Selasa, 22 Juli 2014

Memutus Kenikmatan


clubbingBerat Hati Meninggalkan…
Berhenti atau melangkah adalah pilihan. Apapun itu. Termasuk dalam maksiat. Entah kenapa, kemaksiatan yang dilarang Alloh, senantiasa memberikan kenikmatan tersendiri bagi pelakunya. Siapaun dia. Saking nikmatnya kemaksiatan: apapun siap dikorbankan. Tidak hanya harta dan kehormatan, bahkan nyawapun siap dipertaruhkan.
Orang-orang yang menari di dunia lamunan bersama sabu, cimeng atau inex, adalah contohnya. Mereka inilah yang bersabung dengan nyawa. Mereka siap kehilangan nyawa, demi kenimatan sesaat. Nyandu.
Kata orang, dunia ini adalah surganya bagi para calon penghuni neraka. Sebaliknya, bagi calon penghuni surga, dunia adalah kerangkeng tak berbatas terali. Penuh onak dan duri.
Ternyata untuk memutus kenikmatan dunia itu, tidak semudah memulainya. Ya, memutus kenikmatan, perlu kesabaran luar biasa. Sabar untuk tidak mengulangi. Sabar untuk tergoda. Sabar untuk tidak lagi menengok ke belakang. Harus lebih sabar lagi ketika hasrat “candu” itu mulai merasuk lewat aliran darah. Mendesir tak terasa. Pergelutan jiwa pun menjadi sangat berat.
Sebutlah seorang nama teman, Koh Ahong, yang dulu sangat hobi dugem. Sudah sejak kuliah, dia punya geng yang setiap malam week end, larut dalam dentuman musik goyang di diskotik. Dari sekedar mencoba, menjadi ketagihan. Dari sekedar ke diskotik, menjadi lebih kuat lagi minum bir. Sampai usia hampir 50 tahun, dia mati-matian berusaha lepas dari jerat bir. Itupun setelah dokter memvonis akan segera mati jika tak berhenti mabuk, karena levernya sudah mudah mogok bekerja. “Kalo nggak berhenti, gua mati,” katanya.
Karena takut mati, ia akhirnya berani memutus kenikmatan itu. Tak mudah memang. Godaan terbesar bukan hanya dari teman-teman lama yang masih sering mengajak, tetapi juga dari sikap dirinya sendiri. Ahong ini nggak bisa tenang bila belum menenggak bir — dia pernah tidur semalaman di halaman gedung di Setiabudi, karena mabok. Jika tak mabok sehari saja, badannya ngilu, dan sulit konsentrasi katanya.
Sebut juga nama Mas Abang, yang hobinya main judi. Dia sudah jatuh miskin. Dulu semua jenis judi, plus hiburan perempuan, menjadi menu keseharian. Sekarang juga sedang bergelut dengan kemauannya sendiri: memutus kenikmatan. “Kalo uang gua yang dipake untuk judi itu ditabung, sudah bisa beli rumah di Pondok Indah,” ujar kawan ini. Sekarang mau tahu? Kenyataanya ia masih ngontrak.
Ada teman lain yang mantan aktifis kampus. Usianya jauh lebih tua dari saya. Dia ini sampai sekarang masih membujang. Hidupnya ia abadikan diri untuk menuruti petualangan sex. Tidak percaya? “Coba tanya semua perempuan di Blora (satu tempat hiburan di daerah Jalan Blora, Jakarta Pusat), siapa yang tak kenal gua. Kalo ada yang belum kenal, pasti dia orang baru. Semua cewek di sana udah gua pake,” katanya, bangga.
Teman yang ini,  beberapa tahun lalu, masih “aras-arasan” untuk berhenti memutus kenikmatan. Maklum dia masih senang membujang. Toh hatinya akhirnya luluh juga, hanya karena melihat salah satu keponakannya setress setelah ditinggal pacarnya. Nggak tahu, apakah keponakannya itu hamil atau tidak. Yang pasti, dia sangat sedih. “Itu yang gua takutin. Keluarga gua yang terkena karma,” katanya. Terus terang, saya kurang tahu agama teman yang satu ini.
Ada juga seorang kenalan yang belum lama ini berkisah ingin menutup buku kedurjanaanya. Ia seorang bapak dengan beberapa anak, dan beberapa kali terlibat selingkuh. Setahun lalu, dia cerai dengan istri. “Bukan karena selingkuh. Aku selingkuh nggak pernah ketahuan,” katanya.
Itu kalimat yang sulit diterima. Buktinya, istri yang pertama ternyata setress karena mendapat mendapat teror dari teman selingkuh. Di kantornya, si istri juga dipermalukan karena selingkuhan suaminya itu menelepon orang HRD, atau kirim sms ke teman-teman istrinya. Yang luar biasa, teman yang satu ini tegak lurus dengan langit (kata Iwan Simatupang). Dia  berhenti. Dia benar-benar tobat. Berhenti selingkuh, dan ia sedikit pun tak membalas perilaku cewek selingkuhannya itu. “Emang gua yang salah. Gua juga harus menanggung resiko.” Asal tahu saja, si perempuan selingkuhannya sudah pernah berniat menghabisi nyawa teman ini. Rupanya si cewek sudah terlanjur sayang, mungkin, dan tidak mau ditinggalkan sama teman ini. Padahal, ia sendiri sudah punya suami.
Karir dan istri dia pertaruhkan. Ia kehilangan istri dan anak. Ia kehilangan karir, tetapi ia menemukan jalan kembali. Kembali ke jalan yang lurus. Para pencari surga.  “Nggak papa. Untuk menjadi orang yang bersih,  yang lurus, kadang harus masuk kubangan dulu,” katanya.
Tapi, jika ada peluang untuk terus bersih, mengapa pula harus kotor lebih dulu. Sayang sekali, yang menulis ini pun, masih penuh dengan debu. (PRACOYO WIRYOUTOMO, http://belajarsabar2.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar