Selasa, 24 Juni 2014

Judi dalam Pandangan Hindu

Judi dilarang dalam Agama Hindu. Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu.
Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. 
Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil, tanah, rumah, dsb. Mahluk hidup misalnya binatang peliharaan, manusia, bahkan istri sendiri seperti yang dilakukan oleh Panca Pandawa dalam ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa.
Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:
DYUTAM SAMAHWAYAM CAIWA, RAJA RATRANNIWARAYET, RAJANTA KARANA WETAU DWAU, DOSAU PRITHIWIKSITAM
Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota.
Istilah kerajaan dan putra mahkota zaman sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus, sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.
Para penjudi dan peminum minuman keras digolongkan sebagai orang-orang “sramana kota” (sloka 225) disebut pencuri-pencuri tersamar (sloka 226) yang mengganggu ketenteraman hidup orang baik-baik. Judi menimbulkan pencurian (sloka 222), permusuhan (sloka 227) dan kejahatan (sloka 228).
Para penguasa khususnya di Bali diharap memahami benar tentang jenis-jenis judi agar tidak terkecoh dengan dalih pelaksanaan adat dan upacara agama.
Ada kegiatan penggalian dana dengan mengadakan tajen, ada kegiatan piodalan di Pura dilengkapi dengan tajen, dan kebiasaan meceki pada waktu melek di acara ngaben, bahkan pada hari-hari raya seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, dll.
TABUH RAH TIDAK SAMA DENGAN TAJEN
Tabuh Rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan judi dan pertaruhan.
Mengenai Tabuh Rah, sudah diatur dalam Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar Siwatattwapurana dan Yadnyaprakerti.
Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara (banten) diiringi puja mantra yang dilengkapi dengan taburan darah binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana darahnya keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu kemiri, telor, kelapa.
Perang sata (adu ayam) dalam Tabuh Rah hanya dilaksanakan tiga ronde (telung perahatan) di tempat melaksanakan upacara agama, dapat menggunakan toh (taruhan) tetapi hasil kemenangan taruhan itu dihaturkan seluruhnya sebagai dana punia kepada Sang Yajamana.
Adu ayam yang pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan di atas tidak dapat disebut sebagai Tabuh Rah.
AWIDYA
Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama.
Judi khususnya tajen sudah mentradisi di Bali. Dampak negatif Pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.
Contoh lain, suatu ketika saya kaget mendengar pernyataan seseorang bahwa ia harus pandai berjudi karena leluhurnya dahulu terkenal sebagai penjudi; jadi jika hormat pada leluhur harusnya menuruti pula hobi leluhurnya.
Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar.
Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”.
Di zaman dahulu sering pula status sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.
Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.
TAMASIK
Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa bekerja.
Yang dimaksud dengan bekerja menurut Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9:
“Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma. Oleh karenanya Oh Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan.”
Dengan demikian mereka yang ingin dapat hasil tanpa bekerja tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada unsur untung-untungan atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan keberanian orang-orang tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan mereka berspekulasi dengan harapan hampa mendapat kemenangan.
SADRIPU
Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah:
  1. kama (nafsu tak terkendali),
  2. lobha (serakah),
  3. kroda (kemarahan),
  4. mada (kemabukan),
  5. moha (sombong), dan
  6. matsarya (cemburu, dengki, irihati).
Penjudi yang menang menguatkan: kama, lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan: kroda, dan matsarya.
Bhagawadgita Bab III.37:
YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”
Oleh karena itu menjadi tugas para Sulinggih atau pemimpin-pemimpin umat untuk meningkatkan kualitas beragama antara lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi.
Memberantas perjudian tidak dapat dengan paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan penyuluhan-penyuluhan yang intensif.
Kebanggaan sebagian masyarakat sebagai penjudi sedikit demi sedikit dikikis sehingga menjadi malu berjudi. Salah satu alasan masyarakat berjudi di zaman dahulu adalah karena kurangnya fasilitas hiburan atau rekreasi. Oleh karena itu perkataan lain untuk berjudi adalah “makelecan” (kelecan artinya hiburan).
Untuk menjaga kesehatan rohani masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat ditempuh misalnya Pemerintah menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi yang sehat, antara lain berolah raga.
Jarang sekali di desa-desa ada lapangan voli, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong, dll. yang dikelola oleh Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat, klub-klub, atau perusahaan.
Masyarakat yang ingin berenang di sungai atau di laut airnyapun sudah tercemar limbah atau sampah. Pemerintah agar berupaya mengalihkan keinginan masyarakat mencari hiburan dari berjudi kepada bentuk hiburan lain yang sehat.
Pada hari-hari raya misalnya diadakan pertandingan olah raga antar Banjar, Desa. Bentuk olah raga dipilih yang murah meriah misalnya tarik tambang, lomba lari karung, naik pedana, yaitu pohon pinang licin yang di puncaknya diisi berbagai hadiah.
Di Buleleng dahulu ada tradisi yang sangat baik, yaitu pada hari Galungan ada perlombaan “megoak-goakan” yang sangat meriah dan mengundang gelak tawa kegirangan.
Di Klungkung, Gianyar dan Karangasem ada permainan “Ayunan Jantera” yang ramai dikunjungi pada hari-hari raya oleh anak-anak, tua, muda. Bentuk hiburan zaman sekarang yang mahal dan mewah belum tentu membawa kegembiraan dan kesehatan rohani.
Masyarakat penjudi adalah masyarakat yang “sakit” sebagaimana diuraikan dalam Manawa Dharmasastra IX.221. Pendapat ini disepakati oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Ironisnya belum ada upaya-upaya prefentif dan represif yang sifatnya mendidik untuk menyembuhkan penyakit rohani ini.
Usulan saya sederhana saja, misalnya para penjudi (bebotoh) di tiap-tiap desa didata dan secara periodik dikumpulkan kemudian diberikan siraman-siraman rohani yang menekankan bahwa judi itu adalah dosa.(

Judi dalam Pandangan Hindu

Judi dilarang dalam Agama Hindu. Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu.
Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. 
Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil, tanah, rumah, dsb. Mahluk hidup misalnya binatang peliharaan, manusia, bahkan istri sendiri seperti yang dilakukan oleh Panca Pandawa dalam ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa.
Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:
DYUTAM SAMAHWAYAM CAIWA, RAJA RATRANNIWARAYET, RAJANTA KARANA WETAU DWAU, DOSAU PRITHIWIKSITAM
Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota.
Istilah kerajaan dan putra mahkota zaman sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus, sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.
Para penjudi dan peminum minuman keras digolongkan sebagai orang-orang “sramana kota” (sloka 225) disebut pencuri-pencuri tersamar (sloka 226) yang mengganggu ketenteraman hidup orang baik-baik. Judi menimbulkan pencurian (sloka 222), permusuhan (sloka 227) dan kejahatan (sloka 228).
Para penguasa khususnya di Bali diharap memahami benar tentang jenis-jenis judi agar tidak terkecoh dengan dalih pelaksanaan adat dan upacara agama.
Ada kegiatan penggalian dana dengan mengadakan tajen, ada kegiatan piodalan di Pura dilengkapi dengan tajen, dan kebiasaan meceki pada waktu melek di acara ngaben, bahkan pada hari-hari raya seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, dll.
TABUH RAH TIDAK SAMA DENGAN TAJEN
Tabuh Rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan judi dan pertaruhan.
Mengenai Tabuh Rah, sudah diatur dalam Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar Siwatattwapurana dan Yadnyaprakerti.
Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara (banten) diiringi puja mantra yang dilengkapi dengan taburan darah binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana darahnya keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu kemiri, telor, kelapa.
Perang sata (adu ayam) dalam Tabuh Rah hanya dilaksanakan tiga ronde (telung perahatan) di tempat melaksanakan upacara agama, dapat menggunakan toh (taruhan) tetapi hasil kemenangan taruhan itu dihaturkan seluruhnya sebagai dana punia kepada Sang Yajamana.
Adu ayam yang pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan di atas tidak dapat disebut sebagai Tabuh Rah.
AWIDYA
Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama.
Judi khususnya tajen sudah mentradisi di Bali. Dampak negatif Pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.
Contoh lain, suatu ketika saya kaget mendengar pernyataan seseorang bahwa ia harus pandai berjudi karena leluhurnya dahulu terkenal sebagai penjudi; jadi jika hormat pada leluhur harusnya menuruti pula hobi leluhurnya.
Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar.
Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”.
Di zaman dahulu sering pula status sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.
Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.
TAMASIK
Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa bekerja.
Yang dimaksud dengan bekerja menurut Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9:
“Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma. Oleh karenanya Oh Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan.”
Dengan demikian mereka yang ingin dapat hasil tanpa bekerja tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada unsur untung-untungan atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan keberanian orang-orang tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan mereka berspekulasi dengan harapan hampa mendapat kemenangan.
SADRIPU
Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah:
  1. kama (nafsu tak terkendali),
  2. lobha (serakah),
  3. kroda (kemarahan),
  4. mada (kemabukan),
  5. moha (sombong), dan
  6. matsarya (cemburu, dengki, irihati).
Penjudi yang menang menguatkan: kama, lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan: kroda, dan matsarya.
Bhagawadgita Bab III.37:
YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”
Oleh karena itu menjadi tugas para Sulinggih atau pemimpin-pemimpin umat untuk meningkatkan kualitas beragama antara lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi.
Memberantas perjudian tidak dapat dengan paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan penyuluhan-penyuluhan yang intensif.
Kebanggaan sebagian masyarakat sebagai penjudi sedikit demi sedikit dikikis sehingga menjadi malu berjudi. Salah satu alasan masyarakat berjudi di zaman dahulu adalah karena kurangnya fasilitas hiburan atau rekreasi. Oleh karena itu perkataan lain untuk berjudi adalah “makelecan” (kelecan artinya hiburan).
Untuk menjaga kesehatan rohani masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat ditempuh misalnya Pemerintah menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi yang sehat, antara lain berolah raga.
Jarang sekali di desa-desa ada lapangan voli, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong, dll. yang dikelola oleh Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat, klub-klub, atau perusahaan.
Masyarakat yang ingin berenang di sungai atau di laut airnyapun sudah tercemar limbah atau sampah. Pemerintah agar berupaya mengalihkan keinginan masyarakat mencari hiburan dari berjudi kepada bentuk hiburan lain yang sehat.
Pada hari-hari raya misalnya diadakan pertandingan olah raga antar Banjar, Desa. Bentuk olah raga dipilih yang murah meriah misalnya tarik tambang, lomba lari karung, naik pedana, yaitu pohon pinang licin yang di puncaknya diisi berbagai hadiah.
Di Buleleng dahulu ada tradisi yang sangat baik, yaitu pada hari Galungan ada perlombaan “megoak-goakan” yang sangat meriah dan mengundang gelak tawa kegirangan.
Di Klungkung, Gianyar dan Karangasem ada permainan “Ayunan Jantera” yang ramai dikunjungi pada hari-hari raya oleh anak-anak, tua, muda. Bentuk hiburan zaman sekarang yang mahal dan mewah belum tentu membawa kegembiraan dan kesehatan rohani.
Masyarakat penjudi adalah masyarakat yang “sakit” sebagaimana diuraikan dalam Manawa Dharmasastra IX.221. Pendapat ini disepakati oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Ironisnya belum ada upaya-upaya prefentif dan represif yang sifatnya mendidik untuk menyembuhkan penyakit rohani ini.
Usulan saya sederhana saja, misalnya para penjudi (bebotoh) di tiap-tiap desa didata dan secara periodik dikumpulkan kemudian diberikan siraman-siraman rohani yang menekankan bahwa judi itu adalah dosa. (

Judi dalam Pandangan Hindu

Judi dilarang dalam Agama Hindu. Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, dan 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu.
Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. 
Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil, tanah, rumah, dsb. Mahluk hidup misalnya binatang peliharaan, manusia, bahkan istri sendiri seperti yang dilakukan oleh Panca Pandawa dalam ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa.
Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:
DYUTAM SAMAHWAYAM CAIWA, RAJA RATRANNIWARAYET, RAJANTA KARANA WETAU DWAU, DOSAU PRITHIWIKSITAM
Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota.
Istilah kerajaan dan putra mahkota zaman sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus, sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.
Para penjudi dan peminum minuman keras digolongkan sebagai orang-orang “sramana kota” (sloka 225) disebut pencuri-pencuri tersamar (sloka 226) yang mengganggu ketenteraman hidup orang baik-baik. Judi menimbulkan pencurian (sloka 222), permusuhan (sloka 227) dan kejahatan (sloka 228).
Para penguasa khususnya di Bali diharap memahami benar tentang jenis-jenis judi agar tidak terkecoh dengan dalih pelaksanaan adat dan upacara agama.
Ada kegiatan penggalian dana dengan mengadakan tajen, ada kegiatan piodalan di Pura dilengkapi dengan tajen, dan kebiasaan meceki pada waktu melek di acara ngaben, bahkan pada hari-hari raya seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, dll.
TABUH RAH TIDAK SAMA DENGAN TAJEN
Tabuh Rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan judi dan pertaruhan.
Mengenai Tabuh Rah, sudah diatur dalam Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar Siwatattwapurana dan Yadnyaprakerti.
Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara (banten) diiringi puja mantra yang dilengkapi dengan taburan darah binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana darahnya keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu kemiri, telor, kelapa.
Perang sata (adu ayam) dalam Tabuh Rah hanya dilaksanakan tiga ronde (telung perahatan) di tempat melaksanakan upacara agama, dapat menggunakan toh (taruhan) tetapi hasil kemenangan taruhan itu dihaturkan seluruhnya sebagai dana punia kepada Sang Yajamana.
Adu ayam yang pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan di atas tidak dapat disebut sebagai Tabuh Rah.
AWIDYA
Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama.
Judi khususnya tajen sudah mentradisi di Bali. Dampak negatif Pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.
Contoh lain, suatu ketika saya kaget mendengar pernyataan seseorang bahwa ia harus pandai berjudi karena leluhurnya dahulu terkenal sebagai penjudi; jadi jika hormat pada leluhur harusnya menuruti pula hobi leluhurnya.
Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar.
Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”.
Di zaman dahulu sering pula status sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.
Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.
TAMASIK
Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa bekerja.
Yang dimaksud dengan bekerja menurut Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9:
“Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma. Oleh karenanya Oh Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan.”
Dengan demikian mereka yang ingin dapat hasil tanpa bekerja tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada unsur untung-untungan atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan keberanian orang-orang tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan mereka berspekulasi dengan harapan hampa mendapat kemenangan.
SADRIPU
Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah:
  1. kama (nafsu tak terkendali),
  2. lobha (serakah),
  3. kroda (kemarahan),
  4. mada (kemabukan),
  5. moha (sombong), dan
  6. matsarya (cemburu, dengki, irihati).
Penjudi yang menang menguatkan: kama, lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan: kroda, dan matsarya.
Bhagawadgita Bab III.37:
YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”
Oleh karena itu menjadi tugas para Sulinggih atau pemimpin-pemimpin umat untuk meningkatkan kualitas beragama antara lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi.
Memberantas perjudian tidak dapat dengan paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan penyuluhan-penyuluhan yang intensif.
Kebanggaan sebagian masyarakat sebagai penjudi sedikit demi sedikit dikikis sehingga menjadi malu berjudi. Salah satu alasan masyarakat berjudi di zaman dahulu adalah karena kurangnya fasilitas hiburan atau rekreasi. Oleh karena itu perkataan lain untuk berjudi adalah “makelecan” (kelecan artinya hiburan).
Untuk menjaga kesehatan rohani masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat ditempuh misalnya Pemerintah menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi yang sehat, antara lain berolah raga.
Jarang sekali di desa-desa ada lapangan voli, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong, dll. yang dikelola oleh Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat, klub-klub, atau perusahaan.
Masyarakat yang ingin berenang di sungai atau di laut airnyapun sudah tercemar limbah atau sampah. Pemerintah agar berupaya mengalihkan keinginan masyarakat mencari hiburan dari berjudi kepada bentuk hiburan lain yang sehat.
Pada hari-hari raya misalnya diadakan pertandingan olah raga antar Banjar, Desa. Bentuk olah raga dipilih yang murah meriah misalnya tarik tambang, lomba lari karung, naik pedana, yaitu pohon pinang licin yang di puncaknya diisi berbagai hadiah.
Di Buleleng dahulu ada tradisi yang sangat baik, yaitu pada hari Galungan ada perlombaan “megoak-goakan” yang sangat meriah dan mengundang gelak tawa kegirangan.
Di Klungkung, Gianyar dan Karangasem ada permainan “Ayunan Jantera” yang ramai dikunjungi pada hari-hari raya oleh anak-anak, tua, muda. Bentuk hiburan zaman sekarang yang mahal dan mewah belum tentu membawa kegembiraan dan kesehatan rohani.
Masyarakat penjudi adalah masyarakat yang “sakit” sebagaimana diuraikan dalam Manawa Dharmasastra IX.221. Pendapat ini disepakati oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Ironisnya belum ada upaya-upaya prefentif dan represif yang sifatnya mendidik untuk menyembuhkan penyakit rohani ini.
Usulan saya sederhana saja, misalnya para penjudi (bebotoh) di tiap-tiap desa didata dan secara periodik dikumpulkan kemudian diberikan siraman-siraman rohani yang menekankan bahwa judi itu adalah dosa.
(stitidharma.org))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar