang diperoleh dari judi tersebut harus dikembalikan kepada orang yang dikalahkan dalam perjudian, akan tetapi terkadang sulit dilakukan, maka uang tersebut harus dikembalikan kepada pemilik hakikinya, yakni Allah swt., sebagaimana firmannya dalam QS. An-Nur (24): 33
وَءَاتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي ءَاتَاكُمْ…
Terjemahnya:
Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikarunia-Nya kepadamu.[19]
Dengan demikian, uang judi boleh digunakan untuk kepentingan sosial. Dalam hal ini pihak yang mengurusi kepentingan umum/sosial boleh menerima uang judi tersebut untuk menunjang kebutuhan-kebutuhan sosial dimaksud. Pihak yang menerima tak berdosa, yang berdosa justru yang memiliki uang judi itu, sebab ia memperolehnya lewat jalan yang diharamkan oleh agama Islam. Sedangkan pihak yang menerima pelimpahan untuk dimanfaatkan dalam kepentingan sosial, karena itu telah memberi jalan keluar kepada pemilik uang. Jadi hal itu, dilakukan untuk tobatnya serta menghalanginya dari menggunakan uang tersebut untuk hal-hal yang dilarang oleh agama, sebab kalau uang itu tidak diterima untuk kepentingan sosial, maka besar ikemungkinan uang tersebut akan dipergunakan untuk maksiat. Jadi di sini diperlakukan kaidahhsaddah al-zariah.[20]
Karena itu  pemilik uang judi dapat mempersibuk dirinya dari dosa dengan dua cara sekaligus, yakni: melakukan taubat nasuha serta menyerahkan semua uang judi yang dimilikinya kepada lembaga yang mengurus kepentingan umum.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Penyelenggaraan undian berhadiah yang bertujuan untuk menggalang dana guna kepentingan sosial memang pada satu sisi mendatangkan manfaat, antara lain dapat menunjang kelancaran usaha-usaha mengurus kepentingan umum. Akan tetapi di sisi lain menimbulkan mafsadat (bahaya) yang justru jauh lebih besar dari manfaatnya. Karena telah menyebabkan kemalasan bekerja dan diganti dengan angan-angan dapat kaya tanpa kerja keras dan berbagai kerawanan sosial serta melalaikan manusia dari pada sholat. Berdasarkan prinsip Saddu al-zari’ah dan mendahulukan pertimbangan mafsadat atas maslahatnya, maka undian berhadiah tersebut tergolong haram walaupun tujuannya untuk kepentingan sosial jelasnya haram menyelenggarakan undian berhadiah yang ditunjuk untuk menunjang kegiatan-kegiatan sosial.
  2. Sumbangan/sedekah berupa uang judi tak berpahala. Pemiliknya tetap berdosa. Dasarnya tidak akan hilang begitu saja tanpa tobat nasuha serta menyerahkan semua uang judi yang dimiliknya untuk kepentingan sosial.
  3. Pihak pengurus lembaga yang mngurus kepentingan sosial dibenarkan  oleh agama, menerima uang judi untuk kemaslahatan umum atau kepentingan agama, meskipun yang menyerahkannya tetap tak memperoleh pahala, sebab uang tersebut pada hakikatnya bukan miliknya. Tegasnya, uang judi yang diserahkan pihak lain lebih dimanfaatkan untuk kepentingan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

al-Gusyairi al-Naisaburiy, Abu Husain bin Al-Hazaz. Shahih Muslim, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1992)
al-Maragiy, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragiy, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dengan judul Tafsir Al-Maraghiy, Jilid III (Cet. I; Semarang: Toha Putra, 1984)
al-Mushera, Abu Abdillah Muhammad MuhBin Ismail bin Ibrahim. Sahih Al-Bukhari, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992)
Bahreij, Husein. Tanya Jawab Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, t.th)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya (Jakarta: CV. Indah Press, 1996)
Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: PT. RajaGRafindo Persada, 1997)
Juhdi, H. Masjfuk. Masailul Fiqhiyah (Cet. X; Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997)
Moeljanto, KUHP (Cet. XIV; Jakarta: Bumi Aksara, 1985)
Mukhlish, H.S. Porkas Judi Atau Bukan? Panji Masyarakat, Nomor 515, XXVIII, 11 September
Rida, Rasyid. Tafsir al-Manar, Juz. VII (Kairo: Dar Al-Manar, 1339 H)
Yangso, Chuzaimah T. dan H.A. Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga(Cet. II; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan LSIK, 1007)
Zahra, Muhammmad Abu. Usūl Al-Fiqh, Diterjemahkan Ma’sum, dkk. Dengan judul Ushul Fiqh (Cet. V; Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 1999)
* Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon; Memperoleh gelar Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar tahun 2006; saat ini menduduki jabatan sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Fakultas Taribiyah IAIN Ambon.
[1]Lihat, Moeljanto, KUHP (Cet. XIV; Jakarta: Bumi Aksara, 1985), h. 132.
[2]Ibid.
[3]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Indah Press, 1996), h. 157.
[4] H.S. Mukhlish, “Porkas Judi Atau Bukan?” dalam Panji Masyarakat, Nomor 515, XXVIII, 11 September
[5]H. Masjfuk Juhdi, Masailul Fiqhiyah (Cet. X; Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), h. 148.
[6] Moeljanto, op. cit.,  h. 133
[7] Lihat Husein Bahreiz, Tanya Jawab Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, t.th), h. 92-93.
[8] Ahmad Mustafa al-Maragiy, Tafsir al-Maragiy, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dengan judul Tafsir Al-Maraghiy, Jilid III (Cet. I; Semarang: Toha Putra, 1984), h. 270-271.
[9] Departemen Agama RI, op. cit. h. 177.
[10] Lihat Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Juz. VII (Kairo: Dar Al-Manar, 1339 H), h. 62-63
[11]Ibid., h. 330.
[12]Ibid h. 332..
[13]Lihat Musjfuk Zuhdi, op. cit.,  h. 148.
[14]M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam (Cet. II; jakarta: PT. RajaGRafindo Persada, 1997), h. 123.
[15] Lihat Muhammmad Abu Zahra, Ushul Al-Fiqh, Diterjemahkan Ma’sum, dkk. Dengan judul Ushul Fiqh (Cet. V; Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 1999), h. 444.
[16]Abu Abdillah Muhammad MuhBin Ismail bin Ibrahim al-Mushera, Sahīh Al-Bukhari, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 3.
[17]Abu Husain bin Al-Hazaz al-Gusyairi al-Naisaburiy, Sahih Muslim, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 448.
[18] Chuzaimah T. Yando dan H.A. Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga(Cet. II; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan LSIK, 1007), h. 143.
[19]Departemen Agama RI, op. cit., h. 549.
[20]Lihat  Muhammad Abu Zahrah, op. cit., h. 444.

1 komentar:

  1. Pokervita - Agen Sakong Online | Bandar66 | Capsa Susun | Bandar Poker | Judi Domino99 | BandarQ | AduQ | Poker Texas

    Agen Judi Online Terpercaya dan Terbaik di Indonesia

    Menyediakan berbagai jenis permainan Judi Kartu Online Uang Asli Terlengkap

    1 ID untuk 8 Game Permainan yang disediakan oleh Situs Pokervita

    Agen Domino99
    Agen AduQ
    Agen Poker Pulsa
    Situs Capsa Susun
    BandarQ Terpercaya
    Agen Bandar66
    Bandar Poker Online
    Bandar Sakong

    -> Bonus Cashback 0.5% (dibagikan setiap Minggunya)
    -> Bonus Refferal 20%
    -> Customer Service 24 Jam Nonstop
    -> Support Deposit Pulsa, OVO & GoJek

    Whatsapp Agen Judi Pulsa PokerV
    Livechat PKV Deposit Pulsa

    Hubungi Kami
    http://167.71.214.170/
    Livechat Pokervita
    Whatsapp Pokervita

    BalasHapus