Sabtu, 04 Maret 2017

DAMPAK PERJUDIAN BAGI KESEJAHTERAAN KELUARGA: Sebuah Tilikan Perspektif Sosio-Teologis




Kanisius Teobaldus Deki


 
I. PENGANTAR
Perjudian merupakan fenomena sosial yang kian marak di antara pelbagai persoalan yang muncul ke permukaan kenyataan kehidupan bersama. Di Manggarai ada dua situasi yang menjadi titik mulai studi ini. Pertama, makin maraknya judi Kupon Putih (KP) di Manggarai. Kedua, adanya kenyataan tak terbantahkan perilaku masyarakat Manggarai yang melegalkan perjudian kartu dalam acara tertentu seperti kumpul kopewuat wa’i [1]dan pada saat kematian.[2]
Titik tumpu ini lalu menjadi sebuah kenyataan yang melibatkan banyak pihak, termasuk petugas keamanan.[3] Kenyataan ini tidak hanya menjadi bagian dari keseharian masalah hidup orang Manggarai, namun juga di daerah lainnya di Flores.[4] Perjudian lalu menghadirkan sekaligus dua tawaran, bagaikan dua sisi mata uang, kepada setiap orang yang ingin menjalankan aktivitas itu. Di satu sisi, perjudian sering terlahir dari sebuah rahim yang penuh impian tentang kejayaan yang akan tampak bila mengalami kemenangan. Di sisi lain, perjudian sering lebih menyajikan kenyataan tragis tatkala mereka mengalami kekalahan. Dan adalah menjadi sebuah kenyataan yang tak terelakkan, perjudian pada akhirnya rentan terhadap berbagai bahaya yang mengancam kehidupan bersama, termasuk kesejahteraan keluarga.
Berhadapan dengan dua sisi dari perjudian ini, muncul berbagai tanggapan, pendapat atau opini seputar perjudian. Ada kelompok tertentu yang saya sebut dengan terminus tekhnicus: “pro judi” dan ada pula yang kontra terhadapnya. Kelompok pro judi berpendapat bahwa judi merupakan sesuatu yang baik dalam arti melalui aktivitas itu para pelakunya bisa menyalurkan hoby, mengisi waktu senggang, mendapat banyak teman dan menambah penghasilan keluarga. Sebagai kesimpulan, mereka ingin mempertahankannya dan berusaha untuk melegalkan kehadirannya di tengah masyarakat. Jika perjuangan untuk melegalisasikannya gagal, maka aktivitas itu dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Selain itu kelompok “kontra judi” memiliki pendapat yang berlawanan : judi sering menimbulkan pertengkaran, kekacauan, kerugian materi, kesehatan yang menurun dan bahkan kebangkrutan dalam keluarga. Karena itu mereka berusaha untuk menghapus aktivitas itu, sekaligus menegasikan pernyataan kelompok pro judi. Oleh besarnya efek negatif, judi dilihat sebagai penyakit sosial masyarakat (Pekat).[5]
Berdiri di antara dua pendapat ini, di tengah masyarakat yang semakin sulit membedakan nilai-nilai tentang yang baik dan yang buruk, dan malah cenderung permisif dan karenanya melegalkan perjudian[6], tulisan ini ingin membuat sebuah catatan kritis atas aktivitas judi dan dampaknya bagi kesejahteraan keluarga.


II. REKAM JEJAK JUDI DI INDONESIA[7]
Judi kupon yang pertama kali bertaraf nasional di Indonesia adalah Porkas sebagai program penggalian dana olah raga nasional pada tahun 1985. Sistem pengundian nomer porkas dilakukan secara periodik dua kali dalam satu minggu dan bagi pemenangnya dilipatgandakan taruhannya. Namun pada perkembangannya, porkas menjadi sebuah polemik di masyarakat dan akhirnya ditutup.
Pada tahun 1989, kembali pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Sosial RI No. BBS.-20-9189 mengeluarkan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang sifatnya hampir sama dengan Porkas namun tujuannya untuk menggali dana sosial kemanusiaan. Lagi-lagi, SDSB sebagai sebuah fenomena kontroversial di masyarakat sehingga mengalami nasib yang sama dengan Porkas setelah banyak aksi demo dari masyarakat yang menolaknya. Sebuah bentuk perjudian yang diatur dalam sebuah perizinan kenegaraan atau disyahkan dalam undang-undang maka perjudian tersebut dianggap legal atau resmi. Namun ketika perizinan tersebut dicabut maka perjudian tersebut menjadi larangan dan merupakan perbuatan kriminal.
Perkembangan beberapa tahun terakhir, di Indonesia dihebohkan dengan mewabahnya judi kupon putih atau toto gelap (togel) yang di setiap daerah mempunyai ragam yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pemerintah pusat dalam era otonomi daerah menyerahkan kewenangan mengatur perjudian tersebut kepada pemerintah daerah setempat dengan Peraturan Daerah (Perda). Dimaksudkan agar pengaturan judi kupon togel yang banyak ragamnya tersebut dapat diatur bahkan dibatasi peredarannya sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.

III. PERJUDIAN DAN KELUARGA:  MENGAIS MIMPI, MERAUP REJEKI?
2.1.Tujuan Perkawinan
Dalam banyak literatur, pada umumnya manusia mengakui bahwa lembaga perkawinan diadakan untuk memenuhi panggilannya sebagai manusia yang selalu bersifat sosial (ens sociale), sekaligus mencapai kepenuhan hidup sebagai ciptaan yang memiliki karakter biologis-prokreasi untuk melahirkan anak dan mencapai kebahagiaan atau kesejahteraan hidup. Dalam term religius-kristiani, lembaga perkawinan juga menjadi sebuah panggilan untuk meneruskan kehendak Allah melahirkan dan membesarkan anak-anak yang dititipkan Tuhan kepada manusia (Kej. 1:27-28).

2.2.Keluarga dan Masalah Perjudian
Keluarga sebagai himpunan sosial yang paling kecil memiliki orientasi hidup untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Mereka berusaha mencari pekerjaan yang layak untuk menghidupi perekonomian keluarga. Di zaman yang berkembang dengan pesat ini, dimana manusia yang semakin modern, perjuangan untuk mencapai hidup sangatlah sulit. Keluarga-keluarga bertarung di tengah kancah perjuangan untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya ada perubahan peran dalam rumah tangga.[8] Jika pada zaman dahulu hanya suami yang bekerja di luar rumah, pada zaman sekarang dengan pelbagai perubahan yang menuntut dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan, maka istri juga bekerja mencari pengahsilan tambahan.[9] Perubahan perab juga membawa dampak yang cukup luas dalam hal relasi, peran dan pengaruh dalam menata kehidupan berkeluarga. Seorang Bapak tidak lagi bisa mendominasi jikalau istrinya juga bekerja memberikan penghasilan kepada keluarga.
Tidak dapat disangkal, dalam perjuangan yang keras, ada kenyataan bahwa tidak semua keluarga mencapai hasil yang maksimal. Juga pekerjaan-pekerjaan yang ada tidak selalu memberikan jaminan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Judi dilakukan dengan motif-motif tertentu. Ada dua sebab mengapa orang mengambil perjudian sebagai jalan keluar mengatasi kemelut keuangan dalam keluarga.
Pertama, keinginan untuk mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Kerap terjadi pekerjaan yang sudah digeluti dengan penuh perjuangan mendapatkan hasil yang tidak seimbang dengan jumlah kebutuhan yang harus dipenuhi. Karena itu mereka menghidupkan mimpi di dalam dirinya bahwa ia akan mendapat peluang untuk mencapai hasil yang besar dengan jalan pintas. Harapan itu sangat kuat didalam pelaku perjudian, meskipun mereka sadar bahwa kemungkinan untuk meraih untung sangat kecil, bahkan ketika mereka tahu bahwa mereka dirugikan oleh aktivitas itu.
Kedua, pada taraf dan situasi tertentu, perjudian dilakukan oleh mereka yang memiliki pekerjaan yang mendatangkan hasil dinansial yang bedar.mereka kerap berjudi dengan alasan sebagai selingan di antara selurh aktivitas atau pekerjaan. Selain itu mereka juga berharap bahwa dengan jalan itu mereka memperoleh teman semakin banyak. Dalam kelompok ini, harapan akan mendapat keuntungan bukanlah hal utama. Terbanyak kelompok ini berasal dari kalangan yang memiliki cukup banyak uang.
Dua pendapat di atas kurang lebih bisa menjadi model yang mewakili kenyataan yang umumnya terjadi dalam masyarakat.


III. DAMPAK PERJUDIAN BAGI KESEJAHTERAAN KELUARGA

3.1.Bagi Pelaku Perjudian
3.1.1.      Selalu Terbius Mimpi
Mereka yang terlibat dalalm perjudian mengalami dua kenyataan yang kontradiktoris. Disatu pihak mereka mengharapkan bahwa mereka menang namun dalam pertarungan mereka ternyata sering mengalami kekalahan. Di pihak lain, mereka bertarung dengan harapan akan menang dan mengalami hal itu sebagai kenyataan. Berhadapan dengan kekalahan, orang akan merasa tidak puas,ingin bertarung lagi dan berusaha supaya menang. Sedangkan mereka yang menang akan tetap berjuang mempertahankan posisinya sebagai pemenang dan kalaupun terjebak dalam kekalahan, perjudian akan terus dilanjutkan demi meraih kemenangan. Dalam benak semua penjudi, “menang” adalah kata yang paling diharapkan. Segala daya dan energi dikerahkan untuk meraih kemenangan itu. Karena itu, keseharian hidup para penjudi adalah hermeneutika yang dibangun di atas fundasi mimpi. Segala sesuatu, terutama yang berkaitan dengan gejala natural, ditafsir dari perspektif mimpi dengan orientasi yang mengarahkan imaginasi, kehendak dan nalar kepada kemenangan. Lama kelamaan, jika judi menjadi neourosis, maka seseorang akan semakin mengarahkan dirinya kepada aktivitas perjudian, apapun yang terjadi, meskipin mereka mengahadapi kenyataan bahwa mimpi-mimpi mereka tidak terealisir.

3.1.2.      Kesehatan yang Menurun
Penyerapan energi yang sangat banyak untuk menyempatkan diri dalam aktivitas berjudi membuat seseorang akan kehilangan daya tahan tubuhnya. Orang-orang yang melakukan aktivitas perjudian sangat jarang dengan cepat menyelesaikan permainannya. Bahkan ada yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk berjudi. Banyaknya waktu yang dipakai untuk berjudi tidak seimbang dengan waktu yang disediakan untuk beristirahat menyababkan mereka mengalami daya tahan tubuh (stamina) yang semakin menurun. Hal ini menjadi penyebab utama begitu mudahnya penyakit masuk dan menghantam pertahanan tubuhnya.

3.1.3.      Menurunnya Produktivitas
Partispasi aktif dalam perjudian menyababkan seseorang tidak bekerja semaksimal mungkin. Jika pekerjaan utama sering ditinggalkan, maka dengan sendirinya mereka akan memperoleh hasil yang sangat kecil. Ada banyak kenyataan bahwa keringan untuk tidak hadir dalam pekerjaan (khususnya di perusahaan, kanotr dan sekolah) akan menimbulkan masalah baru. Bahkan tidak jarang para pegawai yang jarang masuk kantor dipecat oleh atasannya. Sedangkan untuk para petani dan nelayan serta buruh, pekerjaan-pekerjaan yang terbanyak mengandalkan fisik, penggunaan waktu yang banyak untuk perjudian membuat mereka tidak sanggup bekerja secara efektif. Dengan demikian, mereka juga tidak akan mendapatkan hasil yang sanggup mencukupi kebutuhan keluarganya.

3.2.Bagi Keluarga dan Masyarakat
3.2.1.      Menciptakan Konflik dalam Keluarga
Konflik dalam perkawinan sebetulnya bisa dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni: konflik dalam situasi tertentu, konflik berdasarkan perbedaan kepribadian dan konflik berdasarkan struktur.[10] Dan menurut penelitian yang dibuat oleh Mendez (1982), pertengkatan antara suami dan istri sering disebabkan oleh salah paham, kurangnya komunikasi, perbedaan kepribadian, kekecewaan kecil, ketidaksetiaan, judi, mabuk dan campur tangan bapa-ibu mertua serta adik-adik suami atau istri.[11] Judi sebagai sebuah bentuk patologi sosial, memberikan andil tersendiri dalam konflik antar suami istri dan juga orangtua dengan anak-anak.

3.2.2.      Membawa Keluarga ke Jurang Kemiskinan
Meskipun tidak mempunyai data-data lengkap dari lapangan, adalah menjadi fakta umum bahwa perjudian kerap membawa keluarga ke jurang kemiskinan. Seringkali harapan atau mimpi untuk mengais banyak rezeki melalui aktivitas perjudian tak kesampaian. Kenyataan yang terjadi ialah bahwa keluarga harus mengalami nasib naas tersebab banyak hartanya dikuras untuk membayar utang yang disebabkan kekalahan di meja judi. Ada juga orang tertentu yang tidak segan-segan menjual rumah, tanah dan bahkan istri dan anaknya untuk membayar utang akibat kekalahan yang diderita.
Pada tahap dimana istri atau suami serta anak-anak dilibatkan dalalm urusan membayar utang dengan diri mereka sebagai taruhannya, maka disini terjadi dekadensi moral, kematian akhlak, karena manusia dan martabatnya yang luhur disejajarkan dengan benda, uang atau materi.

3.2.3.      Menghilangkan kesejahteraan dalam keluarga
Jika kebiasaan judi terus dijalankan, maka tak pelak lagi bahwa keluarga-keluarga akan mendapati kenyataan bahwa kesejateraan hidup yang mereka idam-idamkan sebagai bagian dari tujuan perkawinan semakin menjauh dan menjadi sesuatu yang mustahil.
Kekalahan dalam perjudian sering menimbulkan rasa sakit hati. Perasaan itulah yang menggerakkan seseorang untuk terus terlibat. Dalalm kejatuhan yang semakin mendalam, seseorang yang kalah bisa kalap dan frustrasi. Satu-satunya jalan yang kerap ditempuh ialah berus berada dalam lingkaran perjudian, meskipun terbukti sudah banyak harta yang terjual untuk menebus utang. Jika kenyataan ini yang terjadi maka tak pelak lagi bahwa kebutuhan-kebutuhan yang urgen –primer tidak diperhatikan lagi. Suasana harmonis dalam keluarga raib. Kebahagiaan dan kesejahteraan yang diharapkan tak mungkin hadir di tengah keluarga.

3.2.4.      Menimbulkan persoalan Pendidikan nilai bagi anak-anak
Judi sebagai suatu aksi yang patologis pada akhirnya berpengaruh bagi perkembangan pendidikan nilali anak-anak. Anak-anak  yang orangtuanya terlibat dalam perjudian memiliki peluang yang sangat besar untuk terlibat dalam perjudian di kemuadian hari. Hal ini terjadi karena mereka  hidup dalam situasi yang menjadikan perjudian sebagai kenyataan yang tak dapat dihindari. Kecenderungan untuk melibatkan diri juga akibat dari ketiadaan sanksi dari otoritas keluarga di satu pihak, dan harapan untuk mendapatkan uang secara mudah di pihak lain. Mencari uang dengan gampang lalu serta merta mengahalalkan segala cara adalah sebuah konsekuensi logis dari perjudian. Bahkan kerap anak-anak yang terlibat didalamnya tidak segan-segan melakukan aksi kriminal demi untuk mendapatkan uang yang akan digunakan sebagai taruhan di meja judi.
Padahal sebagai orangtua, mereka memiliki tanggungjawab untuk memberikan pendidikan nilai-nilai moral-etika yang baik kepada anak-anaknya. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa bahkan di tengah kesulitani karya pendidikan yang semakin besar dewasa ini, orangtua harus dengan penuh percaya dan berani melatih nilai-nilai hakiki hidup manusia pada diri anak-anak mereka. Anak-anak harus menjadi besar dan dewasa dengan sikap bebas yang tepat terhadap barang-barang jasmani, dengan menjalani hidup sederhana dan keras dan sepenuhnya yakin bahwa manusia lebih berharga karena jati dirinya daripada karena apa yang dipunyainya.[12]

IV. PERJUDIAN  SEBAGAI “PENYAKIT SOSIAL” DALAM MASYARAKAT: SEBUAH CATATAN KRITIS

4.1.      Membangun perspektif yang benar tentang perjuangan
Kehidupan manusia tak bisa lepas-pisahkan dengan sebuah perjuangan. Ia harus bekerja untuk menghasilkan sesuatu dan dengan itu ia dapat bertahan hidup. Itulah sebabnya mengapa manusia dijuluki sebagai “homo faber” (makhluk pekerja). Manusia dari hakekatnya adalah makhluk yang bisa menghasilkan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia bisa menjadi maksimal kalau manusia terus-menerus mengembangkannya, mebuat riset lalu menemukan teori-teori yang bisa dipakai sebagai jalan masuk menuju ke pengetahuan yang benar akan sesuatu. Jika proses ini yang terjadi maka manusia sendiri semakin menyadari eksistensinya, yang dalam bahasa spiritual-religius disebut sebagai  co-creator dari Allah, mahkluk yang menjadi perpanjangan tangan Allah untuk mencipta.
Dengan demikian manusia harus berjuang, bekerja keras. Semakin ia menceburkan dirinya dalam kerja keras, semakin ia memenuhi hakekatnya sebagai mahkluk yang mempunyai daya mencipta. Dan tatkala ia menghasilkan sesuatu dari usaha kerasnya ia menjadi bahagia. Kebahagiaan itulah yang sejatinya menjadi kepunyaan manusia karena ia di panggil untuk itu. Tetapi ketika ia berusaha untuk menghindari tanggungjawab  etisnya sebagai pekerja, lalu memasukkan diri dalam perjudian dan perjuangan yang tidak sehati lainnya, maka ia akan menuai kegetiran dan kesusahan dalalm hidupnya. Sesuatu yang tidak diharapkan datang dari hakekatnya sebagai pejuang.
Bekerja adalah bagian yang terpenting dari satu jalinan proses perjuangan. Motivasi ini mestinya terus hidup dan menjadi api yang membakar semangat setiap pribadi. Sebab melalui pekerjaannya manusia menjadi unit produksi yang penting dalam kehidupan bersama. Sumber daya yang dimilikinya itu mampu membuat masyarakat melangsungkan hidupnya di dunia ini. Hanya dengan jalan ini ia menjadi berarti, memiliki nilai bagi kehidupan bersama.
Dari sisi iman Kristen, Kerja adalah aktivitas gerak manusia yang khas yang membedakannya dengan kerja binatang atau mesin, sebab binatang bekerja secara naluri dan mesin bekerja tanpa kesadaran. Sifat yang khas dari kerja manusia adalah, bahwa kerja manusia merupakan penggunaan secara sadar daya-daya rohani dan badani yang tertuju dengan maksud tertentu. Mengapa hal ini berbeda?  Dalam Alkitab memang dibedakan dari binatang, karena manusia diciptakan sesuai ‘gambar dan rupa  Allah’ (Kej. 1:26-27; 2:7), karena Allah adalah Allah yang bekerja, maka demikian juga gambarnya akan bekerja juga.
Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah, tugas pekerjaan manusia adalah menyesuaikan pekerjaannya dengan maksud dan rencana Allah. Pandangan ini penting, karena ini menunjuk pada ethos kerja yang diemban manusia sebagai makhluk yang diciptakan sesuai gambar Allah.
Bahwa, kehendak Allah bagi manusia untuk bekerja, baik sebelum kejatuhan (Kejadian 1:28), maupun sesudah kejatuhan manusia (Kejadian 3:17-19). Sebelum kejatuhan, pekerjaan adalah suatu anugerah dan panggilan dari Allah sendiri. Sesudah kejatuhan, pekerjaan tetap merupakan anugerah dan panggilan, namun sekarang akibat dosa, maka pekerjaan itu dilakukan dengan penuh persaingan. Di dalam Perjanjian Baru, Paulus menasehatkan jemaat untuk bekerja. Ia juga memperingatkan, bahwa, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (II Tesalonika 3:10b). Jadi, bekerja adalah anugerah dan panggilan. Itu sebabnya seorang Kristen haruslah bekerja dan bila perlu bekerja dengan giat dan keras. Hilangkan budaya gengsi dan malu dalam bekerja. Gengsi artinya bagaimana pandangan orang lain tentang diri seseorang dan biasanya diasosiasikan dengan harta dan pekerjaan tertentu. Kekristenan tidak mengenal budaya gengsi. Pengejaran prestasi adalah karena dia adalah makhluk yang berharga di mata Tuhan dan penilaian manusia bukan didasarkan atas orang lain, melainkan hanya Tuhan.
Tugas kerja yang semula diemban manusia, semula bersifat sukacita yang murni di hadapan Allah, namun manusia memutuskan hubungan itu dengan berbuat durhaka yang dilakukannya secara sengaja dan sadar. Manusia tidak lagi menginginkan kondisinya yang segambar dengan Allah penciptanya, ia hendak menjadi allah sendiri, maka terputuslah hubungan antara manusia dengan Allahnya, antara manusia dengan manusia dan manusia dengan dirinya sendiri. Di sini termasuk hubungan kerja yang semula merupakan tugas mulia.
Dosa telah mendatangkan hukuman Allah yaitu diusir dari firdaus, dan hukuman ini berdampak pula pada tugas kerja manusia, kerja di bumi akan disertai kesukaran. Manusia akan berlelah mengolah bumi sampai akhir hidupnya. (Kej. 3 : 17-19)
Syukur kepada Yesus Kristus, dalam terang pertobatan, kerja bukan lagi sebagai kutukan tetapi sebagai berkat dan harus dilakukan dengan mengucap syukur, dan menyerahkan hasilnya sebagai persembahan syukur kepada Allah.  Jadi berbeda dengan pandangan umum mengenai tujuan kerja yang materialistik dan hedonistik di mana kerja ditujukan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan menjadi ‘sukses.’


4.2.      Keterlibatan Lembaga Moral dan Institusi Religius
Dalam banyak kasus, perjudian justru melahirkan keresahan dalam banyak masyaraakt. Ada banyak tanggapan yang muncul untuk menanggapi hal itu. Berbagai organisasi massa, yang sering menyebut dirinya sebagai “lembaga moral” yang tereksplisitasi dalam Lembaga Swadaya Masyaraakt (LSM), organisasi agama, perguruan tinggi, dsb. mengeluarkan kritikan yang mengecam perjudian. Bahkan Forum Pembela Islam, sebuah organisasi Islam radikal Indonesia, menjadikan aksi pemberantasan judi dan pelacuran sebagai semacam “trade mark” organisasi mereka. Demikian pun lembaga-lembaga religius atau institusi agama yang ada mengecam perjudian.
Demi menuntaskan kasus perjudian, Gereja Katolik berusaha untuk membebaskan umatnya dari perbudakan judi dengan berbagai macam cara. Dari kotbah di mimbar-mimbar Gereja, seminar-seminar, galang kerja sama dengan LSM dan pemerintah sampai kebijakan-kebijakan pastoral yang hadir berupa sanksi-sanksi sakramental dibuat demi tujuan yang sama. Itu menunjukkan betapa besar perhatian gereja terhadap masa depan keluagra sebagai institusi yang pada hakekatnya mengarahkan diri ke dalam kebahagiaan.

4.3.      Keterlibatan Pemerintah
Perjudian bisa dilegalkan pemerintah demi alasan dan tujuan tertentu. Itulah sebabnya kasino-kasino berdiri dengan penjagaan yang di –back up oleh petugas keamanan dengan dalih untuk mendapatkan keuntungan. Alih-alih meningkatkan PAD yang diraup ialah semakin terjerumusnya masyarakat dalam arus perjudian atau bahkan ada kepercayaan bahwa orang Tionghoa berjudi merupakan salah satu usaha membuang sial.[13] Keterlibatan yang tidak kritis, khususnya dari mereka yang tidak mempunyai uang banyak, membawa akibat yang sangat fatal bagi kesejahteraan hidup mereka.
Sebagai satu bentuk solusi, pemerintah sebagai instansi yang memiliki wewenang dalam memberikan perlindungan hukum atas badan-badan atau institusi yang ada dalam wilayah kekuasaannya, mestinya menolak penglegalan perjudian jika ternyata hal itu menyebabkan masyarakat berada dalam pusaran kemalasan, kriminalitas dan dekadensi moral. Sebagai konsekuensi, ia juga menertibkan lembaga keamanan seperti polisi dan tentara yang kerap disinyalir berada di belakang pemilik modal yang membuka kasino-kasino. Selain itu pemerintah juga dengan tegas dan berani menutup tempat-tempat perjudian dan menggantikannya dengan unit usaha lain yang lebih menampilkan manusia dan martabatnya yang luhur.

4.4.      Beberapa Catatan Reflektif
Usaha-usaha itu sering membuahkan hasil yang maksimal. Meskipun LSM – Agama, sudaj berusaha namun belum menampakkan hasil yang maksimal. Pertanyaan yang perlu diajukan ialah: “Bagaimana cara yang paling efektif utuk memberantas perjudian ini?” berikut ini satu-dua catatan reflektif penulis. Pertama, mencari akar masalah. Apa sebenarnya akar masalah yang menyebabkan mereka berjudi? Jika akar ini telah ditemukan maka kita dapat beralilh ke langkah berikutnya yaitu membuat penyadaran. Baik lembaga-lembaga swasta dan religius berupaya memberikan pemahaman yang benar tentang perjuangan. Metodenya bisa melalui seminar, lokakarya mau pun kampanye anti judi yang dijalankan dengan gencar.
Kedua, mendorong pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin. Terbanyak mereka yang terlibat dalam perjudian adalah orang-orang yang berpenghasilan rendah atau bahkan pengangggur. Atau bisa juga mendorong sektor swasta untuk membuka peluang bagi para penganggur bekerja pada unit-unit usaha mereka.
Ketiga, menciptakan lingkungan yang kondusif supaya orang tidak lagi terlibat dalam perjudian. Semakin seseorang yang menghayati hidup keagamaannya dengan penuh keyakinan dan kepatuhan maka keungkinan untuk terlibat dalam kasus perjudian mungkin lebih kecil.
Keempat, bekerjasama dengan pemerintah. Pemerintah, demi meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) juga terjerumus dalalm lingkaran perjudian dan melegalkannya. Jika hal ini terus berlanjut maka akan ada kemungkinan masalah-masalah lain yang berpautan dengan perjudian seperti pelacuran, minuman keras, perdagangan obat terlarang dan kriminalitas akan semakin meningkat. Karena pemerintah juga bermaksud mensejahterakan rakyatnya, maka untuk tujuan yang sama diperlukan kerja sama, terutama kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan (policy) pemerintah dalam mencapai tujuannya.


V. PENUTUP

Dari uraian ini menjadi jelas bahwa perjudian membawa lebih banyak dampak yang negatif daripada positif bagi kesejahteraan keluarga. Meskipun banyak orang menyadari hal itu, namun orang-orang tetap terlibat dalam perjudian. Ada begitu banyak argumentasi yang dilontarkan untuk membela aksi perjudian yang mereka lakukan. Adapun argumentasi-argumentasi itu lahir untuk membela diri dan untuk mendapatkan pengakuan publik atas patologi yang mereka miliki. Namun bagi kita perjudian, apapun bentuk dan maksudnya tidak bisa dibenarkan. Hal ini menjadi jelas kalau kita menyadari eksistensi kita sebagai co-creator Allah yang memiliki potensi untuk mencipta, atau juga sebagai unit produksi yang bisa menghasilkan sesuatu bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Atas dasar itu, kita juga sepakat bahwa perjudian harus diberantas. Ada banyak cara yang bisa dikembangkan : memberikakn arahan yang benar tentang arti perjuangan dan makna kerja keras, mencari akar persoalan, membuat proses penyadaran, menciptakan lapangan pekerjaan yang layak, menciptakan lingkungan yang kondusif dan mempengaruhi policy pemerintah. Untuk mencapai tujuan itu, kita menggalang kerja sama dengan berbagai pihak: lembaga-lembaga agama, swasta dan pemeritnah. Kerja sama yang baik dengan meletakkan kesejahteraan di atas semuanya akan menghasilkan buah yang bernas, yakni kebahagiaan menjadi milik semua manusia. Kebahagiaan dan kesejahteraan inilah yang menjadi muara dari seluruh perjuangan dan harapan hidup manusia.***

REFERENSI

Ali Sadikin, Soal Judi adalah Tanggung Jawab saya pribadi kepada Tuhan“
            dalam : Majalah TEMPO, 9 Juli 2000.

Bernard Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman Suatu Tinjauan Sosiologis.
Ende: Nusa Indah, 2003.

Dwi Haryadi, “Judi, Masalah Sosial dan Hukum”, Opini Harian Umum Bangka

            Pos, 22 Januari 2012.



Ian, “Oknum TNI Pengedar KP Dibekuk Bupati Ende” dalam :
Harian Umum Flores Pos, 15 Juni 2004.

Kanisius T. Deki, “Judi: Antara Harapan dan Kenyataan”, Majalah ZIARAH,
            No. 2, Tahun IV, Agustus 2000

________, Tradisi Lisan Orang Manggarai. Jakarta: Parrhesia Institute, 2011.

Max Regus & Kanisius T. Deki (eds.), Gereja Menyapa Manggarai. Jakarta:
            Parrhesia Institute, 2011.

Muhammad Ghazali Bagus Ani Putra, “Judi Kupon Togel Kaitannya Dengan
            DIisharmonisasi Kehidupan Rumah Tangga Konsumennya di
            Jogjakarta”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
            Surabaya, 2004), diperoleh dalam bentuk data elektronik dari:

 Yohanes Paulus II, Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern : Amanat Apostolik
            Familiaris Consorsio, terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

(Pertama dipublikasikan oleh Jurnal Missio, Vol 4 No 2 Thn 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar