Senin, 14 November 2016

JUDI DI KAMPUNG MOKRA


Kampung Mokra sedang mengadakan turnamen judi. Malam ini adalah malam pertandingan paling bergengsi. Ada dua pejudi yang akan bertarung. Di kubu satu ada Pak Owo, di kubu dua ada Pak Oko. Sebagai pejudi kelas kakap, tentu saja ada pendukung fanatik di kanan dan kirinya.
Yang membuat pertandingan ini beda, keduanya sedang mempertaruhkan seluruh harta mereka. Hal ini menjadikan turnamen semakin mendebarkan bagi masing-masing pihak. Masing-masing pendukungnya juga sering terlibat adu mulut. Terkadang yang keluar hujatan, serapah, bahkan taruhan. Ya mereka mempertaruhkan judi ini dengan taruhan yang lain.
“Kalo jagoan saya kalah, gaji bulanan saya siap dipotong!”, kelakar pendukung Pak Owo.
“Kalau saya cuma siap potong bebek ursula saja”, potong fansnya Pak Oko.
Demikianlah bahkan ada yang siap pindah kampung, siap potong (maaf) kemaluan, siap potong leher, dan sebagainya. Semakin malam taruhannya semakin menggila.
Waktu pertandingan pun tiba. Suasana mencekam meliputi kedua kubu. Di detik-detik mendebarkan itu, semua orang berkeringat menanti hasilnya. Bagaimana tidak, banyak yang sedang mempertaruhkan harta, kehormatan, keberaniannya, bahkan kemaluannya! Ya, diatas sebuah meja judi.
Babak demi babak berlangsung. Hasil akhirpun keluar. Pak Oko keluar sebagai pemenang, dengan memenangkan 6 dari 10 babak judi yang ada. Tak dinyana, Pak Owo tak terima. Dengan lantang ia mendobrak meja, lantas berteriak pada bandar judi, Pak Kapeu.
“Anda ini bandar gak becus! Nyata-nyata dia main curang. Anda ada main sama dia ya? Ayo ngaku! Kalo tau begini saya mundur saja. Mana, kemarikan taruhan saya…”
“Pak Owo, jangan sembarangan menuduh. Mana buktinya? Saya sudah coba berlaku adil. Tidak ada kecurangan. Anda ini harusnya legowo kalau kalah. Namanya juga judi!”, bantah Pak Kapeu.
Pak Owo akhirnya tertunduk, pendukungnya ikutan malu, membayangkan apa yang akan terjadi.
Diantara fans Pak Owo ada yang tetap idealis mendukung. Mereka berusaha menenangkan hatinya. “Santai Pak, turnamen berikutnya kita pasti menang. Dukungan kami, dukungan abadi.”
Tapi sepertinya ada juga yg menyingsingkan baju. Bersiap-siap untuk pindah kubu,
“Memang bapak duda itu tidak banyak hokinya. Ya sudahlah, mumpung taruhanku tidak banyak. Pindah aja.”
————-
Judi selamanya tetaplah judi. Biar kata pesertanya ustadz atau kiai haji, judi tidak lantas menjadi suci. Banyak sih pendukung judi yang khilap, ikut judi karena terpaksa, “dhoror”. Mengambil pilihan yang keburukannya lebih sedikit, “ahwanusy syarrain”, katanya. Padahal penggunan kaidahnya saja keliru. Seolah-olah pilihannya hanya ada dua, Pak Owo, atau Pak Oko. Padahal kan bisa lebih dari itu. Pilih mendukung yang ikut judi, atau menolak judi, dan ingin memberantasnya, misalnya.
Penerapan yang salah pada kaidah ini juga menjadi jawaban, mengapa ada yang siap-siap pindah kubu. “Kalau Pak Oko yang menang, kemudhorotan bisa diminimalisir dengan kita berada bersamanya”. Lantas apa makna keberpihakan selama ini?
Dan saran saya, kalau bertemu saudara kita yang sedang berduka, tidak perlu lah di kata-katai, dibully sampai mati, “Gue bilang juga apa. Lo sih main judi mulu. Neraka! Tobat lu tong”.
Mereka yang tenggelam dalam kesedihan, seharusnya kita rangkul, diarahkan ke jalan yang benar tanpa harus melukai perasaannya. “Tong, judi bukan satu2nya jalan cari duit, kok. Masih ada cara lain yang bisa sejahterakan kita. Iye jalan yg halal, dan barokah, gitu”
Hari ini turnamen judi di Kampung Mokra telah selesai. Keharaman demi keharaman berikutnya, siap tidak siap, harus kita tuai. Bersiap kecewa pada janji mereka yang takkan tunai. Tentang mimpi kemakmuran, pemerataan, keamanan, rasa nyaman dalam beribadah yang takkan tercapai. Hanya iman dan rasa malu yang semakin mudah tergadai. Kapan sistem judi ini akan usai? Kapanpun kita mau. Asal semua orang yang mengetahui, menyadari tanggungjawab besarnya untuk menyadarkan masyarakat ‘kampung’ yang lain tentang kebobrokan sistem judi -demokrasi.
Salam.
Ridwan Taufik K

Tidak ada komentar:

Posting Komentar