Kata orang, judi sudah seperti prostitusi. Banyak yang benci tapi nggak sedikit yang suka. Makanya sulit diberantas. Akhirnya muncul gagasan untuk dilokalisasi. Biar lebih tertib, dan ada tambahan biaya untuk pembangunan. Benarkah ini pilihan yang paling waras?
Judi memang kejahatan yang menggemaskan. Ia mengundang kebencian karena kerap menjadi sebab permusuhan dan kemiskinan, tapi juga jadi harapan untuk sebagian orang. Ya, judi kerapkali mengundang permusuhan. Mereka yang kalah judi biasanya jadi panasan, selain juga penasaran. Udah taruhan banyak-banyak, eh amblas.
Tapi jangan salah, nggak sedikit orang yang menjadikannya sebagai harapan. Hari ini kalah barangkali besok menang besar. Inilah yang bikin orang jadi kecanduan. Karenanya tempat-tempat perjudian pun merajalela di mana-mana.
Salah satunya adalah Kalijodo, Jakarta Utara. Di sana, para penjudi bisa memuaskan diri dengan berbagai permainan non-stop sepanjang hari, dari pagi hari hingga ke pagi hari berikutnya. Memang, lokasi itu hanya untuk para penjudi kelas teri, seperti diakui seorang penjaga keamanan khusus di sana, “Biar kurang gede, tapi di sini pengunjungnya paling banyak.” Bayangkan, saban hari Kalijodo bisa dikunjungi seribu orang. Rata-rata etnis Tionghoa.
Persyaratan untuk masuk ke Kalijodo tidak sulit, asal punya Rp 100 ribu bisa masuk dan bermain judi. Namun, dalam semalam ada yang bisa kehabisan modal sampai Rp 300 juta. Sabar, salah seorang keamanan di sana mengaku pernah memiliki modal lebih dari Rp 1 miliar, hasil dari “operasi nasabah”, yakni menodong penjudi yang kebetulan sedang menang besar. Tapi, namanya juga hasil judi, uang itu akhirnya juga ludes di meja judi. Bahkan, lantaran Sabar suka melakukan “operasi nasabah”, ia mesti bolak-balik mendekam di penjara, dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sampai Nusakambangan.
Untuk mereka yang tergolong penjudi kelas kakap, Kalijodo sudah nggak level lagi. Mereka baru terpuaskan berjudi di kasino seperti di Mangga Dua, Jakarta. Mereka kerap disebut “Sembilan Naga” atau “Gajah Metro”. Artinya, orang-orang yang dianggap menguasai jagat perjudian, tidak saja di Jakarta, tapi juga bisa merembes hingga ke luar Jawa.
Pengunjungnya memang tidak sebanyak Kalijodo, paling 20 penjudi. Kalau sedang ramai, bisa seratus orang. Tapi, jangan ditanya omzetnya. Dalam semalam, di setiap tempat perjudian itu bisa berputar uang ratusan miliar rupiah. Untuk permainan rolet, misalnya, mereka umumnya memasang satu koin yang bernilai paling sedikit Rp 1 juta. Dalam satu putaran rolet, seorang penjudi biasa memasang koin di beberapa nomor yang dijagokannya. Jadi, buat yang punya modal di bawah Rp 10 juta, bersiaplah untuk pulang kandang dalam hitungan menit.
Semua Terlibat
Perbuatan mereka jelas ilegal. Menurut Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, aktivitas yang oleh agama diharamkan itu memang terlarang. Tapi seperti yang bisa kamu baca dan mungkin lihat sendiri, perjudian seperti nggak bisa ditahan. Menurut Anton Medan, mereka bukannya sulit diberantas, tapi karena memang tak ada yang sungguh-sungguh mau memberantasnya. Sudah menjadi rahasia umum—meski sulit dibuktikan–kalau perjudian di Mangga Dua, Mangga Besar, dan beberapa hotel itu sesungguhnya dibekingi pejabat tinggi dari kalangan militer, kepolisian, dan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI. Praktis, duit pajak hiburan yang seharusnya masuk ke kas pemda, parkir ke kantong para beking itu.
Dari informasi berbagai pihak, uang haram yang beredar untuk sektor judi di Ibukota dapat mencapai Rp 5 trilliun sampai Rp 7 trilliun per tahun. Uang sebesar itu tidak sepeserpun masuk ke kas negara. Pada umumnya pengelola tempat-tempat perjudian ini memiliki ijin untuk tempat hiburan. Bukan isapan jempol kalau aparat kepolisian mulai dari pangkat balok sampai yang berpangkat bintang mendapat jatah dari pengusaha judi. Bahkan rumor yang berkembang di kalangan masyarakat, kekuatan pengusaha tersebut dapat mengatur posisi seorang pejabat di lingkungan kepolisian.
Untuk mendapatkan ijin membuka perjudian sangatlah mudah. Paling tidak yang dihubungi pertama adalah Kapolda. ”Kalau Kapolda setuju, yang lain akan mengikuti semuanya,” ujar Anton Medan ketika ditemui di Balai Ketrampilan Ex Narapidana, di Cibinong Bogor. Dalam negosiasi, papar Anton, biasanya ada tawar menawar antara bandar dan polda. Untuk pasaran sekarang, yang dia dengar, bandar harus mampu menyediakan anggaran sebesar Rp 500 hingga Rp 1 Milyar setiap bulan pada Polda. Uang sebesar itu dibayar dimuka sebagai ijin awal hingga seterusnya setiap bulan memberi sama.
Kalau sudah berjalan, lanjut Anton, harus pula membayar upeti ke masing-masing pejabat setingkat di bawahnya. Besarnya sangatlah bervariasi. Oknum dari tingkat Polsek sampai Mabes Polri. Juga oknum TNI mulai tinkat Koramil sampai Kodam, banyak yang menerimanya. Kalau tidak dikasih upeti, digerebek.
Kapolsek dan kanit resintel menerima jatah anatra Rp 10 juta hingga Rp 5 juta tiap pekan. Kapolres, Kasatserse dan Kapusdalops dapat Rp 20-50 juta. Kapolda, Rp 500 juta per bulan. Kaditserse, kadit ekonomi dan pusdalops masing-masing Rp 50 Juta per bulan. Perwira Mabes Polri antara Rp 500 juta hingga Rp 1 Milyar per bulan.
Selain itu bandar harus pula memberi pejabat-pejabat di TNI mulai dari Kodim, Korem dan Kodam. Besarnya sekarang separoh lebih banyak dari polisi. Walaupun sebelumnya terkadang lebih banyak TNI. Sedang wartawan, besarnya antara Rp 10 juta hingga Rp 5 juta. ”Ini tergantung negosiasi saja,” tegas Anton yang kini jadi da’i kondang itu.
Selain harus menyediakan upeti, badar-bandar judi yang diijinkan buka juga harus mau memenuhi kebutuhan insidentalnya setiap saat. Dan ini malah terkadang nilainya sangat besar dari upetinya yang diterima setiap bulan. Kebutuhan itu diantaranya, menjamu tamu, urusan perempuan, beli tanah, membangun rumah, hingga anaknya yang mau kawin segala.
Kabarnya yang menikmati uang perjudian bukan hanya itu saja, namun sampai pula ke jaksa, hakim, bahkan lembaga pemasyarakatan hingga anggota DPRD. Sedang untuk aparat pemda, setahu dia, belum pernah memberikan apapun. Keuntungan pemda paling hanya pajak hiburan karena biasanya arena seperti itu dikemas dalam permainan ketangkasan.
Begitu pula organisasi kepemudaan. Para bandar biasanya tidak pernah menganggap mereka. Akan tetapi yang dianggap adalah para jawaranya. Kalaupun diberi paling-paling hanya atas dasar kemanusiaan dan hubungan kekerabatan yang besarnya tidak seberapa. Termasuk juga partai-partainya.
Untuk mendapatkan ijin membuka perjudian sangatlah mudah. Paling tidak yang dihubungi pertama adalah Kapolda. ”Kalau Kapolda setuju, yang lain akan mengikuti semuanya,” ujar Anton Medan ketika ditemui di Balai Ketrampilan Ex Narapidana, di Cibinong Bogor. Dalam negosiasi, papar Anton, biasanya ada tawar menawar antara bandar dan polda. Untuk pasaran sekarang, yang dia dengar, bandar harus mampu menyediakan anggaran sebesar Rp 500 hingga Rp 1 Milyar setiap bulan pada Polda. Uang sebesar itu dibayar dimuka sebagai ijin awal hingga seterusnya setiap bulan memberi sama.
Kalau sudah berjalan, lanjut Anton, harus pula membayar upeti ke masing-masing pejabat setingkat di bawahnya. Besarnya sangatlah bervariasi. Oknum dari tingkat Polsek sampai Mabes Polri. Juga oknum TNI mulai tinkat Koramil sampai Kodam, banyak yang menerimanya. Kalau tidak dikasih upeti, digerebek.
Kapolsek dan kanit resintel menerima jatah anatra Rp 10 juta hingga Rp 5 juta tiap pekan. Kapolres, Kasatserse dan Kapusdalops dapat Rp 20-50 juta. Kapolda, Rp 500 juta per bulan. Kaditserse, kadit ekonomi dan pusdalops masing-masing Rp 50 Juta per bulan. Perwira Mabes Polri antara Rp 500 juta hingga Rp 1 Milyar per bulan.
Selain itu bandar harus pula memberi pejabat-pejabat di TNI mulai dari Kodim, Korem dan Kodam. Besarnya sekarang separoh lebih banyak dari polisi. Walaupun sebelumnya terkadang lebih banyak TNI. Sedang wartawan, besarnya antara Rp 10 juta hingga Rp 5 juta. ”Ini tergantung negosiasi saja,” tegas Anton yang kini jadi da’i kondang itu.
Selain harus menyediakan upeti, badar-bandar judi yang diijinkan buka juga harus mau memenuhi kebutuhan insidentalnya setiap saat. Dan ini malah terkadang nilainya sangat besar dari upetinya yang diterima setiap bulan. Kebutuhan itu diantaranya, menjamu tamu, urusan perempuan, beli tanah, membangun rumah, hingga anaknya yang mau kawin segala.
Kabarnya yang menikmati uang perjudian bukan hanya itu saja, namun sampai pula ke jaksa, hakim, bahkan lembaga pemasyarakatan hingga anggota DPRD. Sedang untuk aparat pemda, setahu dia, belum pernah memberikan apapun. Keuntungan pemda paling hanya pajak hiburan karena biasanya arena seperti itu dikemas dalam permainan ketangkasan.
Begitu pula organisasi kepemudaan. Para bandar biasanya tidak pernah menganggap mereka. Akan tetapi yang dianggap adalah para jawaranya. Kalaupun diberi paling-paling hanya atas dasar kemanusiaan dan hubungan kekerabatan yang besarnya tidak seberapa. Termasuk juga partai-partainya.
Akal Bulus
Menyadari bahwa uang dari hasil judi sangat besar, pemerintah memutar otak. Muncullah Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) dan Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah (KSOB). TSSB atau KSOB, yang terakhir ini sebelumnya bernama Porkas, waktu itu, setiap tahun berhasil meraup duit masyarakat tak kurang dari Rp 1,6 triliun. Jumlah sebesar itu setara dengan lima persen jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagian dana itu oleh Departemen Sosial (Depsos) dipakai untuk pembangunan daerah kumuh, panti asuhan, sampai penanganan suku terasing di Irianjaya. Kupon judinya sendiri dikelola Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS). Ironinya, mereka yang gemar memasang judi ‘plat merah’ itu justru yang berasal dari kalangan miskin. Itu sama saja dengan orang miskin hidup dari subsidi orang miskin.
Era TSSB dan KSOB yang berakhir 1989 digantikan SDSB. Walau tidak sesukses pendahulunya, dana yang berhasil dikeduk dari SDSB sejumlah Rp 162,5 miliar pada 1993. Konon, turunnya perolehan ini karena makin maraknya judi buntut yang waktu itu populer disebut “kupon putih”. Kupon liar ini mendompleng peredaran SDSB. Selain itu, PT Arthadana Kriya, sebagai pelaksana undian, dituduh terlalu banyak mengambil keuntungan dari perolehan SDSB dibanding YDBKS.
Ketidakjelasan penyaluran dana hasil SDSB ini kemudian menimbulkan kritik berkepanjangan. Sebab, hanya sebagian kecil saja dari hasil yang diberikan kepada YDBKS itu yang jatuh ke masyarakat. Sebagian besar, raib entah ke mana. Belum lagi, ekses sosial yang ditimbulkan dari undian yang diputar setiap kamis malam itu. Akhirnya, setelah gelombang demonstrasi yang tinggi sejak 1993, SDSB ditutup pada 1995.
Setelah 1995, judi gelap kembali marak. Judi togel bercampur baur dengan komunitas pelacuran dan kejahatan masyarakat bawah. Sedang kasino dan mickey mouse menjadi tempat-tempat eksklusif yang tak terjamah. Dibekingi aparat kepolisian dan tentara, bisnis judi menjadi sulit diberantas.
Lokalisasi Judi
Menyadari keuntungan yang memikat dari perjudian, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pernah melegalkan bisnis haram tersebut pertengahan tahun 1967. Ia melokalisasi perjudian seperti di Petak Sembilan, Copacobana, Jakarta Theatre, dan Lotto Fair Hailai. Ketika itu, Ali Sadikin memakai UU No. 11 Tahun 1957 yang bersumber dari aturan hukum zaman Belanda tentang “hak pemberian ijin judi oleh residen”. Tujuannya, tak lain agar perjudian dilokalisasikan sekaligus menertibkan perjudian liar yang merebak dan tak terkendali.
Ternyata, taktik Ali Sadikin ada buahnya. Judi liar hampir bisa diatasi. Dan, dana pun deras mengalir ke kas pemda, bahkan sampai belasan miliar rupiah ketika itu. Menurut Bang Ali, uang hasil bisnis judi itu berjasa dalam pembangunan 2.400 gedung sekolah, lebih dari 1.200 kilometer jalan raya, berbagai pusat kesehatan, dan tempat ibadah yang didirikan pada masanya. Tapi, anugerah duit judi itu tidak berlangsung lama. Pada 1981, ketika Tjokropranolo menjadi Gubernur DKI Jakarta, lokalisasi perjudian ditiadakan.
Tak aneh, bila gagasan yang sama melintas di benak Gubernur DKI Jakarta sekarang, Sutiyoso. Gagasan ini merupakan alternatif untuk mengendalikan bisnis haram itu. Soalnya, “Secara obyektif saya melihat perjudian tetap ada di tengah-tengah masyarakat,” kata Sutiyoso. Untuk perwujudan lokalisasi itu, tampaknya seperangkat aturan main perlu segera dipikirkan. Nantinya, dalam aturan itu, menurut Ridwan Saidi, tokoh masyarakat Betawi, setidaknya hanya masyarakat tertentu saja, misalnya etnis Thionghoa, yang diperbolehkan masuk. “Atau, dibatasi untuk mereka yang berduit saja,” katanya. Hal senada juga diungkapkan oleh A.M. Fatwa. Menurutnya, bila merunut pengalaman Malaysia yang melokalisasi perjudian di Tanah Genting, lokalisasi judi bisa saja dipertimbangkan di Indonesia. “Soalnya, di sana orang Melayu tidak boleh masuk. Yang boleh hanya etnis Cina dan India, itu pun harus pakai ID Card,” katanya kepada Yadi Hendriana dari FORUM. Apalagi, A.M. Fatwa mengaku pernah pula diajak melihat lokalisasi perjudian di Afrika Selatan, Singapura, bahkan Makao. Di negara-negara itu, perjudian diatur secara ketat dan transparan.
Tentu saja usulan ini mengundang reaksi keras para tokoh dan sejumlah elemen Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta mengaku sangat prihatin atas maraknya perjudian di ibukota. Sekretaris MUI DKI Jakarta Mohammad Zainuddin mengaku sudah sering memperingatkan pihak terkait baik pemda maupun aparat kepolisian untuk segera menindak dan menghentikan para bendar judi. Namun nyaris tak mendapat perhatian yang memadai.
Melanggengnya usaha perjudian di ibukota tentu saja membuat warga anti judi dibuat kesal. Warga masyarakat menuding, kondisi tersebut terjadi lantaran ada konspirasi antara oknum aparat dengan para bandar judi. Maka munculnya sejumlah aksi yang menentang praktik perjudian. Seperti dilakukan FBR, Gerakan Rakyat Ganyang Judi (Gergaji) serta demo dari kalangan mahasiswa.
Melanggengnya usaha perjudian di ibukota tentu saja membuat warga anti judi dibuat kesal. Warga masyarakat menuding, kondisi tersebut terjadi lantaran ada konspirasi antara oknum aparat dengan para bandar judi. Maka munculnya sejumlah aksi yang menentang praktik perjudian. Seperti dilakukan FBR, Gerakan Rakyat Ganyang Judi (Gergaji) serta demo dari kalangan mahasiswa.
Bagi kita, umat Muslim judi jelas haram. Allah Swt. telah berfirman:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”(TQS. Al Baqarah [2]:219).
Imam Jalalain menafsirkan ‘manfaat’ dari judi adalah perolehan harta yang tak terhingga bila menang berjudi. Meski demikian ‘mudlarat’ yang ditimbulkan dari judi melebihi manfaatnya. Dalam ayat lain Allah menjelaskan bahaya yang ditimbulkan oleh judi, yakni permusuhan dan kebencian. Mereka yang kalah biasanya marah en misuh-misuh pada lawan mainnya. Akhirnya muncullan kebencian dan permusuhan. FirmanNya:
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”(TQS Al Maidah [5]:91).
Maka amat sesuai dengan fitrah manusia dan akal sehat bila kemudian Allah mengharamkan perjudian.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(TQS. Al Maidah [5]:90).
Sama sekali tidak ada kompromi atau toleransi yang diberikan Islam terhadap perjudian. Syaikh Abdurahman Al Maliki menyebutkan bahwa sanksi bagi para penjudi – baik bandar ataupun petaruh — adalah jilid sebanyak 40 atau 80 kali. Hal ini diambil dari sunah Nabi saw. dan ijma shahabat. Nabi dan para sahabat pernah menjilid para penjudi sebanyak 40 atau 80 kali. Maka memberantas judi bukanlah sebuah khayalan, tapi kenyataan. Dan untuk itu diperlukan kerja serius dan keikhlasan serta ketakwaan para aparatur negara dan juga masyarakat.
Lagipula pada kenyataannya selain telah jelas diharamkan agama, perjudian juga menimbulkan banyak ekses negatif. Permusuhan dan kebencian yang berbuntut pada penganiayaan dan pembunuhan sangat mungkin terjadi. Kemudian pada perjudian yang dikelola pemerintah semisal SDSB dan PORKAS yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, justru mengeruk harta dari kalangan dluafa. Artinya, sama saja pemerintah membuat orang miskin menjadi miskin dengan dalih untuk kesejahteraan orang miskin. Sangat ironi.
Andaipun perjudian dikelola dan ditujukan hanya pada orang kaya dengan aturan yang ketat dan transparan sekalipun, tetap saja tidak akan pernah memberikan kebaikan. Itu sama saja menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Lagian, Apakah negara ini sudah sedemikian miskin sehingga harus menjadikan perjudian sebagai pemasukan kas daerah atau negara? Kenyataannya, Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang beraneka dan banyak. Hanya karena ketidakbecusan dalam mengelolanya, selain juga kerusakan mental para aparatnya akhirnya justru dinikmati oleh orang lain. Inilah akibat negara telah menjauhkan peran agama (Islam) dari urusan pemerintahan. Anehnya masih saja mereka belum sadar juga kalau sekulerisme yang mereka agungkan sebenarnya adalah pangkal dari keruwetan masalah yang kini terjadi.[januar, dari berbagai sumber, www.gaulislam.com]l
[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi Juni 2002]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar