Senin, 27 April 2015

Pertobatan Seorang Penjudi


Namaku Anton, anak kedua dari enam bersaudara. Aku lahir dan dibesarkan di Yogyakarta. Meski keadaan ekonomi keluarga kami pas-pasan, tetapi aku bersyukur karena kedua orangtuaku adalah sosok pekerja keras. Sejak dini mereka telah mengajarkan kepada kami, anak-anaknya, tentang kerasnya hidup. Kesadaran itu pulalah yang akhirnya mendorongku untuk keluar dari jeratan kemiskinan.
Atas kemauan sendiri, pada usia 12 tahun aku memutuskan berhenti sekolah dan mencari pekerjaan. Pikirku, kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang selama ini kupelajari di sekolah telah cukup menjadi modal masuk ke dunia kerja. Berbagai nasihat dari orangtua dan guru tak menyurutkan niatku. Selepas itu banyak hal yang kualami.
Awalnya aku berjualan es lilin dari kampung ke kampung. Untungnya memang tidak seberapa, tapi lumayan untuk menambah penghasilan keluarga. Tak lama kemudian aku mendapat pekerjaan sebagai penjual karcis di bioskop Indra, salah satu bioskop tua di Yogyakarta. Penghasilan yang kuperoleh dari pekerjaan lumayan besar dibanding saat berjualan es lilin. Enam tahun lamanya aku menekuni profesi ini.
Pada tahun 1975 aku memutuskan berpindah profesi. Tak jauh-jauh dari tiket, kali ini aku bekerja di sebuah agen penjualan tiket bus malam di wilayah Shoping. Di situlah aku berkenalan dengan banyak orang, termasuk para penjudi yang banyak bercerita tentang betapa mudahnya memperoleh uang dari meja judi. Mendapat banyak uang dengan cara mudah, siapa yang tidak mau? Apalagi bagi seorang pemuda miskin seperti aku. Bak gayung bersambut, suatu hari aku mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah tempat perjudian. Gaji yang ditawarkan pun lebih besar dari yang kuterima dari agen penjual tiket bus malam. Tanpa menunggu lagi, tawaran itu pun segera kuterima.
Dari pekerjaan ini, aku mengenal berbagai macam judi. Semula aku hanya menjaga mesin judi, tapi pelan-pelan aku mulai ikut berjudi. Dari iseng akhirnya aku jadi kecanduan. Uang gajiku pun nyaris selalu habis tandas di meja judi. Kalaupun ada yang bisa kubawa pulang, jumlahnya tidak seberapa. Kebiasaanku berjudi semakin parah setelah berkenalan dengan beberapa penjudi kelas kakap. Berbeda dengan para penjudi umumnya, para penjudi  kelas kakap ini tidak berjudi di sembarang tempat. Mereka biasanya menyewa sebuah villa atau kamar hotel untuk berjudi. Semula aku hanya diajak untuk menemani dan melayani keperluan mereka. Makan, minum, transportasi, dan akomodasi ditanggung. Namun seperti yang sudah-sudah, dari sekadar melihat lambat laun aku juga turut bermain.
Saat berjudi, biasanya penyelenggara juga menyediakan minuman beralkohol, narkoba, serta wanita penghibur (PSK). Tak heran kalau selain kecanduan judi, akhirnya aku pun kerap mabuk dan main perempuan. Semua itu semakin diperparah dengan sikapku yang kasar dan mudah naik darah. Namun di balik itu semua, ada satu hal yang tak dapat kututupi, yaitu aku merasakan hidupku kosong dan tidak berarti.
Suatu hari di tahun 1990, kakakku mengalami kecelakaan lalu-lintas dan meninggal dunia. Setelah itu aku memperoleh limpahan tanggung jawab untuk mengurus keempat anaknya, sementara usaha berdagang barang bekas aku kelola bersama adikku. Tidak mudah memang, apalagi aku masih kecanduan judi. Namun itu justru makin menguatkan kesadaranku untuk mencari arti dan tujuan hidupku yang sebenarnya.
Empat tahun kemudian aku menikah. Orangtua calon istriku sempat menentang keras keinginanku menikahi putri mereka karena mengetahui tabiat burukku selama ini. Mereka baru memberi restu setelah aku berjanji memperbaiki diri dan hidupku. Aku bersyukur karena istriku sangat membantu melalui masa-masa transisi. Ia benar-benar menerimaku apa adanya. Kebahagiaanku semakin lengkap setelah Tuhan memberkati pernikahanku dengan memberi dua anak lelaki.
Pernah suatu ketika kebiasaanku berjudi kembali lagi. Harta benda kami habis di meja judi. Namun Tuhan tidak tinggal diam. Suatu hari, saat menuju tempat judi, aku seperti mendengar suara yang kuyakini sebagai suara Tuhan, “Bertobatlah dan tinggalkanlah semua kebiasaan burukmu itu. Ingatlah kepada anak dan istrimu. Relakan semua yang hilang karena judi dan mulailah hidup yang baru.” Aku menuruti suara itu dan mengambil komitmen untuk hidup baru.
Sejak hari itu aku benar-benar fokus pada keluarga dan menjauh sama sekali dari komunitas judiku yang dulu.Aku bersyukur karena masih diberi kesempatan mengenal Tuhan dan bertobat. Satu hal lagi, setelah mengalami sendiri, ternyata hidup di dalam Tuhan itu luar biasa.
Sumber: Renungan Malam, Juli 2010
(http://ebahana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar