Sabtu, 23 Juli 2016

Judi Putih di Kota Reinha Rosari

1st Image

Foto : Ilustrasi
 Salah satu kebanggaan kultural Flores Timur adalah Kota Larantuka yang terkenal dengan beragam budaya dan tradisi ritual keagamaan khususnya agama Roma Katolik. Namun sangat di sayangkan  masih ada penyakit masyarakat yang  mencari uang dengan cara judi kupon putih dan ini kurang mencerminkan sebutan Larantuka sebagai Kota Reinha Rosari. Banyak sabda profetis dalam perayaan suci keagamaan diabaikan hanya karena keterpurukan ekonomi.

Kota Larantuka terletak di wilayah paling timur pulau Flores merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Flores Timur. Kota ini dikenal dengan sebutan Kota Reinha Rosari. Pengaruh kolonial Portugis yang sudah menguasai kawasan ini pada Abad XVI sangat kental dan menyimpan banyak sejarah.

Warisan Portugis yang terasa hingga saat ini adalah agama Katolik dengan berbagai ritual tradisi keagamaan yang dianut penduduk asli Reinha Rosari. Boleh dikatakan Reinha Rosari adalah salah satu tempat di mana agama Katolik berkembang di Indonesia. 

Ada ungkapan Larantuka is the City of Vatikan. Larantuka adalah serambi Roma sekedar untuk membuat perbandingan dengan ungkapan Aceh adalah serambi Mekkah. Bila merunut fakta sejarah memang Larantuka merupakan salah satu tempat di mana Agama Katolik Roma yang berpusat di Vatikan masuk ke tanah air lewat misionaris asal Portugis pada abad ke XVI.

Ungkapan itu cukup masuk akal bila kita telusuri masih adanya gedung-gedung peninggalan Portugis seperti Gereja Katedral di pusat kota Larantuka yang berarsitektur Eropa Kuno, Benteng Lohayong, di Pulau Solor, dan masih banyak hal yang mencerminkan fakta sejarah tersebut.

Dalam sebuah pertemuan dengan duta besar se-Amerika Latin, seorang tokoh Flores bahkan menyebut Larantuka bak Vatikannya Indonesia. Memang tidak berlebihan. Tak ada tempat lain seperti Larantuka yang kaya dengan budaya religius dan ritual keagamaan. Sebut saja, Semana Santa, Pekan Suci, Rabu Trewa, dan masih banyak istilah lain, yang menarik ribuan wisatawan rohani mendekati Kota Reinha.

Tak pelak, bahkan tak ada yang menyangkal, bila Larantuka disebut kota suci. Namun, apakah semua ini tercermin dalam perilaku warga Kota Larantuka yang terkenal dengan sebutan Kota Reinha Rosari?

Maraknya perjudian dan peredaran Kupon Putih (KP) kembali menyeruak di Flores Timur (Flotim) dari situs Pos Kupang diberitakan bahwa kasus ini bukan mengada-ada. Eskalasi perjudian KP menambah carut-marut ketakmampuan masyarakat dalam mengelola kehidupannya secara layak.

Jati diri pemegang demokrasi ambruk karena segenggam rupiah. Fakta ini menandaskan bahwa beragam masalah tidak dapat diberi vaksin agar persoalan yang sama tak terulang. KP pun direkayasa mengikuti alur cerita korupsi yang modus kualitas dan kuantitasnya semakin bertambah.

Peredaran Kupon Putih di Wiayah Flotim sudah sangat meresahkan masyarakat. Untuk menghentikan model judi putih ini hanya dapat dilakukan oleh Pemda dan Kepolisian Daerah Flotim. Namun, Pos Kupang melansir isteri agen KP di Surabaya pernah mengatakan bahwa ada oknum polisi yang sudah menerima jatah dari bandar KP di Surabaya sebesar Rp. 25 juta setiap bulan.

KP pun tetap melenggang bak anjing menggonggong kafila berlalu. Bila sinyalemen PK dan pernyataan isteri agen KP ini benar maka sebaiknya pihak kepolisisan segera bertindak untuk menangkap oknum polisi yang di maksud, agar diproses lebih lanjut. 

Kisah Margaretha (40) ibu rumah tangga warga  Kelurahan Puken Tobi Wangin Bao, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur dijebloskan ke sel Mapolres  Flotim karena tertangkap tangan melakukan transaksi kupon putih. Selain itu Polisi menangkap Paulus Suban Kawela (48) yang setiap hari bekerja sebagai buruh di pelabuhan penyeberangan Pantai Palo Tanah Merah.

Keduanya ditangkap pada Senin (4/8) di tempat yang berbeda oleh anggota Serse Polres Flotim. Saat ditangkap  keduanya tidak melakukan perlawanan dan menyerahkan barang bukti berupa handphone (HP) serta uang hasil pengepulan.

Kapolres  Flotim, AKBP Dewa Putu Gede Artha, S.H, M.H yang dihubungi melalui Kasat Reskrim Polres Flotim, AKP Antonius Mengga, S.H, Selasa (5/8),  mengatakan, tersangka Paulus Suban Kawela ditangkap di Pantai Palo pada Senin (4/8) sekitar pukul 16.00 Wita saat pelaku hendak berlayar dari Tanah Merah, Dewa Wure, Kecamatan Adonara Barat.

Peristiwa ini berawal dari laporan masyarakat bahwa pelaku hendak ke Larantuka untuk menyetor uang hasil pengumpulan kupon putih tersebut. Karena itu, satuan anggota polisi langsung ke tempat kejadian perkara di Pantai Palo dan langsung menangkap pelaku. Saat ditangkap pelaku membawa uang Rp 129.000 ribu dan satu buah handphone. Dia hendak menyetor uang ke agen yang berinisial V di Larantuka. Sementara Ibu  Margaretha ditangkap anggota polisi saat pelaku melakukan transaksi di kediamannya.

Akar Kupon Putih

Meski beresiko pidana bagi para pelaku KP menjadi momok jitu dan akurat ketika beban ekonomi masyarakat yang terus menjerit. KP menjadi sarang dan agen mafia masyarakat karena terinfeksi virus nafsu instant yang mudah merambah denyut kehidupan masyarakat. Masyarakat terkontaminasi oleh berbagai tawaran instan dan menjadikan KP sebagai jalan pintas pemenuhan kebutuhan hidup. Berbagai nilai luhur masyarakat yang sudah tertanam dan dianut sejak dahulu secara perlahan tetapi pasti sudah mengalami degradasi.

Parameter kebahagiaan dan kelayakan hidup hanya diukur dengan menukar rupiah kecil untuk mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Masyarakat sebagai main streampembangunan dihanguskan oleh kenikmatan sesaat.

Melumutnya KP dalam masyarakat sudah menjadi sebuah kesempatan pengembangan minat dan bakat masyarakat. Produktivitasnya terbilang besar. Aspek proposionalitas yang diwacanakan terletak pada locus dan tempus yang memungkinkan adanya unsur pemaksaan diri tanpa aspek budaya dan religius. Sentralisasi hidup tidak mau bekerja merupakan akar keberaadaan KP.

Korupsi dan Kupon Putih

Konstelasi penyebab maraknya peredaran KP, adalah dialektika antara ketidakmampuan masyarakat dalam bidang ekonomi dan bentuk sinisme terhadap penguasa. Pertama alasan subtantif peredaran KP adalah kemiskinan, adanya peluang bermental instant, penggangguran (tak ada keja tetap), dan ingin mencari kehidupan yang baru. Budaya eksklusif pun menjebak masyarakat yang mengurungkan bakat masyarakat Flotim.

Hal tersebut di atas menyebabkan para pelaku bergabung dalam organisasi pengedar, agen, dan pengguna KP. Selain itu, masyarakat yang enggan bekerja pun mencari keberuntungan lewat penafsiran mimpi.

Realitas sosial ini menunjukkan kelemahan peradaban masyarakat dalam mengatur kehidupan ekonominya. Kemiskinan terjadi karena tidak ada pekerjaan. Pengekangan terhadap kemampuan individu dan masyarakat seakan menjadi hal lumrah bersamaan dengan bergulirnya paham siapa yang bisa, dialah yang berkuasa.

Limitasi ini akan mengafirmasikan pola masyarakat bermental cepat puas, sedikit kerja tetapi banyak hasilnya.  Semua ini bermuara pada resistensi KP yang semakin menjamur.

Kedua praktek KP terjadi sebagai bentuk sinisme berlebihan terhadap para pemimpin masyarakat yang gemar berkorupsi. Modusnya sama. Menukar harga diri dengan keuntungan yang jauh lebih besar. Para pengedar yang lolos dari kejaran aparat keamanan terobsesi dengan minimnya pengawasan terhadap antek-antek korupsi.

KP dijadikan bukti ketegasan dalam mencari keadilan sosial seperti yang termaktub dalam Pancasila. Korupsi yang terjadi dalam masyarakat, mengakibatkan lahirnya kemiskinan sebagai penyebab endemis KP.

Kegalauan ekonomi semakin transparan dan menjadi refleksi kondisi konkret kebanyakan masyarakat  saat ini. Sabda Profetis dalam berbagai perayaan suci keagamaan ditelantarkan dalam bingkai ketakberuntungan ekonomi.


(Andreas Pamakayo/http://tabloidpodium.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar