Oleh : Ustadz Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
EKSISTENSI milisi swasta di Indonesia sudah dikenal sejak awal
kemerdekaan. Ketika Mohamad Natsir menjabat sebagai Perdana Menteri, milisi
swasta dijadikan sebagai bagian dari alat pertahanan negara, yang kemudian
dikembangkan oleh KSAD AH. Nasution menjadi sistem pertahanan rakyat semesta.
Dari sinilah sebenarnya istilah pertahanan sipil (Hansip), termasuk Pam
Swakarsa
(Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa) berasal.
Sekarang bermetamorfose menjadi Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dengan
tugas merencanakan, melaksanakan, mengarahkan, mengawasi dan mengendalikan
tugas-tugas ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan Daerah.
Jadi, milisi sipil bukan hal asing dalam sistem pertahanan dan keamanan RI.
Setiap negara memiliki kewajiban melindungi rakyat melalui program pertahanan,
ketahanan dan keamanan. Pertahanan rakyat semesta, sesungguhnya merupakan
kewajiban setiap warganegara untuk menjaga keamanan serta mempertahankan
keutuhan negaranya.
Keberadaan milisi swasta, nampaknya masih dianggap relevan hingga sekarang,
mengingat ketidak mampuan aparat keamanan mengatasi gangguan keamanan di
tengah-tengah masyarakat. Pengamanan swakarsa dianggap efektif untuk membantu
polisi, sebagai tanggung jawab warga, terutama untuk kepentingan yang lebih
spesifik, yaitu antisipasi terorisme.
Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, Progo Nurdjaman, pernah
menyatakan bahwa Pam Swakarsa akan dibentuk di tiap daerah, sebagai kontribusi
pemerintah daerah, disamping TNI dan kepolisian. Alasannya, jika mengandalkan
aparat keamanan, dengan luas geografis begitu besar, tidak mungkin tanpa
bantuan masyarakat. Maka memfungsikan Pam Swakarsa, adalah agar pengawasan
keamanan dapat menjadi lebih efektif, sebagai bentuk partisipasi masyarakat.
Menjadikan ketidak mampuan aparat keamanan mengatasi ancaman dan mencegah
kemungkaran, sebagai alasan melegalkan milisi sipil lebih diterima logika akal
sehat. Ketimbang membiarkan kemungkaran dan kemaksiatan dengan alasan ekonomi,
HAM dan semacamnya.
Bukankah dengan alasan yang sama pula, ketidak mampuan polisi memberantas
korupsi, maka dibentuklah Komisi Penanggulangan Korupsi (KPK). Ketidak mampuan
Mahkamah Agung memperbaiki moral hakim pengadilan, maka dibentuk Komisi
Yudisial (KY), dan kegagalan aparat keamanan menanggulangi terorisme,
dibentuklah Densus 88 yang justru paling banyak melakukan pelanggaran hukum dan
kemanusiaan.
Saat ini, sudah 68 tahun Indonesia
merdeka, kita menyaksikan kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan.
Pemerintah gagal memperbaiki moral bangsa, sehingga judi, prostitusi, minuman
keras, narkoba merajalela. Begitu parahnya kerusakan moral melanda generasi
muda, sampai-sampai departemen pendidikan di Sumsel mengusulkan perlunya tes
keperawanan bagi siswi SLTA.
Begitupun maraknya aliran sesat seperti Syi’ah, Ahmadiyah, LDII dllnya
membuktikan semakin bertambah banyak kemungkaran. Belum lama Irsyad Manji,
seorang aktivis lesbianisme dari Amerika bikin kisruh di Indonesia. Dia
mengatakan Al-Qur’an telah diedit oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Kemudian kasus Lady Gaga penyanyi dari Amerika yang mengusung setanisme
(penyembah iblis, syetan).
Kebingungan mengatasi segala kemungkaran itu, membuat menteri kesehatan
Nafsiah Mboi malah mempromosikan kondom untuk remaja, agar para korban zina
tidak hamil, dan tidak tertularnya penyakit kelamin. Antisipasi tersebut
sungguh pasti membuahkan kerusakan yang lebih besar, mengatasi kemungkaran
dengan cara mungkar.
Pertanyaannya, jika pemerintah bertekad membebaskan masyarakat dari ancaman
kekerasan, teror dll. Lalu siapa yang akan menyelamatkan Indonesia dari
ancaman kemungkaran dan kemaksiatan seperti judi, prostitusi, minuman keras
dengan segala kerusakan yang ditimbulkannya? Ancaman kekerasan tidak lebih
besar bahayanya daripada ancaman kemungkaran. Kekerasan hanya menyakiti fisik,
tapi kemungkaran merusak jiwa dan raga.
Milisi Swasta dan Pelanggaran Hukum
Bangkrutnya sebuah peradaban, antara lain disebabkan merajalelanya
kemungkaran dan kemaksiatan. Ketika pemerintah lalai atau mengabaikan
pemberantasan kemungkaran, maka menjadi kewajiban masyarakat untuk
memberantasnya. Bagaimana jika penguasa sendiri yang melakukan kemungkaran,
siapa yang akan memberantasnya?
Di Indonesia, segala bentuk kemungkaran dan kemaksiatan seperti korupsi,
narkoba, judi, prostitusi, gratifikasi seks, minuman keras, termasuk dalam
golongan penyakit masyarakat. Apabila penyakit ini tidak diberantas, maka akan
menyebar sehingga menimbulkan kerusakan dan kehancuran secara merata.
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ
خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Wahai kaum mukmin, janganlah kalian membiarkan adanya kemungkaran di
sekitar kalian. Sebab jika adzab Allah turun, tidak hanya menimpa orang-orang
yang berbuat kemungkaran saja, bahkan juga menimpa orang-orang shalih yang
berada di tengah mereka. Ketahuilah bahwa adzab Allah itu sangat keras.” (Qs.
Al-Anfal, 8: 25)
Pemberantasan kemungkaran yang dilakukan ormas Islam, misalnya yang
dilakukan Front Pembela Islam (FPI) haruslah dipandang secara obyektif. Banyak
kalangan yang menilai, bahwa sweeping tempat maksiat, yang dilakukan ormas
Islam sebagai pelanggaran hukum, karena menimbulkan tindakan anarkis atau
kekerasan. Sehingga mereka menggugat eksistensi ormas yang dikategorikan
melakukan kekerasan terhadap pelaku maksiat dan aliran sesat, dan menuntut
pembubaran ormas dimaksud.
Gugatan seperti ini, biasanya diteriakkan oleh komunitas liberal beserta
kelompok dirivatnya seperti Gerakan Beda Isme, Indonesia Tanpa Diskriminasi,
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Mereka
menjadi pembela ahli maksiat dan aliran sesat atas nama demokrasi dan hak
asasi.
Tidak sekadar melindungi pelaku maksiat, tapi lebih jauh lagi, memfasilitasi
pencegahan pelaksanaan ajaran Islam melalui Perda seperti: Perda pandai membaca
Al-Qur’an, Perda Anti minuman keras, Perda Zakat, Perda anti maksiat,
Pengesahan UU anti Pornografi dan Pornoaksi.
Apabila sweeping tempat maksiat seperti kasus Sukorejo Kendal, kemudian
tuntutan pembubaran Syi’ah di Sampang, Ahmadiyah di Cikesik, dan penolakan
pembangunan gereja Katolik Stanislaus Koska Bekasi yang terbukti berakhir
bentrok, sebagai pelanggaran hukum. Apakah judi, prostitusi, minuman keras,
narkoba, bukan termasuk pelanggaran hukum? Mengapa para pembela kemungkaran dan
kemaksiatan itu tidak menuntut penutupan tempat maksiat itu?
Di Indonesia pelanggaran hukum, baik hukum negara maupun hukum agama,
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Anggota polisi jadi bandar judi
banyak. Anggota DPR jadi pelanggan rumah bordil, pemabuk juga tidak sedikit.
Sama tidak sedikitnya pejabat menteri jadi koruptor.
Mengadili Islam dan ormas Islam menggunakan parameter demokrasi dan hak
asasi, sementara menolak melakukan sebaliknya. Mengadili dan mengoreksi
demokrasi dan hak asasi manusia menggunakan parameter Islam, jelas
diskriminatif dan menyesatkan.
Akibatnya, ketika terjadi penembakan dan pembunuhan tersangka teroris oleh
polisi tanpa pengadilan, para pembela HAM tidak terusik, seakan atas nama
teroris membunuh dengan melanggar hukum/HAM tidak masalah. Ketika terjadi
bentrokan karena penolakan warga atas pembangunan gereja, kelompok liberal
menuduh ormas Islam menghalangi pembangunan rumah ibadah, padahal penolakan
masyarakat karena adanya pelanggaran terhadap aturan negara dan kesepakatan
bersama.
Begitupun, serangan preman terhadap FPI di Kendal, tersebar opini yang
menyesatkan. Sweeping FPI melanggar hukum sehingga terjadi bentrokan dengan
warga masyarakat. Padahal yang terjadi masyarakat maksiat alias preman
menyerang FPI, tetapi opini yang tersebar memosisikan korban kekerasan sebagai
pelaku kekerasan.
Inilah ketidak adilan yang dikembangkan kaum liberal karena kebencian.
Dengarlah nasihat Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاء
بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ
اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ
بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai kaum mukmin, nyatakanlah kebenaran karena Allah, dan jadilah
saksi yang adil. Janganlah kebencian kalian pada suatu kaum menyebabkan kalian
berbuat tidak adil kepada mereka. Berbuat adillah kalian, karena keadilan itu
menjadikan manusia lebih dekat kepada Allah. Taatlah kepada Allah, sungguh
Allah akan memberitahukan balasan atas semua perbuatan kalian.” (Qs.
Al-Maaidah, 5: 8)
Ketika polisi gagal memberantas kemungkaran, adanya milisi sipil seperti FPI
sangat membantu. Jika aparat negara bertanggungjawab, melaksanakan tugasnya
secara profesional maka yakinlah ormas-ormas itu tidak akan sibuk-sibuk
melakukan sweeping.
Anehnya, masih ada yang berpendapat tidak perlu ada campur tangan
negara dalam penegakan moral dan agama. Ketika masyarakat yang sadar akan
kewajibannya memberantas kemungkaran, dan tidak adanya tindakan hukum atas
mereka karena polisi sengaja membiarkan aksi kekerasan oleh ormas tertentu,
dicurigai karena dibekingi petinggi keamanan.
Respons Aparat terhadap Kasus Maksiat
Mengapa kemaksiatan sulit diberantas, sekalipun negara menyatakan bahwa
judi, prostitusi, minuman keras adalah penyakit masyarakat? Apakah pekat ini sengaja
dipelihara, untuk tujuan yang tidak sekadar finansial, tapi untuk merusak
masyarakat? Siapa pelindung kermungkaran dan kemaksiatan sehingga sulit sekali
diberantas, bahkan mustahil ditutup lokasi judi, prostitusi, narkoba, sekalipun
melanggar ajaran agama dan UU negara?
Di negara yang berKetuhanan Yang Maha Esa dan mengaku menghormati
nilai-nilai agama ini, prilaku mungkarat dan maksiat merajalela, sungguh
memprihatinkan. Maraknya segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran di Indonesia,
mengingatkan banyak orang pada logika sesat mantan Gubernur DKI Ali Sadikin.
Dalam wawancara dengan Majalah Tempo, 21-27 Maret 2005, Ali Sadikin
terang-terangan menyatakan demi judi, saya rela masuk neraka.”
“Saya ingin bersikap realistis dan tidak munafik. Ketika menjadi Gubernur
DKI Jakarta (1966-1977), saya melegalkan judi karena pemda tak punya anggaran
cukup. Padahal saat itu butuh banyak uang untuk membangun sekolah, puskesmas,
dan jalan. Alim ulama semua meributkan, tapi saya bilang ke mereka:
“Kalau mengharamkan judi, bapak-bapak kyai semua ini kalau keluar pesantren
naik helikopter saja. Jangan menginjakkan kaki di jalan yang dibangun Pemprov.
Soalnya, jalan-jalan semua saya bangun dari uang judi. Jadi, jalan di Jakarta juga haram.”
Ia juga menyatakan: “Ya! Saya tahu judi itu haram. Tapi kita harus
memikirkan masyarakat kecil. Demi judi, saya rela masuk neraka. Tapi saya yakin
Allah mengerti apa yang saya perbuat. Saya jengkel dengan orang-orang yang
mengaku Islam itu. Mereka merasa dirinya malaikat. Mereka masih berpikir
seperti abad ke-15.”
Ia juga mengaku terus terang, dialah yang membuat lokalisasi pelacuran di
Kramat Tunggak (sebelum akhirnya Gubernur Sutiyoso merubuhkannya dan
menggantinya dengan Jakarta Islamic Center).
“Ya. Saya yang membuat lokalisasi di Kramat Tunggak. Soalnya, ketika itu
banyak berkeliaran “becak komplet” yang isinya wanita tunasusila. Daripada
berkeliaran di jalan, lebih baik dibuat lokalisasi khusus. Sekarang juga banyak
ABG di mal-mal yang menjadi wanita tunasusila. Mengapa tidak kita lokalisasi
saja? Itu lebih baik. Saya heran Pemda DKI dan DPRD menutup Kramat Tunggak.
Saya sudah bilang ke Sutiyoso, “Memang nanti Sutiyoso masuk surga. Kalau saya,
sih, akan masuk neraka,” kata Ali Sadikin.
Tokoh Masyumi yang ‘sezaman’ dengan Ali Sadikin, Mr. Mohammad Roem dalam
catatannya di “Bunga Rampai Sejarah”, mengkritik sikap Gubernur yang urakan
ini.
Menurutnya, Ali Sadikin juga pernah menyatakan: “Sembahyang 1000 kali tidak
dapat menghasilkan uang satu juta rupiah.” Waktu memberikan sambutan di Panti
Asuhan di wilayah Lenteng Agung (1973), menurut Roem, Ali Sadikin menyatakan di
depan wartawan: “Kalau panti asuhan ini menginginkan perbaikan jalan, apakah
tahu berapa biayanya untuk jarak sepanjang 7 km. Biayanya adalah 140 juta. Dari
mana uangnya? Apakah bisa dari tajuk rencana surat-surat kabar?”
Ali Sadikin telah menanam pohon kejahatan menggunakan otoritas pemerintah,
dan tumbuhan itu sekarang beranak pinak sehingga sulit diberantas. Dampak buruk
dari judi telah merusak masyarakat. Ali Sadikin mengorbankan moral masyarakat
hanya untuk bangun jalan. Lalu digunakan untuk apa pajak masyarakat, dan dana
lain yang dipungut dari rakyat, sehingga memosisikan para penjudi dan pelaku
maksiat sebagai orang paling berjasa untuk membangun negara? Ali Sadikin adalah
gubernur paling bertanggung jawab atas kebobrokan moral rakyat akibat judi dan
zina. Kelak di akhirat para penjudi dan penzina yang masuk neraka akan menuntut
tanggungjawab Ali Sadikin.
Logika sesat Ali Sadikin banyak menginspirasi pejabat negara. Firman Allah:
وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ
اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعاً فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا
نَصِيباً مِنَ النَّارِ * قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا
إِنَّ اللهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ
“Ketika kaum Fir’aun bertengkar dalam neraka, maka para pengikut Fir’aun
berkata kepada para pembesarnya yang congkak: “Sungguh dahulu kami menjadi
pengikut kalian. Apakah sekarang kalian dapat menyelamatkan kami dari adzab
neraka?” Para pembesar Fir’aun yang congkak
berkata: “Kita semua sama-sama menanggung derita adzab di neraka ini. Sungguh
Allah telah selesai mengadili perkara para hamba-Nya.” (Qs. Al-Mukmin, 40:
47-48)
Bagaimana antispasi dan strategi melawan kemungkaran? Pemerintah harus
melenyapkan segala sumber kemaksiatan sekecil apapun. Menjadikan milisi atau
ormas sebagai mitra pemerintah dalam pemberantasan kemungkaran, bukan
menganggapnya musuh atas nama anti kekerasan sementara melindungi para pelaku
kemungkaran.
Apabila penegak hukum, dalam hal ini polisi, menjalankan tugas pengamanan
dan penegakan hukum dengan adil. Berani menindak tegas atas siapa pun yang
melanggar hukum, baik terhadap ormas yang melakukan aksi anarkis maupun
terhadap tempat hiburan malam yang tidak mau mematuhi aturan hukum yang
berlaku, maka sweeping ormas mungkin tidak diperlukan lagi.
(Ukasyah/
arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/rubrik/milisi-sipil-pemberantasan-kemungkaran.html#sthash.Wdl5I6gQ.dpuf