Kamis, 25 Desember 2014

Mengilik Sejarah Adu Jangkrik

Tak hanya dimainkan anak-anak, orang dewasa mengadu jangkrik sebagai ajang judi.
 
ADU jangkrik sebagai permainan rakyat sudah dikenal lama di Indonesia. Adu jangkrik dimainkan seluruh lapisan masyarakat, terutama anak-anak. Dulu mereka mencari sendiri, kini membeli dari penjual yang biasa mangkal di sekolah-sekolah.
Menurut buku Permainan Tradisional Indonesia, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998), permainan ini biasanya muncul secara musiman, khususnya pada musim gadon yaitu saat sawah ditanami palawija untuk menyelingi tanaman padi. Jenis jangkrik yang diadu adalah jangkrik kalung jantan, berwarna hitam legam, dan ada hiasan kalung pada lehernya. Jangkrik ini digemari anak-anak karena suaranya nyaring dan gerak-geriknya lincah.
Menurut Denys Lombard, adu jangkrik tampaknya merupakan kegemaran khas masyarakat Jawa namun juga didapati di kalangan orang Tionghoa; dan kaum peranakan memudahkan penyebarannya. “Itulah yang terjadi pada adu jangkrik yang dewasa ini sudah langka, namun pada zaman Hamengku Buwono VII (1877-1921) telah merasuki seluruh kraton Yogyakarta,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2, Jaringan Asia. Para bangsawan dan pedagang kaya di Kota Gede mengadakan pertandingan setiap Selasa dan Jumat.
Adu jangkrik lebih dikenal di Jawa Tengah, sedangkan di Bali terkenal adu ayam, Jawa Barat adu domba, dan Toraja adu kerbau. Kendati demikian, di Bali juga ada adu jangkrik, disebut maluan; dan di Aceh disebut daruet kleng. Adu jangkrik dianggap sebagai hiburan anak kecil. Ini tidak berarti orang dewasa menampik permainan itu.
“Konon calon Sultan adalah seorang penggemar daruet kleng dan kadang-kadang memasang taruhan besar,” tulis Snouck Hurgronje dalam Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya Volume 2. “Konon kegemaran bertaruh itu karena pertarungan diadakan di kalangan terbatas.”
Permainan maluan memiliki sifat sekuler (keduniawian) sekaligus sakral karena “si pemain (seorang anak berumur tujuh tahun), sewaktu hendak menggalakkan jangkriknya, akan mengucapkan mantra dengan suara seperti yang dikeluarkan oleh seorang balian,” tulis James Danandjaja dalam Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali.
Bacaan mantra agar jangkrik kuat dan menang, juga disinggung Tjan Tjoe Siem dalam artikelnya “Adoe Jangkrik” yang dimuat majalah Djawa tahun 1940. Sebelum masuk arena, jangkrik biasanya diberi mantra (dijantur): Jantur, jantur, musuhmu gedhe dhuwur, cokoten ngasi anjur. Janti, janti, musuhmu kecil belaga, gigitlah sampai mati.
Setelah dijantur, jangkrik lantas lebih berani menghadapi lawannya. Bahkan dengan menggunakan obat-obatan Tionghoa, jangkrik aduan menjadi perkasa dan senantiasa menang. Peristiwa itu terjadi pada pertandingan besar di Semarang pada 1901. Ampuhnya ramuan itu diungkapkan Siem dengan “sekali gigit akan lekas lari tiada mau berhadapan lagi.”
Seperti halnya adu ayam, adu jangkrik pun menjadi ajang judi. Menurut Siem, adu jangkrik sebagai praktik perjudian ramai dilakukan di Jawa Tengah, dan tidak sedikit orang Tionghoa ikut pat-sik-soet (adu jangkrik) pada musim jangkrik. “Pusat-pusat aduan jangkrik yang taruhannya tiada kecil adalah kota Magelang, Yogyakarta, dan Solo,” tulis Siem.
Menurut Permainan Tradisional Indonesia, cara taruhannya tak jauh berbeda dengan taruhan adu ayam. Ada satu lawan satu, satu lawan dua (apit), dua lawan tiga dan sebagainya. “Di samping mati, ada jangkrik yang putus giginya, perutnya yang keluar, sayapnya putus, kakinya putus akibat gigitan lawan.” (YUDI ANUGRAH NUGROHO/http://historia.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar