Selasa, 24 Juni 2014

“Tajen”, Judi, Budaya Atau-kah Yadnya?



Sabung ayam atau tajen nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Bali-Hindu. Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi sejak tahun 1981, dimana acara tajen tak lagi dilakukan secara terbuka di wantilan yaitu bangunan tradisonal yang umum yang terdapat di desa. Acara tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali. Namun Belakangan, sejak era reformasi acara tajen dilakukan untuk penggalangan dana.
Tajen-Tabuh Rah
Acara tajen di Bali sudah dikenal sejak zaman majapahit, konon  tajen sangat dekat dengan tradisi tabuh rah.Sehingga tajen dianggap sebuah proyeksi profan dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah.Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke tanah.
Darah yang menetes ketanah dinggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses peningkatan jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain dengan derajad lebih tinggi atau manusia.
Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah , diamana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih atau imbang dan menggunakan media uang sebagi taruhan . Sedangkan tabuh rah bersifat sakral dan merupakan bangian dari persyaratan yadnya.
Judi, Budaya  atau Yadya
Dalam perkembangannya, ritual suci tabuh rah mengalami pergeseran makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikan kemudian sering di salah gunakan. Berbicara tentang tajen dimana, merupakan metamarfosa dari tabuh rah sendiri memang sulit dipahami  apakah termasuk judi murni, budaya (adat-istiadat) atau yadya?
Banyak sekali persepsi masyarakat Bali-Hindu yang memandang bahwa tajen merupakan, budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali, dan ada juga yang memberikan pandangan tajen merupakan persayaratan dari yadnya. Memang tidak bisa dimungkiri dari sudut pandang  berbagai kalangan masyarakat Bali mengenai tajen antara budaya dan yadnya(agama) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainya.Bila kita amati apabila ada upacar-upacara yadya disuatu daerah atau banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, karna tajen merupakan bagian yang tak dipisahkan dari sebuah upacara, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan sebagi bumbu-bumbu untuk lebih menarik.
Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan(bhuta yadya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya  tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya  menjadi tajen.
Sedangkan tajen yang kita kenal diamsyarakat sekarang ini adalah tajen yang bernuansa judi dan menjadi sebuah taruhan dengan menggunakn materi atau uang, sehingga tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali  merupakan perjudian murni bukan yadnya.Namun, tajen  memiliki satu-kesatuan sudut pandang dari masyarakat bahwa aktivitas tersebut masih  merupakan bagian dari yadnya dan budaya yang ada sejak terdahulu.
Sudut Pandang Hindu
Kebenaran konteks pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih dapat dilihat dan dikaji dari berbagai pandangan selain dari sudut pandang etika sosial masyarakat Bali dan hukum positif.sedangkan dari perspektif agama Hindu sendiri , seperti tertera dalam Manawa Dharmasastra V.45, yaitu “Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate” artinya: “Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan . Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati.”
Demikian juga ketika dikembalikan pada hakikat yadnya dan tabuh rah. Di dalam tabuh rah terkandung makna mengenai etika upacara demi menjaga kesucian yadnya. Yandnya yang dipersembahkan secara suci untuk sebuah kesucian yang lebih hakiki. Dimana upacara yang suci menjadi media  yang berada pada realitas ambang antara yang partikular, yaitu buana alit, yaitu jiwa kecil atau manuasia dan yang lebih universal yaitu bhuana agung atau alam semesta.
Orang bali berprinsip harus terjadi keseimbangan diantara keduanya. Selain itu masih dalam kitab suci Manawa Dharmasastra  Buku IX (Atha Nawano Dyayah) sloka 221 sampai 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan mengenai judi. Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan  pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian. Misalnya uang, mobil, tanah dan  rumah. Sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. Misalnya, binatang peliharaan,manusia, bahkan istri sendiri.
Seperti yang dilakukan oleh panca pandawa dalam epos Bharata Yudha ketika Dewi Drupadi yang dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa. Selain itu dalam kitab suci Rg Veda Mandala X. Sukta 34. Mantra 3,10 dan 13 dengan tegas melarang orang berjudi. Berjudi itu dapat menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang cukupkan serta puaskanlah penghasilan itu. Demikian antara lain isi Mantara Veda tersebut.
Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran Hindupun menentang keras adanya penyiksaan mahluk hidup , yang digunakan sebagai media dalam tajen dan  perjudian yang menggunakan benda hidup maupun non hidup. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti masyarakat yang senang berjudi namun sebaliknya memberikan masukan, bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak sepatutnya terus dikembangkan hingga anak cucu kita dan menjadi “budaya” yang merugikat masyarakat Bali- Hindu khususnnya.
Pandangan Sosial
Bila boleh menyimpulkan secara pragmatis dalam kasus tajen di Bali telah terjadi keracunan berpikir(Jalaludin 2000:17) Argumetum ad Verecundiam yaitu beragumen dengan menggunakan otoritas yang tidak relevan atau ambigu. Ada orang yang terkadang secara berpihak berusaha memebenarkan paham dan kepentingannya dengan menggunakan satu otoritas atau pembenar tertentu. Dalam kasus tajen, adat dapat diindikasikan sebagai suatu otoritas pembenar untuk sebagi argumen bahwa tajen dapat dibenarkan.
Selain itu uang merupakan menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan tajen masih eksis.di wilayah agama uang memiliki makna simbolik yang sangat kuat baik secara denotatif maupun konotatif.Dalam judi tajen konteks pengertian fungsi simbolik uang tanpa didasari alasan untuk resistensi adat dan resistensi kolektifitas mabanjar .
Dengan melihat budaya Bali termasuk tajen didalamnya yang telah melekat dihati masyarakat sampai sekarang , tentunya merupakan sebuah budaya yang luar biasa tanpa menyalah artikan dan  maksud dari tajen tersebut. Memandang bahwa tajen adalah aset yang perlu dilestarikan untuk menunjang pariwisata budaya tanpa menggunakan budaya tersebut sebagi ajang untuk berjudi. (http://kotakinformasi.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar