Kehidupan memang bagaikan pelangi, berbagai macam warna dan
cerita di setiap harinya. Setiap detik yang berlalu ada lebih dari
sejuta kisah yang terjadi. Ada lebih dari sejuta tawa dan air mata.
Kehidupan memang bagaikan menulis sebuah buku. Menulis berbagai kisah di
sebuah buku yang namanya buku kehidupan.
Ini sebuah kisah nyata yang terjadi lima puluh dua tahun yang lalu di
Pulau Bali. Kisah ini menceritakan tentang kehidupan seorang anak
laki-laki bernama Santra, seorang anak laki-laki pertama dari pasangan
suami-istri yang hidupnya kurang berkecukupan. Saat Santra berumur
delapan tahun, ia sudah menjadi seorang anak yang giat bekerja. Ibunya
bekerja menjual sayur gondo yang di tanam di ladang, dan malangnya ayah
Santra adalah seorang penjudi. Santra sudah berpikir untuk mencari uang
di usianya yang masih belia. Keadaan yang sangat menyedihkan sering
sekali terjadi, ketika uang hasil dari penjualan sayur gondo yang ibunya
dapat, secara paksa, ayahnya mengambil uang itu untuk dipakai berjudi.
Santra sangat prihatin dan kasian dengan ibunya. Maka dari itu ia sangat
ingin membantu ibunya mencari uang.
Santra pernah mencoba berjualan es lilin di kampungnya sepulang dari
sekolah. Ayahnya yang seorang penjudi keras dan selalu mabuk-mabukan
karena minum-minuman keras, selalu pulang dengan amarah karena selalu
saja kalah bermain judi. Dan juga ayah Santra sering memukul ibunya.
Santra sangat tahu bagaimana kesulitan yang ibunya rasakan ketika ia
harus memberi makan lima anaknya yang masih kecil-kecil dengan uang
hasil menanam sayuran di ladang dan uang itu sering diminta paksa oleh
suaminya untuk berjudi. Seringkali ibunya hanya merebus singkong dan ubi
untuk makan mereka sehari-hari. Dan lebih menyedihkannya, singkong dan
ubi itu terkadang tidak cukup untuk makan mereka. Hingga ibu Santra
sering tidak makan dan hanya minum air putih saja untuk membiarkan
anak-anaknya makan agar tidak kelaparan. Dan jika ini sudah terjadi,
maka Santra akan pergi keluar rumah entah ke sawah atau ke pinggir
sungai dan kemudian menangis bersembunyi. Hatinya terasa sakit dan
sedih. Santra sangat kesal dengan ayahnya namun ia tahu ia tidak boleh
membencinya. Ia kasihan dengan ibunya. Maka ia tidak pernah ingin
meminta sesuatu kepada ibunya.
Saat musim panen adalah saat-saat paling membahagiakan untuk Santra.
Karena ia bisa pergi ke sawah untuk mengumpulkan butir-butir padi yang
tercecer di tanah sisa dari panen. Dengan hati bahagia Santra pulang ke
rumah. Hasilnya sangat lumayan. Padi yang terkumpul dalam kantong
plastik itu bisa dijual. Dan bisa juga dipakai untuk makan keluarganya,
pikir anak kecil gigih itu.
Santra tidak pernah kehabisan akal untuk mencari uang. Ia pernah
bekerja sebagai pencari pasir di sungai. Satu-satunya anak kecil yang
mencari pasir, karena yang lainnya ibu-ibu.
Beberapa bulan kemudian, nenek Santra mengajak Santra pergi ke Pulau
Sumatra dan berjanji akan kembali lagi ke Pulau Bali. Ibu Santra sedih
melepas kepergian anaknya itu. Begitu pun Santra yang menahan tangis
ketika harus berpisah dengan keluarganya.
Santra hidup bersama neneknya di pulau transmigrasi itu, tepatnya di
Lampung. Ia tinggal di sebuah gubuk reyot. Santra merasa sedih karena ia
merindukan ibu, ayah, dan semua adik-adiknya. Tempat ini terasa asing.
Dan lebih menyedihkan lagi, neneknya berkata bahwa ia tidak akan kembali
ke Pulau Bali lagi. Santra menangis di malam hari, di balik tidurnya,
ditemani lampu minyak yang bersinar redup.
Santra hidup dengan kesederhanaan. Ia disekolahkan oleh neneknya. Ia
adalah seorang anak yang rajin dan pintar. Ketika masuk SMP, ia harus
berjalan sejauh delapan kilometer setiap harinya untuk berangkat ke
sekolah. Itu dilakukannya selama tiga tahun tanpa pernah mengeluh
sekalipun. Sama seperti di Bali, Santra pun selalu mengusahakan untuk
mendapatkan uang. Jadi, Santra lagi-lagi mencoba berjualan es dengan
menaiki sepeda keliling kampung sebelah. Ia melakukannya setelah pulang
dari sekolah. Tanpa mengenal lelah, hingga malamnya ia masih tetap
belajar dengan giat. Saat masuk sekolah lanjutan, Santra mengambil
jurusan pertanian. Setelah selesai kuliah, ia melamar pekerjaan di
sebuah perkebunan pabrik tebu yang lumayan besar dan diterima menjadi
mandornya. Gajinya lebih dari cukup. Setelah mendapatkan pekerjaan,
Santra berniat untuk kembali pulang ke Bali dan menjenguk ibu, ayah,
serta adik-adiknya yang sudah sangat lama ia rindukan. Apa ibu baik-baik
saja? Apa ayah juga baik-baik saja? Apa ayah masih sering memukuli ibu?
Apa ayah masih sering berjudi? Bagaimana dengan adik-adik? Bagaimana
wajah mereka sekarang? Apa mereka bersekolah dengan baik? Atau apa
mereka tidak bisa bersekolah? Santra selalu meneteskan air matanya
setiap kali ia memikirkan keluarganya itu. Hingga kepulangannya, ia
dapat bertemu mereka kembali dan merasakan kebahagiaan yang tak terkira.
Santra kemudian mencoba usaha perkebunan, yaitu perkebunan karet.
Semakin lama, perkebunan itu membuahkan hasil yang memuaskan. Yang
tadinya hanya satu hektar, kini bisa menjadi seratus hektar lebih. Ini
merupakan karunia Tuhan. Panen karet itu kira-kira setiap enam bulan
sekali. Untuk satu hektar saja bisa mencapai tiga puluh juta rupiah.
Hasilnya benar-benar memuaskan. Santra memikirkan usaha perkebunan lain,
yaitu perkebunan kelapa sawit. Dan lagi-lagi karena karunia Tuhan,
perkebunan itu memberikan hasil yang memuaskan. Dalam setiap bulan,
Santra bisa mendapatkan uang sebesar sepuluh juta rupiah. Santra selalu
mengucap syukur atas karunia yang Tuhan berikan. Dan meskipun Santra
hidupnya kini sudah berkecukupan. Ia masih tetap hidup dalam
kesederhanaan. Ia tidak menunjukkan kemewahan hartanya.
Kini Santra sudah berkeluarga dan hidup bahagia. Santra masih membuka
usaha lainnya. Ia membuka usaha pabrik dan toko-toko. Dan juga ia dapat
membuka usaha restauran di Bali. Kini ia menjadi seorang pengusaha yang
benar-benar sukses.
Semua kesuksesan diawali dengan usaha dan kerja keras. Ketika Tuhan
memberikan sebuah cobaan yang berat, itu adalah sebuah anak tangga yang
harus kita lalui dan kita naiki satu per satu. Itu akan membuat kita
menjadi seorang pribadi kuat yang siap untuk menggapai kesuksesan.
Jalanilah hari-hari kita dengan penuh usaha dan kerja keras. Hidup
terkadang memang keras. Namun, sekeras-kerasnya hidup, ada saatnya
dimana hidup akan memberikan kelembutannya pada kita dan membuat kita
tersenyum bahagia. Percaya itu! (http://inspirasi.co/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar