Alkisah, jaman dahulu kala hidup serang darwish yang berkeyakinan
bahwa ia bertugas untuk mendekati orang–orang yang melakukan perbuatan
tercela, menyadarkan dan mengarahkan mereka kepada pemikiran
spiritual sehingga mereka bisa menempuh jalan kebenaran. Namun ada
hal yang tidak dapahami sang darwish, bahwasanya seorang guru sejati
tidak mengajarkan asas-asas yang tetap kepada setiap orang, karena
seorang guru dapat saja memperoleh hasil yang bertolak belakang dari
apa yang diinginkan jika ia tidak mengetahui apa yang ada di hati
sang murid.
Beginilah ceritanya, suatu hari sang darwish menemukan seseorang yang
kecanduan berjudi dan tidak bisa menghentikan kebiasaannya ini.
Darwish ini kemudian memutuskan untuk turun tangan dan mengawasi sang
penjudi. Setiap penjudi kita ini pergi ke rumah judi, sang darwish
meletakkan sebuah batu di depan rumah si penjudi untuk menandai
dosa, dengan harapan nantinya batu-batu yang terus bertambah akan
menjadi peringatan akan kejahatan.
Demikianlah, setiap meninggalkan rumahnya untuk pergi berjudi,
penjudi ini merasa bersalah, dan sepulangnya ke rumah, ia merasa
lebih berdosa lagi melihat batu-batu itu semakin menggunung. Akan
halnya sang darwish, setiap menaruh batu dalam tumpukan, selain
merasa geram juga merasakan semacam kepuasan pribadi — sesuatu yang
dianggapnya illahi— ; mencatat dosa.
Tak terasa proses ini berlangsung dua puluh tahun. Dan setiap penjudi
ini bertemu sang darwish, ia merasa malu, dan membathin,” Akankah aku
mengerti kebajikan. Betapa orang saleh itu telah bersusah payah
untuk keinsyafanku. Kapan aku bisa bertobat, menjadi seperti dia. Aku
yakin pastilah ia seorang ahli sorga.”
Kemudian, ketika suatu hari ada bencana alam, kedua tokoh cerita kita
ini tewas bersamaan harinya. Datanglah seorang malaikat menjemput si
penjudi, dan berkata,” Mari pergi ke sorga bersamaku.”
Penjudi ini kaget dan memprotes, “Ah, tak mungkin. Aku seorang
pendosa dan harus pegi ke neraka. Pastilah kamu salah orang, harusnya
kamu jemput darwish yang telah berusaha menginsyafkanku selama dua
puluh tahun terakhir ini.”
Akan tetapi, malaikat menjawab,”Sebaliknya, ia sekarang tengah
diantar malaikat yang lain ke tempat yang lebih rendah. Neraka!”
Sang penjudi malah beteriak marah, “Tidak adil. Bagaimana mungkin.
Pastilah kalian telah memutarbalikkan perintah!
“Tentu tidak,” jawab sang malaikat,” Begini ceritanya, darwish itu
selama duluh puluh tahun diliputi oleh rasa superioritas dan rasa
berjasa. Selama itu pula ia tidak menumpuk batu untukmu, tapi
sesungguhnya untuk dirinya sendiri. Dan sekarang ia harus menerima
buahnya.
“Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan pahala?” tanya sang penjudi.
“”Engkau mendapatkan pahala karena setiap bersua darwish itu, engkau
memikirkan kebajikan, dan berbaik sangka kepada darwish itu.
Kebajikanlah yang sekarang memberikan pahalanya kepadamu.” (guntur suyasa/http://filsafat.kompasiana.com/)
==
Diterjemahkan dari adaptasi Elwood Sturtevant atas Idries Shah,
Wisdom of the Idiots (1969,70), halaman.91-92
-putu-
Dari file lama, ini dulu saya posting di beberapa mailing list dan juga dimuat di geocities.com/balialma yang sudah non aktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar