Melahirkan solusi tunggal untuk perjudian dan prostitusi cukup
rumit, mengingat keduanya terkait dengan persoalan sosial yang kompleks.
Umat, khususnya Islam, dihadapkan pada dua persoalan yang dilematis,
yaitu antara ajaran Islam yang melarang judi serta zina dan fenomena
perjudian dan prostitusi yang secara faktual tetap ada di masyarakat.
Sebagian kalangan menyatakan bahwa pilihan yang strategis secara
sosiologi adalah lokalisasi. Namun, banyak pihak pula yang keberatan,
terutama kalangan agamawan, yang menyatakan bahwa lokalisasi dianggap
menjadi pembenaran terhadap perjudian serta perzinahan. Dua hal yang
diharamkan oleh agama manapun.
Tidak ada yang meragukan, bahwa idealitas yang diinginkan oleh agama
adalah nihilnya perjudian dan perzinahan. Namun di sisi lain, kita tak
dapat menutup mata akan semakin “liarnya” praktek ke dua maksiat
tersebut. Bahkan konsumennya pun telah beraneka ragam, dari anak belum
dewasa hingga yang telah cukup umur, dari pelosok kampung hingga kota
besar. Tak salah ada yang mengatakan bahwa 2 dosa itu “mustahil” untuk
dihapus dari muka bumi. Setidaknya, selagi ada krisis moral dan
ketimpangan sosial.
Lalu, yang menjadi masalah, bagaimana kita menyikapi praktek perjudian
dan prostitusi yang semakin merajalela bak tak kenal batasan?. Untuk
perjudian, Malaysia dan Singapura telah melokalisasinya. Setidaknya
lokalisasi perjudian dipilih dengan 2 pertimbangan, salah satunya yaitu
agar perjudian ini dilakukan oleh individu yang memang memiliki kekayaan
besar sehingga tidak merugikan ekonomi rakyat keci -khusus Malaysia ada
tambahan yaitu tidak boleh muslim.
Tetapi masalah prostitusi lebih pelik dari perjudian, mengingat
persebarannya yang lebih luas dan bisa dilakukan antar 2 individu saja.
Di sinilah kalangan agamawan perlu mencari solusi atas masalah
prostitusi. Tidak hanya bicara soal moral yang bobrok, melainkan turun
merembukkan solusi yang faktual dalam menyikapi prostitusi. Penyebaran
penyakit kelamin, praktek liar prostitusi yang diikuti oleh pungli2 liar
oleh berbagai oknum adalah kondisi yang “real” terjadi, dan harus
segera dicarikan solusinya.
Dan jika kita memilih lokalisasi prostitusi sebagai jalan keluarnya,
maka masih tersisa beberapa pertanyaan, yaitu apakah lokalisasi
perjudian dan prostitusi adalah wujud dari pembiaran kita selaku umat
beragama atau tidak?. Jika iya, maka bagaimana solusi yang nyata untuk
menghadapi kedua maksiat itu?. Dan sejauh mana dan akankah lokalisasi
akan membawa dampak yang positif terhadap penanganan maraknya perjudian
dan prostitusi. Agaknya kedua pertanyaan ini harus kita diskusikan
bersama, baik ditinjau dari sudut pandang agama ataupun sosial.
Salam gitu aja koq repot.
(dewa gilang/edukasi.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar